Buka konten ini
THAILAND bergerak cepat. Negara ini sudah berada jauh di depan dalam transisi energi hijau. Target mereka besar. Langkah-langkahnya jelas. Thailand tahu apa yang ingin dicapai.
Investasi mengalir deras. Para investor dunia melirik Thailand sebagai rumah baru energi bersih. Dengan kebijakan yang proaktif, negara ini mencuri perhatian. Tapi, seperti biasa, tidak ada cerita yang tanpa tantangan. Ada banyak lubang yang masih harus ditambal.
Negeri Gajah Putih itu tidak main-main. Target mereka sudah diumumkan ke dunia. Pada 2037, setengah lebih dari listrik Thailand akan datang dari energi terbarukan. Netral karbon pun jadi mimpi besar mere-ka. Tahun 2050 adalah tenggatnya.
Angka-angka ini bukan sekadar janji. Thailand sudah memulai langkah besar. Dalam lima tahun terakhir, proyek-proyek energi terbarukan bermunculan di seluruh negeri. Tenaga surya jadi primadona. Biomassa dan biogas juga berkembang pesat. Tapi, seper-ti halnya ambisi besar lainnya, jalan menuju target ini penuh rintangan.
Infrastruktur listrik mereka masih lemah. Jaringan belum siap untuk menampung lonjakan kapasitas energi terbarukan. Regu-lasi pun sering berubah. Investor, meski tertarik, masih ragu untuk melangkah lebih jauh.
Ada lagi masalah besar lainnya. Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT). PLN-nya Thailand ini memegang kendali hampir di semua lini energi. Dari pembangkitan hingga distribusi. Dominasi ini menciptakan stabilitas, tapi di sisi lain menghambat inovasi. Jika Thailand ingin bergerak lebih cepat, EGAT harus berubah.
Peluang di Tengah Tantangan
Namun, di balik semua itu, peluang besar terbuka lebar. Potensi alam Thailand sangat menjanjikan. Dengan sinar matahari sepanjang tahun, tenaga surya adalah tambang emas baru mereka. Thailand punya potensi hingga 300 gigawatt dari matahari. Itu bukan angka kecil.
Tidak hanya itu. Thailand juga kaya akan limbah pertanian. Semua bisa diubah menjadi energi. Biomassa dan biogas kini jadi sektor baru yang terus tumbuh. Selain ramah lingkungan, sektor ini juga mendukung ekonomi pedesaan. Limbah pertanian yang dulu tidak bernilai kini jadi sumber pendapatan baru.
Lalu ada teknologi. Thailand sudah mulai berinvestasi di smart grid. Sistem ini memungkinkan energi terbarukan terintegrasi lebih baik ke jaringan listrik. Teknologi penyimpanan energi juga mulai berkembang. Investor teknologi tinggi mulai melirik negeri ini.
Insentif yang Menarik
Pemerintah Thailand tahu cara menarik perhatian investor. Mereka menawarkan insentif yang menggoda. Ada pembebasan pajak selama delapan tahun. Ada Feed-in Tariff (FiT) yang stabil. Bahkan ada program pinjaman berbunga rendah untuk proyek energi.
Hasilnya mulai terlihat. Proyek-proyek besar bermunculan. Dari ladang surya hingga pembangkit biomassa. Thailand berhasil menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi energi bersih.
Tapi, ada satu hal yang masih menjadi penghambat. Regulasi sering berubah. Proses perizinan kadang rumit. Jika tidak segera diperbaiki, ini bisa mengurangi kepercayaan investor. Thailand harus segera berbenah di sektor ini.
Thailand tidak sendirian. Negara-negara ASEAN lain juga bergerak menuju ener-gi hijau. Masing-masing punya caranya sendiri.
Vietnam, misalnya. Mereka adalah juara baru di sektor tenaga surya. Dengan skema Feed-in Tariff yang agresif, Vietnam menarik investasi besar-besaran. Target mereka 47 persen energi terbarukan pada 2030. Progresnya cepat, meski jaringan listrik mereka masih sering kewalahan.
Filipina dan Malaysia memilih jalur inovasi. Mereka fokus pada sistem net metering untuk solar rooftop. Konsumen rumah tangga bisa menjual kelebihan listrik mere-ka kembali ke jaringan. Ada juga lelang energi terbarukan yang mendorong persaingan sehat di pasar.
Singapura berbeda lagi. Negara kecil ini tidak punya lahan luas. Tapi mereka pintar. Fokusnya adalah teknologi. Smart grid dan penyimpanan energi menjadi prioritas utama. Target mereka adalah 2 gigawatt tenaga surya pada 2030. Sebuah target besar untuk negara kecil.
Apa Kabar Indonesia?
Negara kita yang punya segalanya. Cada-ngan geothermal terbesar di dunia. Potensi tenaga surya yang melimpah. Bahkan 40 persen dari total potensi energi terbarukan ASEAN ada di Indonesia. Tapi, realitasnya jauh dari harapan. Target 23 persen ener-gi terbarukan pada 2025 masih terasa berat. Regulasi yang berbelit dan infrastruk-tur yang lemah menjadi penghambat utama.
Ini fakta data. Daya tarik Indonesia untuk investasi energi terbarukan masih rendah. Masih rendah dibanding negara-negara tetangga. Masih rendah dibanding Filipina. Masih rendah dibanding Thailand. Masih rendah dibanding Vietnam. Masih rendah dibanding Malaysia. Masih rendah dibanding Singapura.
Laporan Climatescope 2024 Emerging Markets Power Factbook dari BloombergNEF menjadi cermin betapa Indonesia belum bisa melangkah lebih jauh. Betapa Indonesia masih tertinggal. Betapa Indonesia masih harus bekerja keras.
BloombergNEF punya cara menghitung daya tarik sebuah negara. Ada tiga indikator utama: kebijakan pemerintah, potensi pasar, dan pengalaman pelaku industri di sektor energi terbarukan. Semua diukur dengan skor 0-5 poin. Makin tinggi skornya, makin siap negara itu menerima investasi transisi energi.
Hasilnya? Indonesia hanya dapat skor 2,01 dari 5 poin. Masih jauh di bawah Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Sebuah gambaran nyata bahwa Indonesia harus bergerak lebih cepat.
BloombergNEF memberi skor 3,17 untuk kebijakan Indonesia. Ini artinya, regulasi dan kebijakan di atas kertas sudah cukup baik. Ada insentif untuk investasi energi terbarukan. Ada juga kebijakan larangan pembangunan PLTU baru yang menjadi sinyal positif bagi investor.
Tapi kebijakan saja tidak cukup. Hasilnya belum maksimal. Banyak proyek energi terbarukan yang berjalan lambat. Proses perizinan masih menjadi hambatan. Investasi besar membutuhkan kejelasan dan kemudahan, bukan sekadar regulasi di atas kertas.
Potensi energi terbarukan Indonesia luar biasa besar. Dari geothermal, tenaga surya, biomassa, hingga tenaga angin. Bahkan, 40 persen potensi energi terbarukan di ASEAN ada di Indonesia. Tapi, BloombergNEF hanya memberi skor 0,97 untuk potensi pasar Indonesia. Artinya? Potensi besar ini belum tergarap dengan baik.
Mengapa? Infrastruktur yang lemah menjadi salah satu alasan. Banyak wilayah di Indonesia yang sulit diakses. Pembangunan proyek energi terbarukan membutuhkan jaringan yang kuat. Tanpa itu, potensi besar akan tetap hanya jadi potensi.
BloombergNEF juga memberi skor rendah untuk pengalaman Indonesia. Hanya 0,71 dari 5 poin. Ini menunjukkan bahwa sektor energi terbarukan Indonesia masih minim proyek sukses yang bisa jadi contoh. Di negara-negara seperti Vietnam dan Thailand, proyek besar sudah berjalan dengan baik. Mereka punya catatan keberhasilan yang menarik bagi investor.
Indonesia perlu mengejar ketertinggalan ini. Pengalaman adalah hal yang harus diba-ngun. Proyek-proyek percontohan perlu didorong. Bukan hanya untuk membangun kepercayaan investor, tetapi juga untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa.
Dibandingkan negara-negara ASEAN lain, Thailand punya banyak keunggulan. Insentif mereka lebih menarik. Regulasi lebih stabil dibandingkan Indonesia. Infrastruktur mereka juga lebih baik dari Vietnam.
Tapi, Thailand juga punya kelemahan. Ketergantungan pada impor energi masih tinggi. Lahan untuk proyek energi besar juga terbatas. Dalam hal diversifikasi sumber energi, Thailand masih kalah dari Vietnam yang agresif di sektor tenaga angin.
Thailand tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya perlu bergerak lebih cepat. Diversifikasi sumber energi adalah kunci. Tidak cukup hanya mengandalkan tenaga surya dan biomassa. Teknologi penyimpanan energi harus jadi prioritas. Jaringan listrik juga harus diperkuat. Tanpa itu, target besar mereka sulit tercapai.
Indonesia juga punya banyak pelajaran untuk dipetik dari Thailand. Regulasi harus dibuat lebih sederhana. Insentif harus lebih menarik. Koordinasi antarlembaga harus diperbaiki. Potensi besar Indonesia tidak akan berarti tanpa eksekusi yang baik.
ASEAN punya peluang besar. Jika semua negara mampu mengatasi tantangan masing-masing, kawasan ini bisa menjadi pusat energi hijau dunia. Thailand sudah melangkah jauh. Vietnam juga. Filipina, Malaysia, dan Singapura mengikuti dengan pendekatan mereka sendiri. Indonesia, meski tertinggal, masih punya waktu untuk mengejar.
Jika Thailand berhasil, dunia akan melihat mereka sebagai model sukses. Perjalanan mereka adalah bukti bahwa visi besar bisa menjadi kenyataan. Dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji.
Dunia sedang menunggu. Bisakah Thailand benar-benar memimpin? Jika mere-ka berhasil, nama Thailand akan tercatat dalam sejarah energi hijau dunia. (*)