Buka konten ini
Dulu, hanya digunakan untuk melegakan pernapasan. Kini, belasan penyakit bisa sembuh dengan terapi oksigen hiperbarik.
Terapi oksigen hiperbarik adalah jenis perawatan yang melibatkan penghirupan oksigen murni pada lingkungan bertekanan tinggi di ruangan berbentuk kapsul besar.
Awalnya, terapi ini digunakan terbatas, yakni untuk melegakan pernapasan. Pertama kali digunakan pada saat revolusi industri, dimana saat itu polusi udara merajalela.
Metode ini juga dikenal di kalangan penyelam untuk mengatasi berbagai penyakit dekompresi.
Seiring perkembangannya, terapi ini juga diketahui dapat mempercepat penyembuhan keracunan karbon monoksida, gangren, hingga infeksi jaringan yang kekurangan oksigen.
dr Mohamad Qurtubi Ali, SpPD dari Rumah Sakit Awal Bros Batam, menjelaskan bahwa terapi ini memberikan oksigen 100 persen dengan tekanan tinggi.
“Tekanan ini berhubungan dengan hukum fisika dan biokimia: Hukum Boyle, Dalton, dan Henry. Dimana Hukum Henry menyatakan pada tekanan yang tinggi membuat volume semakin mengecil. Dalam hal ini, volume oksigen akan mengecil, lebih banyak jumlahnya, dan lebih meresap,” jelasnya kepada Batam Pos, belum lama ini.
Sebagai perbandingan, di dalam udara bebas hanya terdapat oksigen 21 persen, dimana darah kita per liternya hanya dapat 3 mili oksigen. Namun, ketika kita diberi oksigen 100 persen dengan perbedaaan tekanan atmosfer dari 1,5 ata (atmosfer absolute) sampai 3 ata, tergantung dari jenis penyakitnya, maka oksigen yang masuk ke dalam darah akan lebih banyak, yak-ni 20 kali lipat atau 60 mili.
“Penyakit itu ibaratnya selangnya kesumbet. Saat terjadi luka akan terjadi vasokonstriksi. Diameternya akan mengecil, jadi darah gak bisa lewat. Akhirnya bagian yang mengalami kerusakan akan mati karena gak mendapatkan suplai darah cukup. Karena gak bawa oksigen,” kata Qurtubi.
Maka dari itu, oksigen penting untuk semuanya, termasuk untuk perfusi jaringan dan penyembuhan luka. Saat jaringan rusak yang masuk hanya plasma atau cairan, namun darah tidak masuk. Artinya oksigen juga tidak masuk.
“Kalau darahnya gak ikut, oksigennya gak ikut. Oksigen kan lewat darah, tapi plasmanya lewat. Tapi percuma, karena darahnya yang ngasih oksigennya. Jaringannya tetap mati, gak maksimal,” tuturnya.
Di saat volume oksigen menjadi kecil dan konsentrasinya lebih banyak karena tekanan atmosfer, maka cukup ke plasma, oksigen sudah bisa masuk ke jaringan yang rusak tersebut.
“Saat plasma masuk, otomatis oksigen akan masuk juga. Artinya, meskipun darahnya tidak lewat, oksigennya akan tetap lewat. Artinya jaringan rusak akan tetap bertahan, gak jadi mati, tetap sehat,” jelasnya lebih lanjut.
Dokter Qurtubi menambah-kan, pada kasus penyakit luka diabetes, terapi oksigen bariatrik akan mempercepat kesembuhan pada luka tersebut. Secara medis, akan mengalami perfusi jaringan atau kecukupan oksigenisasinya itu akan lebih baik. Selanjutnya akan terjadi perbaikan jaringan dan angiogenesis, yakni akan terbentuk jaringan pembuluh darah baru.
“Jangka pendeknya akan mempertahankan jaringan, dan jangka panjangnya akan merangsang jaringan baru sehingga terbentuk pembuluh darah baru,” jelasnya.
Tak hanya itu, terapi oksigen bariatrik juga memiliki efek bakterisid dan bakteriostatik, yakni menghentikan pertumbuhan bakteri, bahkan bisa membunuh bakteri.
Seperti yang umum diketahui bahwa yang paling dikhawatirkan pada kasus luka adalah jika terjadi infeksi. Nah, dengan terapi oksigen bariatrik ini infeksi pada luka akan membaik, karena ada efek batresid dan bakteriostatik. “Penyembuhannya akan lebih cepat.”
Pada kasus lain, terapi ini juga bisa digunakan pada pasien stroke yang sudah melewati masa akut untuk mengembalikan fungsi motoriknya. Namun, dalam kasus ini stroke akibat penyumbatan.
Menurut Dokter Layanan Hiperbarik RS Awal Bros Batam, dr Hafifie Mardiatha, cepat atau lambatnya tingkat kesembuhan pasien, tergantung pada kondisi sakit si pasien.
“Semakin sering (terapi) semakin baik,” ucap dokter berhijab ini.
Bagaimana dengan penyembuhan luka pada pasien diabetes yang basah, perlu berapa kali terapi oksigen hiperbarik?
Menurut dr Qurtubi yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengendalikan gulanya, kemudian diterapi. “Itu tergantung tingkat kerusakan, usia, karena bisa mempengaruhi kesembuhan. Intensitasnya (terapi) juga mempengaruhi. Ada yang seminggu tiga kali, dua hari sekali, ada yang tiap hari. Ada yang satu sesi, dua sesi, ada yang tiga sesi, ada yang empat sesi. Tergantung. Artinya makin intens dilakukan, makin baik penyerapan oksigenisasi tubuh seseorang itu makin cepat kesembuhannya,” jelas dia.
Ia mengatakan, secara teori efeknya akan benar-benar muncul setelah 20 sampai dengan 40 kali, baru terbentuk jaringan baru. Dan itu dilakukan tiap hari. “Toh pun seandainya sekalipun dilakukan, itu akan memberikan efek,” katanya.
Selain diabetes, penyakit apa lagi yang bisa disembuhkan dengan terapi oksigen hiperbarik?
Menurutnya, hampir seluruh penyakit yang bisa merespons dengan terapi ini. Karena pada dasarnya untuk oksigenisasi pasti dibutuhkan untuk seluruh sel yang sakit. Cuma ada yang diakui oleh FDA (Food & Drug Administration/Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat) ada yang tidak.
“Ada 13 atau 14 penyakit (yang bisa ditangani dengan terapi oksigen hiperbarik), salah satunya anemia,” sebutnya.
Beberapa penyakit lainnya yang bisa ditangani dengan terapi ini di antaranya beragam luka, seperti habis tabrakan, cangkok kulit atau cangkok jaringan, luka akibat penekanan, dan luka kronis yang tak kunjung sembuh.
Kemudian pada pasien-pasien dengan permasalahan sirkulasi udara dan gas. Contohnya keracunan karbon monoksida, pestisida yang hirup. Dan dekompresi karena menyelam. Penghilatan yang hilang tiba-tiba, kehilangan pendengaran tiba-tiba.
Qurtubi mencontohkan, betapa pentingnya oksigen. “Saat jari diikat kuat dengan karet, maka yang terjadi adalah kesemutan, mati rasa, bahkan pengecilan. Ketika karetnya dilepas, maka aliran darah yang membawa oksigen akan masuk dan jari tersebut akan kembali normal,” tuturnya.
dr Hafifie menambahkan, terapi ini juga bisa jadi pilihan bagi pasien yang tidak ingin mengonsumsi obat-obatan yang sifatnya kimia. “Tak hanya itu, terapi ini juga bisa untuk peremajaan kulit,” kata Hafifie yang diamini dr Maria Bintang yang mendampinginya.
Namun demikian, kata Hafifie, tidak semua orang bisa masuk ke ruang hiperbarik. Ada kondisi tertentu yang tidak bisa diterapi oksigen hiperbarik, yaitu; kontraindikasi absolut (yang benar-benar tidak boleh) dan kontraindikasi relatif.
Ia memberi contoh dari kontraindikasi absolut adalah pnemutoraks (paru-paru kolaps). Sedangkan contoh yang kontraindikasi relatif, antara lain; pilek, demam, pasien tambalan gigi yang tidak sempurna, haid di hari pertama atau kedua, TBC, pasien kelainan darah tertentu, juga pada pasien yang fobia pada ruangan sempit, dan asma berat. “Maka dari itu butuh diskrining dulu sebelum masuk (ruang hiperbarik),” pungkas Hafifie.
Saat ini, Rumah Sakit Awal Bros Batam sudah menyediakan layanan hiperbarik sore hari. Layanan ini ditujukan kepada pekerja atau masyarakat yang merasa capek atau lelah setelah melakukan aktivitas seharian. Dengan terapi oksigen hiperbarik, kondisi tubuh yang lelah akan kembali fit seperti semula.
Di Indonesia, terapi oksigen hiperbarik baru dikenal di kota-kota besar di Pulau Jawa. Sedangkan di Pulau Sumatra, layanan ini baru ada di dua tempat untuk rumah sakit swasta, yakni Rumah Sakit Awal Bros (RSAB) Pekanbaru dan RS Awal Bros Batam. Sedangkan di rumah sakit pemerintah ada di RSAL Tanjungpinang. (***)
Reporter : YUSUF HIDAYAT
Editor : MUHAMMAD NUR