Buka konten ini
Tan Lioe Ie menghidupkan kembali tradisi ekphrasis dengan menjadikan karya rupa –lukisan, foto, dan gambar– sebagai pemantik untuk melahirkan puisi-puisi yang kaya makna.
APAKAH mungkin puisi dan lukisan bercakap dalam satu ruang? Apakah kata-kata dapat melompat dari kanvas dan menjadi nyawa yang baru? Ekphrasis, buku terbaru karya Tan Lioe Ie, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan menghadirkan dialog antara seni rupa dan puisi. Buku ini sebagai ruang pertemuan antara visual dan verbal.
Ekphrasis merupakan cara menggambarkan karya seni visual melalui kata-kata, atau menurut Academy of American Poets, ”a poem based on a picture or work of art”, seperti yang dikutip Tan Lioe Ie dalam pengantar bukunya. Tan Lioe Ie menghidupkan kembali tradisi ini dengan menjadikan karya rupa –lukisan, foto, dan gambar– sebagai pemantik untuk melahirkan puisi-puisi yang kaya makna.
Namun, Ekphrasis bukan sekadar penggambaran. Ia adalah upaya untuk melampaui batas medium seni, menggali kedalaman, dan menjelajahi realitas baru yang ditawarkan seni visual.
Buku ini menghadirkan 33 puisi, masing-masing terinspirasi oleh karya rupa tertentu. Sebut saja lukisan Salvador Dali, karya foto Rio Helmi, foto NASA tentang nebula, atau lukisan klasik China seperti karya Shen Zhou. Dalam setiap lariknya, Tan Lioe Ie menunjukkan kepiawaiannya bermain dengan imajinasi visual yang menjadi stimulasi lahirnya puisi. Setiap puisi adalah interpretasi baru dari karya seni rupa yang menginspirasinya.
Puisi berjudul ”Ekphrasis 1”, yang terinspirasi oleh foto Rio Helmi, menyeret pembaca pada konflik sumber daya alam. Minyak di dalam gurun yang menjanjikan kemakmuran hanyalah fatamorgana karena yang nyata adalah sumber perang berdarah:
Kemana / kafilah berlalu? / luruh / menyatu pasir? menyatu fosil / Bagai / beberapa tikus gurun dari / negeri dahaga perang. / Memburu / fosil yang minyak. / Seraya berteriak: ini / tak ramah lingkungan. Yang diperangi, / memerangi / darahnya mengudara. / Oase semu. / Fatamorgana. Permainan cahaya / mengecoh mata. (hal 1)
Melalui Ekphrasis, Tan Lioe Ie menawarkan keberagaman tema yang menjadi cerminan kompleksitas hidup manusia. Ia tidak sekadar mendeskripsikan karya rupa, tetapi juga menafsir, menyusun ulang narasi, membentuk realitas yang lain. Mulai kritik sosial hingga tema kefanaan. Setiap puisi membawa pembaca ke dalam perjalanan emosional yang unik. Dalam ”Ekphrasis 15”, misalnya, ia menggambarkan realitas pahit kehidupan manusia yang seperti melayang tanpa arah:
Gravitasi, tak bekerja / pada orang-orang ini. / Tiupan / angin, bisa membawa / ke mana saja. / Bisa / meninggi, / melampaui / ketinggian pohon-pohon hitam. / Bisa menukik, / hingga / membentur tanah hitam. (hal 56)
Bait ini mengingatkan pada absurditas kehidupan modern, di mana manusia sering kali menjadi korban dari dunia yang serbacepat dan tanpa belas kasih. Dalam dunia seperti ini, gravitasi sebagai simbol kestabilan atau pegangan hidup seolah kehilangan fungsinya. Dengan satire yang halus, Tan Lioe Ie menggambarkan kerapuhan manusia yang terombang-ambing di tengah ketidakpastian zaman, seolah kehilangan kendali atas arah hidupnya sendiri.
Tan Lioe Ie, dalam Ekphrasis, bermain-main dengan enjambemen, simbolisme, dan struktur staccato. Gaya bahasanya yang patah-patah menciptakan ritme unik, seolah-olah menghidupkan detak jantung imajinasi yang menjadi nyawa puisi-puisinya.
Tidak hanya reflektif, puisi-puisi dalam Ekphrasis juga menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi ruang perlawanan. Tan Lioe Ie menyelipkan kritik terhadap ketidakadilan sosial, manusia yang tercerabut dari akarnya, dan kehilangan identitas budaya akibat modernisasi. Dalam ”Ekphrasis 14”, yang terinspirasi oleh lukisan Nyoman Erawan, ia berbicara tentang kerusakan lingkungan:
Serpihan pecahan bukit adalah duri / menyusup mata. / sengatan / nyamuk menebar virus berbahaya. / Demam. / Suhu / bumi meninggi. / Dan / alis. Hutan / berlari kencang / meninggalkan / wajah yang tanah. (hal 55)
Salah satu keunikan dari buku ini adalah kemampuannya menghadirkan lapisan-lapisan makna yang dapat dijelajahi pembaca dari berbagai sudut pandang. Tan Lioe Ie menantang pembaca untuk tidak hanya menikmati karya-karyanya secara estetis, tetapi juga untuk memikirkan relevansi sosial dan filosofis yang diusung dalam setiap bait.
Dengan gaya yang khas dan tema yang kaya, Ekphrasis adalah sebuah percakapan yang menghubungkan seni rupa dengan puisi. Tan Lioe Ie menunjukkan bahwa seni visual bukan hanya objek yang diam, melainkan ruang yang menawarkan kemungkinan interpretasi baru. Namun, gaya patah-patah dan ritme staccato yang digunakan dalam puisi-puisinya dapat menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia menciptakan intensitas emosi dan imajinasi yang kuat, tetapi di sisi lain, struktur yang fragmentaris ini berpotensi membuat pembaca merasa terputus dari pesan atau emosi yang disampaikan. Bagi mereka yang terbiasa dengan alur puisi yang lebih luwes, hal ini mungkin terasa menantang. Meski demikian, keberanian Tan Lioe Ie dalam bereksperimen tetap patut diapresiasi sebagai bentuk eksplorasi estetika yang segar. (*)
Karya : KIM AL GHOZALI Editor : MUHAMMAD NUR