Jumat, 10 Januari 2025

Jadilah member kami

Untuk membaca keseluruhan berita di Harian Batam Pos.

Berita Hari Ini

Pertempuran Heroik Raja Haji Fisabilillah, Menandakan Hari Jadi Kota Tanjungpinang

Kota Gurindam Terkenal sebagai Pusat Pertahanan dan Bandar Perdagangan

Kota tua Tanjungpinang yang terbilang nyaman, aman dan bersahabat ini, kini terbagi atas empat Kecamatan dan 18 Kelurahan. Kota Tanjungpinang yang terletak di pesisir Pulau Bintan ini memiliki luas total 239,50 Kilometer persegi.

Kota Tanjungpinang juga merupakan Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kota ini terkenal dengan sebutan Kota Gurindam karena tidak terlepas dari keberadaan Pulau Penyengat yang legendaris itu.

Selain itu, di Pulau Penyengat yang tidak jauh dari Tanjungpinang ini, bersemayam para raja dan dua pahlawan nasional yakni Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji yang menulis mahakarya Gurindam 12 yang melegenda itu.

Tak hanya terkenal sebagai Kota Gurindam, Kota Tanjungpinang juga terkenal dan melegenda sebagai pusat pertahanan zaman kerajaan dari penjajahan kolonial yang saat itu berbasis di Malaka.

Salah satu kawasan pertahanan di Tanjungpinang yang legendaris yakni Bukit Cermin. Kawasan ini berkaitan erat dengan era Kerajaan Riau Lingga tahun 1700 hingga 1784.
Pada zaman itu, di puncak bukit tertinggi di Tanjungpinang ini, dibangun sebuah cermin besar sebagai tempat pengintaian. Bukit ini pun menjadi bukit intai para Ribath atau penjaga perbatasan kerajaan.

Tugasnya tidak lain untuk memantau dan melihat kedatangan kapal-kapal yang tak dikenal terutama kapal-kapal asing penjajah masuk ke Hulu Riau.
Para penjaga perbatasan ini menggunakan cermin besar yang terletak di atas bukit paling tinggi di Tanjungpinang ini untuk menjangkau penglihatan hingga ke semenanjung pantai.

Selain itu, cermin besar tersebut digunakan sebagai alat pantul cahaya atau kode bagi pertahanan kerajaan ke Pulau Penyengat, Istana Kota Rebah di Hulu Riau sebagai Ibu Kota Tanjungpinang dan wilayah Sungai Carang.

Karena itu pula kawasan Bukit Cermin Tanjungpinang memiliki peran penting dalam sejarah sebagai kawasan pertahanan dan sebagai tempat pengintaian penjaga perbatasan kerajaan untuk memantau kedatangan kapal penjajah.

Dalam catatan sejarah, keberadaan Kota Tanjungpinang sebagai pusat pertahanan semakin diperhitungkan sejak terjadinya peristiwa Perang Riau antara Kerajaan Riau melawan penjajah kolonial pada tahun 1782 hingga 1784 di perairan Tanjungpinang (perairan Riau).

Peperangan itu dipimpin langsung oleh Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah
Sebelum terjadinya perang di sekitar perairan Tanjungpinang dan Pulau Penyengat tersebut, penjajah kolonial memandang Raja Haji Fisabilillah sebagai tokoh sangat berbahaya. Sebab mempunyai pengaruh kuat di sepanjang Selat Malaka yang merupakan jalur strategis perdagangan ataupun pelayaran.

Namun puncak peperangan itu terjadi karena penjajah melanggar kesepakatan. Raja Haji Fisabilillah sebelumnya telah bersepakat membuat perjanjian dengan penjajah. Di antara isi perjanjian adalah tentang harta rampasan yang harus dibagi dua.

Tanpa sepengetahuan dan izin dari Kerajaan Riau, pihak penjajah merampas kapal Betsy Inggris yang bermuatan 1.154 peti candu saat melintas di Selat Malaka dan kemudian dibawa ke Batavia (Jakarta).

Karena adanya pelanggaran kesepakatan itu, Raja Haji Fisabilillah yang merupakan kelahiran Hulu Riau Tanjungpinang tahun 1727 ini, menganggap penjajah kolonial tidak menghormati hak-hak Kerajaan Riau.

Raja Haji Fisabilillah juga menganggap tindakan penjajah merampas kapal berisi candu itu, telah melanggar kedaulatan Kerajaan Riau dan tanah kelahirannya.

Kemudian perjanjian yang pernah disepakati itu dikembalikan oleh Raja Haji Fisabilillah kepada pihak penjajah. Raja Haji Fisabilillah pun kembali ke kerajaan dan memperkuat bala tentaranya.

Raja Haji Fisabilillah sebagai panglima perang saat itu seakan telah mengetahui bahwa gerak gerik penjajah yang berbasis militer di Malaka, akan menyerang Tanjungpinang dan kerajaan.

Pimpinan tertinggi armada keamanan laut kerajaan ini kemudian mengumpulkan bala tentara di Pulau Bayan Tanjungpinang. Memerintahkan bala tentara untuk untuk bertempur di medan perang melawan kedatangan kapal tentara penjajah.

Sebelum pertempuran itu, Raja Haji Fisabilillah menunjukkan kehebatan dan kepiawaiannya serta pengalaman perang dalam mengatur strategi mempertahankan kerajaan dan tanah kelahirannya itu.

Sang panglima perang legendaris ini mengatur dan mempersiapkan benteng-benteng pertahanan di Tanjungpinang, Pulau Penyengat dan Teluk Keriting dan kawasan lainnya.

Bala tentara Raja Haji Fisabilillah yang telah siap untuk berjihad, tidak gentar dengan kedatangan kapal perang penjajah yang ingin menguasai Tanjungpinang dan sekitarnya.

Kemudian terjadilah pertempuran heroik yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabilillah bersama bala tentara di sekitar perairan Tanjungpinang Pulau Penyengat. Peperangan itu mencapai puncaknya pada 6 Januari 1784.

Melalui pertempuran sengit nan heroik selama lebih kurang dua tahun, Kerajaan Riau yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah, meraih kemenangan telak yang ditandai dengan hancurnya kapal penjajah bernama Malaka’s Wal Faren.

Hancur leburnya kapal komando penjajah itu, membuat pasukan Raja Haji Fisabilillah berhasil mendesak dan mengusir pasukan penjajah yang tersisa untuk mundur dari perairan Tanjungpinang.

Beberapa bulan setelah dari perang legendaris itu, Raja Haji Fisabilillah dan bala tentaranya langsung menuju Teluk Ketapang dan menyerang Malaka yang menjadi pusat pertahanan Belanda di Selat Malaka.

Namun dalam peperangan di Selat Malaka itu, pasukan penjajah yang berkekuatan enam kapal, 326 meriam dan 2130 prajurit, berhasil mengalahkan pasukan kerajaan. Sedangkan Raja Haji Fisabilillah sebagai panglima perang, syahid.

Kemudian, setelah Belanda berkuasa tahun 1785, Kota Tanjungpinang dijadikan sebagai basis atau pangkalan militer. Selanjutnya Kota Tanjungpinang berstatus Ibu Kota dan pusat pemerintahan dari Residentie Riouw en Onderhoriheden (Residen Riau).

Seiring berjalannya waktu, atas perjuangan heroik Raja Haji Fisabilillah melawan penjajah, pemerintah pusat akhirnya menobatkan panglima perang legendaris di Tanjungpinang itu sebagai Pahlawan Nasional pada Agustus 1997, berdasarkan keputusan Presiden nomor: 072/TK/1997.

Sementara itu, tepatnya 6 Januari 1784, pada pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah dan pasukannya yang berhasil menghancurkan pasukan penjajah, dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Tanjungpinang.

Untuk menghormati jasanya sebagai pahlawan, nama Raja Haji Fisabilillah juga dinobatkan sebagai nama jalan, Bandar Udara dan Pangkalan Udara (Lanud) di Tanjungpinang serta nama jalan di Batam, Kepri.

Menurut Peneliti Sejarah BRIN Dedi Arman, penetapan Hari Jadi sebuah daerah atau kota biasanya merujuk ke sesuatu yang heroik. Contohnya peperangan di Tanjungpinang yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabilillah.

Namun hal ini bukan berarti sebelumnya Kota Tanjungpinang itu tidak ada atau belum adanya penduduk. Penetapan Hari Jadi berdasarkan sesuatu yang heroik tersebut sah saja.
“Contohnya pertempuran heroik Raja Haji Fisabilillah di sekitar perairan Tanjungpinang dan Pulau Penyengat saat melawan penjajah pada 6 Januari 1784, dijadikan Hari Jadi Kota Tanjungpinang,” kata Dedi.

“Jadi Gedung Daerah di tepi laut, pelabuhan dan lainnya, belum ada saat itu. Setelah perang dan Belanda menguasai Tanjungpinang, baru ada pembangunan,” sambungnya.
Selain sebagai pusat pertahanan, ungkap Dedi, Kota Tanjungpinang juga telah dikenal sejak lama sebagai pusat perdagangan. Menjadi lalu lintas perdagangan pada zaman kerajaan Johor Riau sekitar tahun 1507.

“Dahulunya Bandar Riau di Tanjungpinang dikenal sebagai pusat perdagangan dan ekonomi di Kepulauan Riau,” jelasnya.

Keberadaan Kota Tanjungpinang semakin dikenal luas sejak Sultan Abdul Jalil Syah memerintahkan Laksamana Tun Abdul Jamil untuk membuka bandar perdagangan di Pulau Bintan.

Bandar perdagangan itu berada di Sungai Carang, Hulu Sungai Riau Tanjungpinang. Bandar yang baru tersebut menjadi Bandar yang terkenal ramai dan dinamakan Bandar Riau.
Keberadaan Bandar Riau membuat peranan Kota Tanjungpinang menjadi sangat penting sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk lalu lintas perdagangan zaman kerajaan.
“Selain sebagai pusat perdagangan, Bandar Riau di Hulu Riau Tanjungpinang juga dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor Riau,” jelas Dedi.

Terkait penamaan Tanjungpinang, Dedi menjelaskan bahwa kota tua ini dinamakan Tanjungpinang karena terletak di sebuah tanjung atau tanah yang menjorok ke laut.
Zaman dahulu, jelas Dedi, Pulau Bintan banyak ditumbuhi pohon pinang. Tempat ini dulunya petunjuk bagi pelaut untuk masuk ke Sungai Bintan. Kemudian muncul nama Tanjungpinang, yang awalnya hanya sekitar daerah pelabuhan saat ini.

“Nama ini (Tanjungpinang) juga ada di dalam naskah Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji dan terdapat dalam Silsilah Melayu Bugis,” sebutnya.

Dedi menambahkan, salah satu kekhasan yang dimiliki oleh suatu kota tua adalah adanya kawasan Kota Lama termasuk Kota Lama di Tanjungpinang.

Kawasan Kota Lama yang mencakup Tepi Laut, Jalan Merdeka, Jalan Teuku Umar, Jalan Gambir dan Jalan Pos, kini cukup dikenal sebagai pusat bisnis, pusat informasi, wisata keluarga, hingga penyelenggaraan kegiatan budaya.

“Kota Lama ini sebagai pusat magnet baru, selain Pulau Penye-ngat yang sudah mendunia,” jelas Dedi.

Oleh sebab itu, Dedi berharap pemerintah daerah harus terus berupaya menghidupkan kembali gairah perekonomian, bisnis dan pusat budaya di Kota Lama Sehingga menjadi aset wisata sejarah di Tanjungpinang.

“Saat ini, promosi Kota Lama terus dilakukan untuk memperkuat identitas budaya dan sejarah serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat,” tutup Dedi. (***)

Reporter : YUSNADI NAZAR / Editor : ANDRIANI SUSILAWATI