Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Mantan presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat label sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia. Label yang diberikan Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) itu dikritisi oleh Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bung Karno, Faisyal Chaniago.
Menurut dia, penilaian yang dilakukan OCCRP perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi me-todologi yang digunakan OCCRP dirasa tidak valid dan tidak berbasis pada data hukum yang sahih.
”Berdasarkan informasi yang saya temukan, metode yang digunakan oleh OCCRP tidak berbasis pada data hukum dan fakta. Mereka menggunakan pendekatan polling melalui Google Form, yang jelas-jelas tidak ilmiah,” ungkap Faisyal kepada wartawan, Rabu (1/1).
Penggunaan platform seper-ti Google Form untuk polling merupakan metode yang tidak tepat untuk menilai sebuah fenomena besar seperti korupsi yang memerlukan ana-lisis mendalam dan validitas data yang kuat.
Faisyal mengkritik konsep yang digunakan OCCRP dalam memberikan penilaian terhadap pemimpin-pemimpin dunia. Sebab, OCCRP membuat indikator-indikator sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan ”korupsi” tanpa ada-nya data dan fakta yang jelas.
”OCCRP membuat indikator sendiri tentang makna korup-si. Kalau semua lembaga bebas membuat variabel-variabel untuk menyusun konsep, maka akan melahirkan konsep-konsep yang bias dan salah,” tegasnya.
Apabila konsep itu terus dipakai tanpa keilmiahan yang jelas, maka bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan politis. ”Konsep tersebut bisa di-pakai oleh orang atau lemba-ga tertentu dengan niat yang tidak baik, misalnya untuk menyerang tokoh atau pemimpin yang tidak mereka sukai,” lanjut Faisyal.
Dia menilai salah satu varia-bel yang digunakan OCCRP, yakni ”menjarah sumber daya alam”, sangat bias. Jika variabel itu digunakan untuk menilai korupsi, maka banyak pemimpin negara industri yang juga seharusnya masuk dalam kategori pemimpin terkorup.
”Jika variabel ini yang digunakan, maka banyak pemimpin negara-negara industri yang sudah merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam, yang seharusnya juga bisa dikategorikan sebagai pemimpin korup. Kenapa OCCRP tidak memasukkan pre-siden negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah nyata merusak lingkungan?” kritik Faisyal.
Penggunaan indikator semacam ini dapat merugikan banyak pihak, terutama jika dilihat dari perspektif global yang lebih luas.
Selain itu, banyak pihak yang mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar yang terjadi di negara-negara lain, khususnya yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
”Presiden yang paling banyak melanggar hak asasi manusia itu bukan Jokowi. Kasus perang di kawasan Timur Tengah, seperti pe-rang Irak, misalnya. Semua dunia tahu siapa yang jadi dalangnya,” katanya.
Dalam konteks ini, Amerika Serikat telah menjadi aktor utama dalam hilangnya hak-hak rak-yat Irak selama perang, tetapi tidak ada yang menyebut pemimpin negara tersebut sebagai pemimpin terkorup.
Faisyal menduga laporan OCCRP ini dimanfaatkan oleh politisi tertentu yang tidak menyukai Jokowi untuk menyerang citra Presiden. ”Beri-ta OCCRP ini digunakan oleh politisi-politisi yang tak suka dengan Jokowi sebagai senjata untuk menyudutkan Jokowi,” kata Faisyal. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : YUSUF HIDAYAT