Buka konten ini
MAKKAH (BP) – Setiap musim haji pasti ada jemaah yang meninggal dunia di Tanah Suci. Namun, tahun ini angkanya berkurang dibanding tahun lalu. Hingga hari ke-39 operasional ibadah haji atau Minggu (8/6) pukul 18.00 WIB, jumlah jemaah haji Indonesia yang wafat sebanyak 175 orang. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 190 orang, pada hari operasional yang sama.
Menurut data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kesehatan, mayoritas jemaah yang wafat mengalami komplikasi penyakit jantung. Dari total 175 kasus, sebanyak 77 orang memiliki riwayat penyakit jantung, 15 akibat kegagalan organ karena infeksi berat, 11 karena gangguan pernapasan akut, dan 11 lainnya karena dehidrasi. Penyebab ini memperkuat fakta bahwa suhu ekstrem, aktivitas fisik berlebih, dan kondisi komorbid tetap menjadi tantangan terbesar dalam ibadah haji.
Distribusi lokasi jemaah yang wafat menunjukkan konsentrasi terbesar di Makkah (114 orang). Lalu, disusul Madinah (30), Arafah (14), bandara (9), dan Mina (8). Dari sisi demografis, 62,9 persen jemaah wafat adalah laki-laki dan 55,4 persen di antaranya berusia lanjut atau di atas 65 tahun. Artinya, jemaah dengan usia dan risiko tinggi masih menjadi kelompok paling rentan.
Namun demikian, yang mencolok tahun ini adalah fakta bahwa fase puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), yang sebelumnya dikenal sebagai “zona merah” kematian jemaah, tidak menyumbang lonjakan kematian seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, prediksi kecerdasan buatan (AI) dari pemerintah Arab Saudi yang memperkirakan ratusan jemaah Indonesia akan wafat selama Armuzna, tidak terbukti.
“Menurut ekspektasi artificial intelligence pemerintah Saudi, seharusnya kemarin ada ratusan yang wafat. Tapi berkat doa semuanya, hanya sembilan orang yang wafat saat wukuf,” ungkap Kepala BPOM RI sekaligus anggota Amirul Hajj Prof Taruna Ikrar di Mina, Sabtu (7/6).
Taruna menegaskan, keberhasilan ini tidak lepas dari kerja keras petugas kesehatan haji Indonesia yang mengedepankan pendekatan preventif dan edukatif. Ribuan tenaga kesehatan dikerahkan, terdiri atas 1.000 tenaga kesehatan haji kloter (TKHK), 192 personel PPIH Kesehatan, dan tim kesehatan misi yang siaga di berbagai pos dan fasilitas layanan. Edukasi secara rutin diberikan kepada jemaah, disertai pembagian suplemen, vitamin, serta instruksi mobilisasi yang ketat dan adaptif terhadap kondisi cuaca.
Langkah strategis lain adalah pengaturan jadwal pergerakan jemaah saat malam. Tujuannya untuk menghindari paparan suhu siang yang mencapai lebih dari 50 derajat Celsius di kawasan Armuzna. Bahkan, sejak jauh hari sudah disosialisasikan bahwa jemaah dilarang beraktivitas di luar tenda dari jam 10.00 hingga 16.00 WAS.
“Tetap ada risiko, tapi kali ini berhasil ditekan. Itu luar biasa,” kata Taruna.
Dari perspektif waktu, puncak risiko memang masih terletak di sekitar pelaksanaan wukuf pada Kamis (5/6), mabit di Muzdalifah pada malam harinya, dan pelontaran jumrah di Mina pada Jumat (6/6). Namun, penanganan teknis yang semakin presisi mampu meminimalkan tekanan tersebut. Pada saat wukuf, tercatat 9 jemaah wafat. Lalu, pada hari pelontaran jumrah 11 orang wafat, dan pada Sabtu (7/6) ada 5 jemaah meninggal dunia.
Kepala Bidang Kesehatan PPIH Arab Saudi dr Mohammad Imran mengonfirmasi bahwa jumlah jemaah wafat memang menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, ia tetap mengingatkan bahwa penyakit jantung dan dehidrasi masih menjadi dua penyebab utama yang mengintai jemaah haji, terutama lansia dan kelompok risiko tinggi.
“Dari 175 jemaah wafat, 77 di antaranya karena penyakit jantung. Disusul infeksi berat, gangguan pernapasan akut, dan dehidrasi,” kata Imran. Ia juga menekankan bahwa penguatan edukasi kepada jemaah, pembagian vitamin, hingga pengawasan mobilitas selama fase Armuzna menjadi faktor penentu untuk menekan angka kematian.
MUI Soroti Syarat Istitha’ah
Meskipun angka kematian menurun, sejumlah pihak menggarisbawahi pentingnya memperkuat kebijakan istitha’ah atau kemampuan fisik dan mental jemaah sebelum berangkat. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyoroti masih adanya jemaah dengan kondisi berat, bahkan demensia, yang tetap diberangkatkan ke Arafah.
“Saya prihatin. Ada jemaah yang tidak lagi sadar penuh, tapi tetap ikut. Padahal, secara syar’i, kalau sudah tidak berakal atau fisiknya tidak memungkinkan, seharusnya dibatalkan,” ujarnya di Mina, Jumat (6/6).
Amirsyah mendesak agar keputusan keberangkatan jemaah benar-benar mempertimbangkan aspek medis dan syariat secara ketat. Ia juga meminta mekanisme badal haji ditentukan sejak awal bagi jemaah yang meninggal sebelum menunaikan rukun haji.
“Kalau menurut dokter tidak mampu,ya seharusnya dibadalkan. Jangan sampai hanya karena sudah bayar, lalu diberangkatkan semua,” tegasnya.
Dengan total 175 jemaah wafat hingga Sabtu (7/6), Indonesia mencatatkan penurunan angka kematian di tengah suhu ekstrem dan tekanan ibadah yang tinggi. Capaian ini menunjukkan bahwa layanan kesehatan haji Indonesia terus membaik dari tahun ke tahun. Meski demikian, tantangan belum usai. Proses pemulangan dan potensi kelelahan pasca-Armuzna masih membutuhkan perhatian serius.
Apresiasi dari Saudi
Keberhasilan Indonesia dalam menekan angka kematian dan menjalankan fase Armuzna dengan relatif tertib mendapat apresiasi langsung dari Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammad bin Salman (MBS). Indonesia juga mendapat perhatian khusus sebagai negara pengirim jemaah terbanyak dan dinilai berhasil menjalankan penyelenggaraan haji yang lebih tertib dan terfasilitasi.
Peningkatan kualitas layanan haji tahun ini turut diakui oleh Kementerian Haji Arab Saudi. Menurut Menag Nasaruddin Umar, berbagai fasilitas seperti tenda, air bersih, rumah sakit, dan tim medis keliling mengalami peningkatan signifikan.
Salah satu dampaknya adalah menurunnya angka kematian jemaah haji Indonesia dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini menunjukkan bahwa layanan kesehatan yang ditingkatkan berkontribusi besar pada keberhasilan tersebut.
Meski secara umum berjalan lancar, Nasaruddin tak menampik adanya hambatan teknis di fase puncak haji, terutama saat mobilisasi dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina. Pemerintah Saudi bahkan menyampaikan permintaan maaf atas kepadatan lalu lintas yang sempat menyebabkan keterlambatan di sejumlah titik. Namun, seluruh jemaah Indonesia berhasil dipindahkan dengan aman, kecuali yang masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Distribusi konsumsi jemaah pun dinilai sangat baik, bahkan diberikan lebih dari kebutuhan. Nasaruddin menyebut, tantangan yang terjadi bukan hanya dialami Indonesia, tetapi hampir seluruh negara peserta haji. Ia pun berharap pelaksanaan haji tahun depan akan lebih baik, dengan terus mengedepankan pelayanan yang humanis dan efisien bagi seluruh jemaah.
“Secara umum, Kementerian Haji Arab menyebut pelaksanaan haji tahun ini lebih tertata dan terfasilitasi,” ujar Menag. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG