Buka konten ini
BATAM KOTA (BP) – Sidang perdana kasus dugaan ekspor dan produksi arang bakau ilegal dengan terdakwa Junaidi alias A Hui, pengusaha arang asal Galang, mulai digelar di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Rabu (28/5). Namun proses hukum yang dinanti publik ini justru tersendat di awal.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tiwik baru saja dibuka ketika tim penasihat hukum terdakwa mengajukan permohonan penundaan. Alasannya, surat kuasa belum didaftarkan ke kepaniteraan karena mereka baru menerima jadwal sidang pada hari yang sama.
“Izin, Yang Mulia, kami minta agar sidang ditunda,” ujar kuasa hukum A Hui. Permintaan tersebut dikabulkan oleh hakim.
“Karena surat kuasa belum didaftarkan, sidang ditunda sepekan,” ujar Hakim Tiwik sambil mengetuk palu.
Sidang yang semula akan mengungkap dakwaan atas praktik ilegal dalam bisnis arang milik PT Anugerah Makmur Persada itu pun harus ditunda.
Kasus ini mencuat setelah inspeksi mendadak (sidak) gabungan yang dilakukan Komisi IV DPR RI bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada 2023.
Dalam sidak ke wilayah Sembulang, Galang, tim menemukan gudang arang skala besar berdiri di atas kawasan hutan produksi konversi, yang dilarang untuk aktivitas industri tanpa izin resmi.
“Perusahaan ini tidak memiliki izin sama sekali. Mereka beroperasi di kawasan hutan produksi dan melanggar sejumlah undang-undang,” tegas Direktur Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, kala itu.
Junaidi alias A Hui dijerat dengan pasal-pasal dari dua undang-undang utama: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ancaman hukumannya tidak main-main: pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga miliaran rupiah.
Nama A Hui dikenal luas di dunia usaha arang bakau. Ia disebut-sebut telah menjalankan bisnis ini selama bertahun-tahun dengan jaringan distribusi hingga ke pasar ekspor mancanegara.
Produknya diketahui berasal dari pembakaran bakau yang diambil dari hutan-hutan pesisir di Galang, Batam.
Meski dikenal sebagai pengusaha energi alternatif, kasus ini menyoroti sisi gelap pembalakan liar dan eksploitasi kawasan hutan yang selama ini luput dari pengawasan. Pemerintah pun didesak bertindak tegas terhadap pelaku usaha yang merusak lingkungan demi keuntungan pribadi. (*)
Reporter : Azis Maulana
Editor : RATNA IRTATIK