Buka konten ini
BATAM (BP) – Polemik rumah liar (ruli) di Baloi Kolam tak kunjung selesai. Warga penghuni ruli bersitegang dengan pihak investor yang memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Di tengah konflik itu, pemerintah—baik BP Batam maupun Pemko—dinilai abai.
Anggota DPRD Batam, Suryanto, menilai kehadiran negara sangat minim dalam menyelesaikan konflik tersebut. Padahal, keberadaan warga ruli secara administratif tetap diakui. “Mereka punya KTP, ada RT/RW, ikut Pemilu. Artinya, negara mengakui mereka,” kata Suryanto, Senin (26/5).
Ia menilai konflik ini kian meruncing karena tidak ada fasilitasi dari pemerintah. Alhasil, warga dan investor seolah diadu langsung di lapangan.
“Kita tidak bisa membenturkan warga dengan warga. Investor itu juga warga negara. Penghuni ruli pun sah sebagai warga Batam. Tapi karena pemerintah tidak hadir, mereka jadi berhadap-hadapan,” tegasnya.
Suryanto menekankan bahwa tidak adil jika semua beban diserahkan ke investor. Pemerintah harus turun tangan, menjembatani komunikasi dan memberi solusi konkret.
Secara legal, lanjut dia, lahan itu memang sudah dialokasikan kepada investor dan seluruh kewajiban telah dibayar. Namun, menurutnya, penyelesaian persoalan sosial tidak cukup lewat pendekatan hukum saja.
“Ini butuh komunikasi. Pemerintah wajib turun tangan kalau dua pihak tidak sepakat,” ujarnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Suryanto mendorong relokasi warga ke lokasi yang lebih layak. “Kalau sejak awal negara tidak ingin mereka tinggal di sana, jangan beri KTP, jangan bentuk RT/RW. Tapi kenyataannya diakui. Maka harus diselesaikan,” tambahnya.
Ia mengusulkan pendataan ulang seluruh penghuni ruli di Batam. Dari data itu, bisa ditentukan siapa yang betul-betul warga tidak mampu dan berhak atas bantuan relokasi. Mekanisme bisa lewat pemberian langsung atau cicilan.
Tak hanya membela warga, Suryanto juga menekankan perlunya perlindungan dan kepastian bagi investor. “Ini penting agar iklim investasi tetap kondusif,” katanya.
Salah satu solusi yang ia tawarkan adalah pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami). Tapi ia sadar, ada kendala soal status tanah di Batam yang hanya sebatas Hak Guna Bangunan (HGB).
“Di luar Batam, sertifikat rusunami bisa jadi hak milik. Di sini HGB. Tapi itu bukan hal yang tak bisa diurus. Regulasi bisa diperjuangkan,” ujarnya.
Saat ditanya soal dampak konflik ini terhadap citra Batam sebagai kawasan investasi, Suryanto tak menampiknya. “Suka tidak suka, kita harus akui. Investor sudah jalankan kewajibannya. Pemerintah yang belum maksimal bantu prosesnya.”
Ia menegaskan, pemerintah tidak bisa terus membiarkan masalah ini menggantung. “Kalau menurut saya, ini murni problem pemerintah. Jangan biarkan warga terus saling berhadapan,” tegasnya. (*)
Reporter : ARJUNA
Editor : RYAN AGUNG