Buka konten ini
Ledakan tenaga kerja asing di kawasan industri dan proyek konstruksi elite di Batam memantik keresahan. Pekerja asing, mayoritas dari Tiongkok, mengisi berbagai posisi di perusahaan, termasuk pekerjaan yang sejatinya bisa diisi buruh lokal. Yang jadi masalah serius, banyak yang ilegal.
DI antara deru mesin dari konstruksi gedung-gedung menjulang di kawasan Marina, Batam, dua pria asal Tiongkok sibuk mengaduk semen di proyek prestisius Opus Bay. Mereka bukan tenaga ahli konstruksi, melainkan buruh kasar yang datang ke Indonesia hanya berbekal visa wisata.
Penyamaran keduanya terbongkar saat petugas gabungan dari Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam dan Polda Kepulauan Riau menggelar operasi bertajuk Wira Waspada, sejak April hingga Mei 2025. Tim curiga terhadap aktivitas mencolok di sebuah penginapan kawasan Batam Center. Penelusuran membawa mereka ke proyek Opus Bay, tempat dua buruh Tiongkok itu bekerja tanpa izin resmi.
“Mereka datang seolah-olah wisatawan, tapi bekerja secara ilegal. Ini pelanggaran serius,” kata Kepala Imigrasi Batam, Hajar Aswad, Kamis, 15 Mei 2025.
Dua pekerja itu bagian dari 23 warga negara asing (WNA) yang diciduk dalam operasi tersebut.
Mereka terbukti melanggar aturan keimigrasian, mulai dari penyalahgunaan visa hingga overstay.
Sementara, proyek tempat mereka bekerja luput dari sanksi berat. Kantor imigrasi hanya menjatuhkan teguran tertulis kepada pengelola proyek.
“Setelah kami klarifikasi, tidak ada bukti mereka terlibat dalam perekrutan,” ujar Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Kharisma Rukmana.
Namun, temuan buruh asing ilegal di proyek elite itu, membuka tabir gelap praktik perekrutan TKA ilegal di Batam. Bukan hanya soal dua pekerja, tapi jaringan rapi yang bekerja di balik layar.
Salah satu penggeraknya adalah TS, pencari suaka asal Myanmar yang diduga menjadi koordinator bagi 16 WN Myanmar lainnya. TS bukan cuma mencarikan pekerjaan, ia mengatur tempat tinggal, transportasi, bahkan memalsukan informasi lowongan kerja ke Singapura.
“Pelayan restoran, asisten rumah tangga—pekerjaan fiktif seperti itu,” kata Hajar.
Aksi TS dan kelompoknya begitu rapi. Mereka berpindah-pindah hotel untuk menghindari pantauan. Dari 17 WN Myanmar yang diamankan, 10 di antaranya melampaui izin tinggal. Enam lainnya masih memiliki izin sah, namun tetap ditahan untuk pemeriksaan.
WNA yang diamankan bukan hanya dari Asia. Seorang warga Kanada berinisial DJM juga ikut ditangkap setelah dilaporkan mengganggu ketertiban umum di kawasan OS Hotel, Batam Kota. Petugas kini mengevaluasi kondisi kejiwaannya sebelum mengambil langkah deportasi.
Tiga WN Bangladesh lain masuk ke Indonesia tanpa melewati Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) resmi. Mereka kini ditahan dan menghadapi proses hukum.
Seluruh WNA tersebut dikenakan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 tentang Keimigrasian. Mereka terancam hukuman penjara hingga satu tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Bagi aparat keimigrasian, Wira Waspada bukan sekadar razia dadakan. Ini bagian dari upaya menjaga integritas wilayah, terutama Batam, yang menjadi pintu gerbang strategis keluar-masuk orang asing. “Kami pastikan hanya orang asing yang memberi kontribusi positif yang boleh tinggal dan bekerja di sini,” kata Hajar.
Namun, Pekerjaan Rumah Belum Selesai.
Di kawasan industri Tanjunguncang, keluhan warga soal membanjirnya TKA mulai mengemuka. Puluhan hingga ratusan pekerja asing disebut bekerja di sektor pengolahan plastik, pembuatan kasur, hingga pabrik kertas. Dominasi ini membuat penduduk lokal merasa tersisih dari lapangan kerja di daerahnya sendiri.
Beberapa pekan lalu, warga mendatangi kawasan industri Best dan menggelar protes. Mereka menuntut perusahaan memprioritaskan pekerja lokal dalam rekrutmen.
“Kami tidak menolak TKA, tapi kami butuh keadilan. Masak di tanah sendiri kami cuma jadi penonton,” kata Santi, warga Tanjunguncang.
Keluhan serupa disampaikan Irawan, warga lainnya. Ia menilai pengawasan terhadap TKA masih lemah. “Kami rugi dari semua sisi. Pekerjaan makin sulit, lingkungan pun ikut terdampak,” ujarnya.
Anita, pekerja lokal di pabrik kasur, juga angkat suara. Di tempatnya bekerja, terdapat sekitar 50 pekerja asal Tiongkok.
“Mereka nggak bisa Bahasa Indonesia. Manajer dan supervisor juga bukan orang lokal,” katanya. Situasi ini menciptakan kesenjangan dan rasa asing di tempat kerja.
Sorotan publik kembali mengarah ke Opus Bay, proyek megah yang digadang-gadang menjadi simbol kemajuan Batam. Dua pekerja asing ilegal yang ditemukan bekerja di sana menjadi tamparan bagi citra legalitas proyek tersebut.
Saat dikonfirmasi, manajemen Opus Bay tak banyak bicara. Frans, perwakilan perusahaan, menyebut urusan tenaga kerja sebagai tanggung jawab kontraktor utama. “Itu bukan wewenang kami,” ujarnya singkat.
Pihak kontraktor utama, China Construction, mengakui dua pekerja ilegal itu merupakan bagian dari tim mereka. “Sudah ditangani dan dideportasi oleh Imigrasi,” kata Godhi dari bagian HRD.
Perusahaan mengaku akan lebih hati-hati ke depan. Frans dari Opus Bay menegaskan bahwa seluruh pembangunan dilakukan sesuai dengan hukum Indonesia. “Kami legal,” katanya.
Di atas kertas, pernyataan itu sah-sah saja. Tapi di lapangan, fakta berbicara lain. Proyek megah yang menjulang tinggi tak selalu dibangun di atas fondasi yang bersih.
Batam yang terus tumbuh sebagai kota industri dan investasi, pekerjaan rumah dalam penegakan hukum dan pengawasan tenaga asing pun tak kunjung usai.
Disnaker Batam Kesulitan Menindak TKA Ilegal
Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Batam mengaku kesulitan mengawasi maraknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal yang bekerja di berbagai proyek dan perusahaan penanaman modal asing (PMA) di Batam. Keterbatasan kewenangan membuat Disnaker hanya mampu melakukan pembinaan kepada perusahaan tanpa dapat menindak langsung pelanggaran ketenagakerjaan oleh TKA.
“Pengawasan tenaga kerja asing bukan kewenangan kami, itu ada di tingkat provinsi. Disnaker kota hanya berwenang melakukan pembinaan perusahaan,” ujar Kepala Disnaker Kota Batam, Rudi Sakyakirti, kepada Batam Pos, Jumat (23/5).
Hingga Mei 2025, tercatat sebanyak 4.732 TKA legal masih aktif bekerja di Batam. Mayoritas berasal dari Tiongkok (1.299 orang), disusul India (1.154), Singapura (359), Malaysia (350), Filipina (214), dan Vietnam (170). Namun, angka ini dianggap belum mencerminkan kondisi riil di lapangan, mengingat masih ditemukan penggunaan TKA ilegal.
Beberapa proyek bergengsi seperti Opus Bay Marina serta perusahaan asing seperti PT Chuang Sheng Metal dan PT Sun Gold Solar menjadi sorotan karena dugaan penggunaan TKA ilegal. Temuan ini dianggap mengancam keberlangsungan investasi yang sehat dan legal di Batam.
Rudi menjelaskan, proses perpanjangan izin kerja TKA saat ini sudah dilakukan secara daring melalui sistem tka-online. Syaratnya meliputi dokumen pribadi TKA, rencana kebutuhan tenaga kerja dari perusahaan, serta dokumen legalitas seperti NPWP dan akta pendirian perusahaan. Perusahaan tidak lagi diwajibkan melakukan wawancara untuk perpanjangan, berbeda dengan saat pengajuan izin baru.
“Meski sistemnya dipermudah, masih ada perusahaan yang sengaja menghindari proses ini dan memilih mempekerjakan TKA secara ilegal,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa retribusi atas penggunaan TKA dibagi berdasarkan lokasi kerja. Jika TKA hanya bekerja di Batam, dana kompensasi masuk ke kas daerah Kota Batam. Jika pekerjaannya mencakup wilayah lain dalam satu provinsi (misal Batam dan Bintan), dana masuk ke pemerintah provinsi. Sementara jika TKA bekerja lintas provinsi (seperti Batam dan Jakarta), kompensasi masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sampai April 2025, dana kompensasi yang terkumpul dari TKA di Batam mencapai Rp15 miliar dari target Rp42 miliar. Realisasi ini lebih rendah dibanding tahun 2024 yang mencapai Rp39,1 miliar dari target Rp45,7 miliar.
“Penggunaan dana ini sudah diatur dalam Perda Pajak dan Retribusi Daerah Nomor 1 Tahun 2024, di mana 70 persen untuk pelatihan dan bimbingan teknis ketenagakerjaan, 25 persen untuk sarana dan prasarana, serta 5 persen untuk penunjang lainnya,” jelas Rudi.
Meski tidak memiliki otoritas pengawasan, Disnaker tetap menerima laporan dari beberapa perusahaan besar yang rutin melaporkan keberadaan TKA mereka. Namun, diperlukan kerja sama solid antara pemerintah daerah, provinsi, dan pusat untuk menekan praktik pelanggaran ketenagakerjaan oleh perusahaan asing.
Disnaker juga mengingatkan agar seluruh perusahaan mematuhi regulasi yang berlaku. Saat ini, Perda Kota Batam No 2 Tahun 2022 tentang Penggunaan TKA sudah dicabut dan diganti dengan Perda No 1 Tahun 2024 yang mengacu pada regulasi nasional, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 34 Tahun 2021 dan Permenaker No 8 Tahun 2021.
“Kami dorong semua perusahaan patuh dan transparan dalam melaporkan TKA mereka. Kepatuhan bukan hanya soal administrasi, tapi juga tanggung jawab menciptakan iklim investasi yang adil dan berkelanjutan,” tutur Rudi.
Sementara itu, Kepala UPT Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Kepri di Batam, Susi Juniarti, mengaku belum bisa memberikan penjelasan terkait maraknya tenaga kerja asing ilegal di sejumlah proyek prestisius di Kota Batam. ”Maaf, saya belum bisa menjelaskan karena belum berkoordinasi dengan tim. Lagi pula, saya baru dilantik Jumat (23/5) kemarin,” ujarnya.
Apindo Minta Perusahaan Patuhi Aturan Soal TKA
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam turut angkat bicara soal maraknya penggunaan tenaga kerja asing (TKA) ilegal di sejumlah proyek elite dan perusahaan PMA di Batam.
Apindo menegaskan pengusaha harus mematuhi regulasi ketenagakerjaan dan tidak memberikan pekerjaan yang bisa dilakukan tenaga lokal kepada orang asing.
Ketua Apindo Batam, Rafli Rasyid, mengatakan regulasi mengenai izin mempekerjakan TKA sebenarnya tidak sulit selama perusahaan memahami prosedur dan mengikuti aturan. Namun, masih banyak pelaku usaha yang belum sepenuhnya memahami teknis administrasi dan batasan legal terkait TKA.
“Bukan karena regulasinya sulit, tapi karena pemahaman dan sosialisasinya masih kurang. Kalau semua dipatuhi, tidak akan ada masalah,” ujar Rafli, Sabtu (24/5).
Ia menegaskan, pekerjaan yang bersifat umum dan bisa dilakukan tenaga lokal tidak seharusnya diberikan kepada TKA, apalagi yang tidak memiliki izin resmi.
“Kalau pekerjaannya bisa dikerjakan orang Indonesia, kenapa harus pakai orang asing? Kecuali kalau memang itu pekerjaan yang sangat spesifik dan belum ada keahliannya di sini,” katanya.
Rafli menanggapi maraknya kasus TKA ilegal yang terungkap belakangan, seperti di proyek Balmoral Tower, Opus Bay Marina, serta sejumlah perusahaan manufaktur. Dalam operasi Wira Waspada oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam dan instansi terkait, ditemukan WNA dari Tiongkok dan Myanmar yang bekerja tanpa izin resmi. Sebagian besar hanya memiliki visa kunjungan atau izin tinggal terbatas (ITAS) investor.
Menurut Rafli, perusahaan asing kerap mendatangkan tenaga kerja dari negara asalnya, terutama dari Tiongkok, karena alasan bahasa dan sistem kerja yang lebih familiar, serta anggapan bahwa TKA dari Tiongkok lebih disiplin dan produktif.
“Itu sering jadi alasan, tapi bukan pembenaran untuk mempekerjakan orang asing secara ilegal. Kami di Apindo mengingatkan semua harus tetap sesuai aturan,” tegasnya.
Apindo juga mengkritisi lemahnya pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran ketenagakerjaan. Rafli menilai kasus semacam ini bisa dicegah jika ada pengawasan ketat sejak awal perekrutan hingga aktivitas di lapangan.
Ia mendukung langkah tegas dari Imigrasi dan instansi terkait dalam operasi penertiban TKA ilegal, namun berharap penindakan dibarengi edukasi kepada pelaku usaha.
“Segala sesuatu yang ilegal pasti ada yang disembunyikan. Kalau memang ada pelanggaran, silakan ditindak. Tapi edukasi juga penting agar tidak terulang lagi,” katanya.
Rafli menilai maraknya pelanggaran ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi dunia pendidikan dan pelatihan kerja di Indonesia.
“Ini PR bagi perguruan tinggi dan lembaga pelatihan kita. Harus mencetak tenaga kerja sesuai kebutuhan industri. Kalau kita siapkan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas, perusahaan tidak punya alasan lagi mendatangkan orang dari luar. Ini PR kita bersama,” pungkasnya.
DPRD Batam Soroti Peran Disnaker dalam Pengawasan TKA
Pengawasan terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), termasuk pelaksanaannya di tingkat daerah seperti Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam. Proses perizinan kerja TKA memang dikeluarkan oleh Kemnaker, namun pengawasan di lapangan melibatkan koordinasi dengan instansi daerah.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPRD Batam, Surya Makmur Nasution. Menurutnya, Disnaker Batam memegang peran penting dalam pelaksanaan pengawasan dan penindakan terhadap keberadaan TKA. “Disnaker Batam memiliki peran penting dalam mengawasi dan menindak keberadaan TKA,” katanya, Minggu (25/5).
Surya menilai koordinasi antara pusat dan daerah menjadi kunci menjaga ketertiban penggunaan tenaga kerja asing di Batam. Disnaker daerah dapat melakukan tindakan teknis seperti pengawasan langsung ke lapangan, pemeriksaan dokumen perizinan kerja, serta memastikan keberadaan TKA sesuai peraturan.
“Pengawasan TKA harus dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi antara Kemnaker, Disnaker, dan lembaga terkait,” tambahnya.
Ia menjelaskan, di tingkat pusat, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan (Ditjen PHIJK) memiliki tugas utama mengawasi pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan, termasuk penggunaan TKA.
Sementara Inspektorat Ketenagakerjaan Kemnaker juga memiliki kewenangan turun langsung ke lapangan untuk memastikan perusahaan mematuhi ketentuan ketenagakerjaan. (*)
Laporan : RENGGA YULIANDRA – EUSEBIUS SARA – ARJUNA – AZIS MAULANA dan YOFI YUHENDRI
Editor: RYAN AGUNG