Buka konten ini
BATAM KOTA (BP) – Musim hujan kembali tiba, dan seperti deja vu yang menjengkelkan, Batam kembali tergenang. Air meluap di jalan-jalan utama, permukiman padat, hingga kawasan elite. Ini bukan sekadar bencana alam, melainkan buah dari perencanaan kota yang pincang.
Banjir di Batam bukan lagi peristiwa luar biasa. Ia telah menjadi rutinitas musiman yang hanya berubah dalam bentuk dan lokasi. Tahun demi tahun, warga disuguhi pemandangan yang sama: aspal basah, kendaraan mogok, dan rumah-rumah kemasukan air.
Semua ini terjadi di kota yang digadang-gadang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di barat Indonesia. Kota yang infrastrukturnya—konon—dibangun dengan standar tinggi, dan dirancang menyerupai Singapura versi Indonesia.
Di tengah derasnya kritik publik, Wali Kota sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, menyatakan tengah merumuskan penanganan banjir dengan membentuk tim lintas institusi.
“Sekarang sedang dilakukan inventarisasi di berbagai titik,” ujarnya, Minggu (18/5). Tim itu, katanya, diturunkan saat hujan untuk merespons banjir, sementara camat dan lurah diminta aktif memberikan laporan.
Langkah tersebut dinilai terlalu reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan Amsakar sendiri mengakui bahwa sistem drainase Batam saat ini tidak sebanding dengan kecepatan ekspansi pembangunan kota.
“Saya ke Bappenas minta dukungan infrastruktur, terutama drainase yang belum proporsional dibandingkan dengan pengembangan sekarang,” ungkapnya.
Fakta di lapangan menunjukkan, proyek-proyek infrastruktur terus tumbuh, mulai dari pelebaran jalan, kawasan bisnis, hingga hunian bertingkat. Namun, saluran air tetap seperti masa lalu: sempit, dangkal, dan mudah tersumbat.
Tak heran jika warga bertanya, mengapa pelebaran jalan kerap tak dibarengi pembangunan drainase yang memadai? “Pelebaran jalan harus diimbangi dengan drainase yang proporsional,” ujar Amsakar.
Namun kenyataan berkata lain. Jalan-jalan baru justru kerap menjadi titik banjir, bahkan hanya dalam hitungan bulan sejak proyek rampung.
Ketika ditanya mengenai solusi sistemik seperti pembangunan drainase induk, Amsakar menyebutkan bahwa perencanaan sedang dalam tahap desain oleh Deputi Infrastruktur BP Batam. Namun, ia tidak menjelaskan kapan proyek tersebut akan direalisasikan.
Solusi darurat berupa pengadaan pompa air juga dinilai tak cukup. Anggota Komisi III DPRD Batam, Suryanto, menyebut pendekatan tersebut hanya bersifat tambal sulam.
“Itu solusi jangka pendek. Sementara drainase itu permanen. Kita ini kecil, bikin kanal per kecamatan saja cukup,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah harus duduk bersama dan menyusun peta air permanen, serta merancang sistem kanal besar yang terintegrasi. “Masih banyak lahan yang bisa dilewati. Sekarang masih bisa. Kalau nanti penuh, tambah susah,” tambahnya.
Situasi ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam membangun kota yang tahan terhadap genangan. Batam bukan kota baru. Lebih dari 40 tahun kawasan ini dikembangkan, namun banjir tetap menjadi tamu tetap.
Jika kini pemerintah kembali menyusun formulasi dari nol, artinya ada yang salah sejak awal. Tata kelola air, yang semestinya menjadi fondasi pembangunan, justru diabaikan.
Batam dibangun dengan semangat betonisasi. Bangunan, jalan layang, dan gedung pencakar langit tumbuh di mana-mana. Tapi air tak punya jalan. Tak ada kanal yang memadai, tak ada sistem drainase induk, dan tak ada peta aliran air yang dijadikan dasar pembangunan.
Setiap tetes hujan seperti ujian, dan jawabannya selalu salah. Kota ini tampak lebih dikejar dari sisi tampilan, bukan ketahanan. Pembangunan mengedepankan estetika, tapi mengorbankan ekosistem.
Warga Batam tak butuh tim inventarisasi atau janji normatif. Mereka butuh jaminan bahwa rumah tak lagi kebanjiran, bahwa jalanan aman dilalui meski hujan deras. Dan itu hanya bisa terwujud jika pemerintah mulai membangun dari bawah: dari saluran air, dari kanal, dari sistem yang berpihak pada daya tahan kota—bukan hanya siluet modernitas. Masih ada waktu. Masih ada lahan. Tapi waktu tak menunggu. Hujan akan segera datang lagi. (***)
Reporter : Arjuna
Editor : RATNA IRTATIK