Buka konten ini

Ekonom Tim Perumusan KEKDA Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau
Apa yang membuat seseorang tetap berbelanja, meski harga naik? Nyatanya ada faktor lain, selain sekadar kebutuhan, yaitu “keyakinan”. Yakin bahwa besok masih ada pemasukan, bahwa bulan depan masih akan gajian, bulan depan masih akan duduk di kubikal kantor, yakin ekonomi tidak akan jatuh bebas, hingga yakin bulan depan masih bisa beli beras.
Faktanya, salah satu penopang ekonomi paling stabil dan berkelanjutan justru datang dari dalam rumah tangga, yaitu konsumsi Rumah Tangga (RT), selain dari industri besar, ekspor, atau investasi asing. Setiap belanja harian, cicilan bulanan, hingga keputusan membeli gadget atau kendaraan baru, semuanya membentuk denyut nadi ekonomi. Tapi keputusan belanja ini tidak muncul begitu saja. Ia sangat dipengaruhi oleh “keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi”.
Inilah yang senantiasa dipotret oleh Bank Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa perasaan optimis itu, meski sedikit naik-turun, masih tetap terjaga. Namun, perlu waspada karena ada sinyal kekhawatiran.
Konsumen Kepri Masih Optimis, Tapi Mulai Khawatir
Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia Bulan April 2025 memberikan gambaran menarik untuk ditelaah. Konsumen Kepri masih optimis, namun mulai menunjukkan tanda-tanda kehati-hatian. Hal ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Kepri tercatat sebesar 103,58, turun dari Maret 2025 sebesar 121,1. Meski angka ini masih di atas batas netral (100), yang berarti masih optimis terhadap kondisi ekonomi, namun penurunan signifikan ini perlu menjadi perhatian.
Penurunan IKK ini terutama didorong oleh melemahnya Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang turun dari 119,33 menjadi 98,5. Tiga komponen pembentuk IKE menunjukkan pelemahan secara serentak yaitu Indeks penghasilan konsumen (dari 135,5 ke 115,5), indeks ketersediaan lapangan kerja (dari 95 ke 69,5), indeks konsumsi barang tahan lama (dari 127,5 ke 110,5).
Artinya, masyarakat merasa bahwa saat ini penghasilan mereka memburuk, peluang kerja lebih terbatas, dan mereka menahan diri untuk melakukan pembelian barang-barang tahan lama seperti elektronik, perabot, atau kendaraan. Hal ini tergambar dari perlambatan penjualan wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing terkontraksi 2,99% dan 4,74% (yoy). Lebih lanjut, pelemahan ini tergambar juga dari kontraksi impor barang konsumsi sebesar 11,48% (yoy). Hal ini memperkuat sinyal perlambatan permintaan domestik.
Senada dengan IKE, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), yang menggambarkan harapan masyarakat terhadap ekonomi enam bulan ke depan, menggambarkan kondisi yang sama. IEK turun dari 135,83 ke 108,67. Penurunan ini disebabkan oleh mulai tumbuhnya kekhawatiran terhadap kegiatan usaha dan lapangan kerja di masa depan.
Kekhawatiran ini rasanya bukan tanpa dasar. Ekonomi global masih diliputi ketidakpastian. Perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti Tiongkok dan Amerika Serikat. Teranyar, ketidakpastian kebijakan perdagangan global akibat perang tarif AS-Tiongkok diyakini memberikan dampak atas penurunan optimisme konsumen 6 bulan ke depan. Meskipun, kedua negara Adidaya tersebut baru saja menemui titik terang deeskalasi perang tarif, tapi mari kita tunggu hingga 90 hari ke depan.
Di dalam negeri, isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa sektor industri menjadi ancaman nyata bagi daya beli konsumen. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mencatat jumlah PHK secara nasional sepanjang 2025 mencapai 73.992 orang. Menurut BPJS Ketenagakerjaan, jumlah tersebut sudah mencapai 29% dari angka PHK sepanjang tahun 2024. Faktor pendorong PHK terutama akibat adanya penurunan permintaan dan kenaikan biaya produksi.
Menjaga Keyakinan, Menjaga Konsumsi
Kenapa keyakinan konsumen begitu penting? Karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Kepri, dengan kontribusi lebih dari 40% terhadap Produk Regional Domestik Bruto (PDRB). Ketika masyarakat merasa yakin, mereka akan lebih berani membelanjakan uangnya, memutar roda ekonomi Kepri dari bawah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat gambaran ini. Pertumbuhan ekonomi Kepri pada Triwulan I-2025 tercatat sebesar 5,16% (yoy), didorong oleh aktivitas ekonomi domestik, dimana konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang tertinggi ketiga. Pertumbuhan positif juga terlihat pada indikator lain seperti penjualan listrik yang tumbuh 3,18% (yoy). Yang ingin disampaikan disini adalah bahwa belanja rumah tangga itu memainkan peran tinggi terhadap perekonomian. Sekali lagi, kunci untuk kemauan dan kemampuan melakukan konsumsi itu adalah “keyakinan”.
Namun keyakinan bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Ia dibentuk oleh pengalaman nyata sehari-hari. Saat harga kebutuhan pokok tidak melonjak tajam, saat penghasilan cukup untuk hidup layak, dan saat masyarakat tidak dibayangi kekhawatiran kehilangan pekerjaan atau menghadapi krisis mendadak.
Oleh karena itu, stabilitas harga menjadi pondasi paling dasar. Konsumen yang melihat harga beras, minyak, dan listrik tetap terjangkau akan merasa lebih tenang dalam mengambil keputusan ekonomi, seperti belanja, menabung, atau berinvestasi.
Di daerah, Bank Indonesia bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) memainkan peran penting dalam mengawal stabilitas ini, baik dengan menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi dan komunikasi yang efektif.
Selanjutnya, akses terhadap lapangan kerja menjadi cerminan dari harapan masa depan. Bagi masyarakat, tersedianya pekerjaan, baik formal maupun informal, memberi kepastian bahwa roda ekonomi terus bergerak. Ketersediaan kerja juga menciptakan sirkulasi uang yang sehat dalam rumah tangga. Dalam hal ini, kebijakan perlu diarahkan pada penciptaan sektor-sektor padat karya yang mampu membuka banyak peluang kerja.
Siapa yang tidak akan was-was jika hampir setiap waktu disuguhkan pemberitaan PHK dimana-mana, tidak hanya perusahaan kecil-menengah, namun Perusahaan skala besar pun tidak luput dari isu ini.
Namun, angka penghasilan dan lapangan kerja saja belum cukup. Masyarakat juga membutuhkan rasa aman dari ketidakpastian. Artinya, mereka harus merasa bahwa kondisi ekonomi tidak akan berubah drastis secara tiba-tiba, baik karena gejolak harga global, konflik, maupun kebijakan yang tidak konsisten.
Di atas semua itu, stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri menjadi syarat utama. Konsumen tidak bisa optimis jika mereka terus-menerus diterpa kabar kerusuhan politik, kebijakan yang berubah-ubah, atau ketidakpastian arah pembangunan. Ketika politik domestik stabil, hukum ditegakkan secara adil, dan ekonomi bergerak konsisten menuju tujuan yang jelas, barulah konsumen merasa cukup aman untuk membelanjakan uangnya, merencanakan masa depan, bahkan berani mengambil risiko finansial.
Pada akhirnya, di tengah kompleksitas tantangan global dan dinamika domestik, menjaga keyakinan konsumen bukan sekadar indikator statistik. Ia adalah refleksi dari rasa percaya masyarakat terhadap negara dan masa depan mereka. IKK yang tetap berada pada zona optimis, seperti yang terlihat pada April 2025, menjadi sinyal positif. Namun, angka ini tidak boleh membuat kita lengah, terlebih ketika nampak penurunan yang cukup dalam. Ini adalah sinyal kewaspadaan, kekhawatiran dan kehati-hatian. Ia perlu terus dipupuk dengan kebijakan yang konsisten, berpihak pada rakyat, dan mampu menciptakan rasa aman di tengah ketidakpastian. (*)