Buka konten ini
”Anak saya pergi untuk selamanya. Hancur hati saya.”
BAGI Mu’tiah, bunyi sirene ambulans yang kian mendekat itu bak burung gagak yang datang membawa kabar muram. Perempuan sepuh tersebut tak lagi bisa menghibur diri dengan berharap sang anak, Isna Hayati, tak termasuk korban meninggal dalam kecelakaan maut di Kalijambe, Purworejo, yang baru saja dia dengar.
Benar saja, di dalam ambulans tersebut jenazah guru SD Islam Tahfidz Qur’an As Syafi’iyah, Mendut, Kabupaten Magelang, tersebut dibawa. Dan, setelah disalati di musala samping rumah di Mendut I RT 1/RW 1, ibu satu anak tersebut dimakamkan di pemakaman umum setempat.
”Anak saya pergi untuk selamanya. Hancur hati saya,” katanya di tengah isak tangis.
Segala kenangan mengalir. Termasuk pada Selasa (6/5) malam ketika Isna pamit ikut rombongan sekolah takziah ke Purworejo.
”Anak saya (Isna) bilang, ’Mak, kok aku ngipi (mimpi) kakak meninggal, tapi urip malih (hidup lagi)’,” ujar Mu’tiah kepada Radar Jogja (grup Batam Pos).
Mu’tiah tak terlalu menghiraukan cerita anak bungsunya itu. Sebab, baginya itu bunga tidur saja. Sampai kemudian dia mendengar kabar kecelakaan itu kemarin dari salah seorang tetangga. Semuanya masih serba-simpang siur, tapi pada hati yang berduka, dengan segera berbagai pertanda seolah terangkaikan: mimpi, kicau burung kemarin dini hari di sekitar rumahnya, Isna yang sudah pamitan…
Bhineke Giandika, salah seorang wali siswa SD IT Qur’an As Syafi’iyah, juga mendengar kabar yang masih simpang siur tentang kecelakaan di perbatasan Kabupaten Purworejo-Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tersebut.
Bahkan, dia juga tak yakin benar berapa kendaraan yang mengangkut rombongan guru yang akan takziah ke Purworejo. ”Yang pasti karena mau takziah ke Purworejo, anak-anak dipulangkan lebih cepat pada pukul 09.00,” kata Dika, sapaan akrabnya.
Dua jam kemudian dia mendengar kabar kecelakaan tersebut. Ada wali siswa yang mengira para guru hanya terluka dan dirawat di RSUD Purworejo sehingga berencana menjenguk. Tapi, ada pula, termasuk Dika, yang mendapat kabar sejumlah guru meninggal. ”Akhirnya, daripada duduk-duduk saja, kami inisiatif melakukan doa bersama,” kata Dika.
Dan, lantunan Yasin serta tahlil pun menggema di pendopo sekolahan…
Yang tersisa pada Mu’tiah kini tentang anaknya, Isna, hanyalah kenangan. Isna, di matanya, anak yang hebat dan mandiri sejak kecil.
Isna juga punya kepedulian pada sekitar. Itu sebabnya, di tengah kesibukannya mengajar di SD IT Qur’an As Syafi’iyah, dia tetap menyempatkan diri menjadi guru ngaji saat sore atau malam hari.
”Anaknya penyayang, sama semua orang disayang,” kenangnya. (***)
Laporan: NAILA NIHAYAH
Editor: RYAN AGUNG