Buka konten ini

Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Peraih Talenta Riset dan Inovasi BRIN Tahun 2024.
Apabila kita membuka UUD 45 dan membaca serta menghayati isi pasal 38, maka nampaklah di sana akan tercantum dua macam kewajiban atas tujuan yang satu. Tujuan ialah menyelenggarakan kemakmuran rakyat dengan jalan menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasarkan kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerja sama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga.
Pemikiran tersebut diucapkan oleh Pahlawan bangsa Indonesia, Mohammad Hatta atau yang kita kenal Bung Hatta saat menyampaikan pidato pada tahun 1951 di Radio Republik Indonesia. Bung Hatta sangat menekankan bahwa perekonomian Indonesia harus diselenggarakan demi terciptanya kemakmuran rakyat. Bahkan, frasa “berdasar atas kekeluargaan” memberikan sebuah semangat untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam menjalankan roda perekonomian bangsa.
Artinya, secara sederhana jika dimaknai, siapapun dapat berperan dalam perekonomian bangsa Indonesia. Sumber daya alam (SDA) dan potensi yang terkandung di dalamnya dapat dijalankan seluruh rakyat Indonesia. Lantas, kita bertanya dengan keadaan saat ini, sudahkah akses tersebut diberikan pada seluruh rakyat Indonesia? Atau justru hanya dikuasai oleh segelintir elite saja?
Pada 24 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara. Hal tersebut juga tidak lepas dari disahkannya revisi UU BUMN oleh DPR, dimana mengatur terkait perluasan definisi BUMN, tata kelola aset, hingga pembentukan Badan Pengelola Investasi Dana Anagata Nusantara (BP Danantara).
Danantara sebagai lembaga investasi kekayaan negara (sovereign wealth fund), nantinya akan menge-lola lebih dari 900 miliar dolar AS (sekitar Rp14.648 triliun). Nantinya, Danantara akan mengelola semua aset badan usaha milik negara (BUMN), termasuk dividen yang selama ini menjadi penerimaan negara bukan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Nantinya, BPI Danantara akan mengelola Indonesia Investment Authority (INA), dan 7 (tujuh) BUMN di antaranya, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Telkom Indonesia, Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, dan BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia (MIND ID).
Keberadaan Danantara akhirnya menyita perhatian publik tidak lepas dari gonjang-ganjing Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Tidak hanya itu, pada saat Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Gerindra di Sentul, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa akan melakukan penghematan anggaran hingga Rp750 triliun yang akan disuntik ke Danantara sebagai modal awal dan pembiayaan program Makan Bergizi Gratis.
Memang secara ideal, pembentukan BPI Danantara merupakan langkah strategis dalam transformasi BUMN dan sejalan dengan visi Indonesia emas 2045 yang dilakukan dengan bersinergi antara pemerintah, BUMN, dan seluruh pemangku kepentingan. Namun, menjadi pertanyaan dari pengalaman yang terjadi di belakang, sudahkah kita benar-benar serius menjalankan investasi negara? Sudahkah memikirkan secara matang untung, rugi, risiko yang ditimbulkan? Atau justru terulang kembali sekadar “kelinci percobaan?”
Isu yang menjadi sorotan utama adalah bahwa Danantara tidak dapat diaudit oleh lembaga penegak hukum maupun lembaga pemeriksa keuangan. Tentu hal ini memicu kekhawatiran terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset negara. Belum lagi, sudah ditentukannya orang-orang yang akan menduduki jabatan di dalam BPI Danantara tanpa tugas, pokok, dan fungsi yang belum matang, termasuk pelaksanaan pengawasan.
Pengawasan Jangan Formalitas
“Pemerintahan yang baik tidak hanya tentang menerapkan kebijakan yang efektif, tetapi juga membangun kepercayaan rakyat melalui transparansi dan akuntabilitas. Negara yang dikelola dengan ceroboh akan kehilangan legitimasi dan berisiko mengalami instabilitas sosial serta ekonomi.”
Pernyataan di atas merupakan kutipan dari buku seorang ahli politik dan ekonomi Amerika Serikat bernama Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul State-Building: Governance and World Order in the 21st Century. Fukuyama menekankan bahwa kebijakan yang hanya berfokus pada perluasan peran negara tanpa meningkatkan kapasitasnya sering kali berujung menjadi celah korupsi dan inefisiensi.
Kalau kita kaitkan dengan keberadaan Undang-Undang BUMN terbaru saat ini, secara terminologi, ada perubahan paradigma modal BUMN yang ujungnya berpotensi melemahkan pengawasan BUMN. Adapun perubahan tersebut adalah menghapus frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Jadi, belum berbicara tentang kelembagaan pengawasan, definisi dan substansi pengawasannya saja sudah lemah.
Lemahnya di mana? Dengan dihapusnya frasa tersebut, maka baik Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan bertentangan dengan UU BUMN yang salah satunya adalah definisi kerugian negara akan berubah total, sehingga tidak dapat diaudit oleh lembaga negara yang berwenang dalam pemeriksaan keuangan, maupun lembaga penegak hukum.
Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen selama masa pemerintahannya. Angka ini tentu menggiurkan, mengingat selama dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 4-5 persen. Namun, di balik optimisme tersebut, ada paradoks yang mengkhawatirkan: “Bagaimana mungkin pertumbuhan tinggi dicapai sementara korupsi masih merajalela dari tingkat kementerian, BUMN, hingga daerah, yang bahkan semakin memperumit kondisi sosial masyarakat, seperti tingginya kemiskinan struktural?”
Jika BPI Danantara tidak dibangun dengan sistem pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin dana Rp14.648 triliun itu justru bocor ke kantong-kantong pejabat dan oligarki. Apalagi, sejarah menunjukkan bahwa proyek besar di Indonesia sering menjadi ajang rente politik. Paradoks antara ambisi pertumbuhan ekonomi dan realitas korupsi menuntut adanya reformasi mendalam.
Selain itu, fokus belanja negara pada program-program populis yang menelan anggaran besar, namun tanpa tolok ukur yang jelas akhirnya menimbulkan kekhawatiran. Program semacam itu bisa saja tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan. Proyek-proyek birokratis yang kurang efisien justru membebani anggaran tanpa memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.
Contohnya, proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi tulang punggung pertumbuhan justru kerap terbengkalai karena masalah birokrasi, seperti lambatnya proses tender, tumpang tindih regulasi, atau merajalelanya korupsi. Proyek strategis seperti jalan tol, pelabuhan, dan kawasan industri sering kali molor dari jadwal, sehingga multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi tertunda.
Contoh lainnya, program Makan Bergizi Gratis, salah satu program populis di era Prabowo Subianto yang bertujuan meningkatkan gizi anak-anak sekolah. Meskipun program ini berpotensi meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang, beban fiskal yang ditimbulkan cukup signifikan. Peningkatan anggaran ini menimbulkan kekhawatiran akan pelebaran defisit anggaran dan potensi peningkatan utang pemerintah. Singkatnya, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap pengeluaran negara memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat, tanpa mengorbankan stabilitas fiskal dan keberlanjutan pembangunan.
Belum lagi persoalan yang selama ini telah kronis, krisis hukum di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak pihak yang menilai bahwa sistem peradilan telah kehilangan independensinya dan kerap digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini menambah keraguan terhadap kemampuan negara untuk memastikan bahwa dana investasi yang dikelola oleh BPI Danantara akan berjalan dengan transparan dan akuntabel.
Menjaga Danantara
Sebagai badan publik yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, BPI Danantara harus transparan dalam menyampaikan informasi publik sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengawasi.
Peluncuran Danantara yang prematur tanpa kejelasan payung hukum, bisa saja mengganggu keberhasilan sebagaimana yang menjadi cita-cita mulia dari Presiden Prabowo Subianto. Danantara mengelola uang yang rakyat yang besar nilainya, seharusnya tidak lagi menjadi kelinci percobaan. Pemerintah perlu belajar dari kegagalan negara tetangga, seperti 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia.
Pengawasan yang “formalitas” sama saja seperti meletakkan Danantara masuk ke dalam jebakan. Danantara harus beroperasi secara profesional dan berintegritas, serta menjauhi nuansa yang bersifat politis dan kepentingan segelintir orang, sehingga bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan. (***)