Buka konten ini

Wakil ketua utusan pemerintah dalam pembahasan RUU KIP dengan DPR 2006–2008; Sekjen Kemenkominfo 2014–2017
Beberapa media mainstream dan media baru ramai memberitakan keaslian ijazah Jokowi. Apalagi menyangkut institusi pendidikan UGM (Universitas Gadjah Mada) dimana Jokowi pernah menimba ilmu di Fakultas Kehutanan. Kemudian, muncul berbagai pendapat bahwa UGM wajib membuka informasi yang diminta masyarakat karena permintaan itu dilindungi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Malahan, yang meminta informasi ke UGM itu adalah salah satu alumnus sekaligus yang disebut pakar telematika dan juga mantan anggota DPR. Malahan, ketika diwawancarai wartawan dan minta diperlihatkan skripsi Jokowi, beliau mengatakan, ’’…yang membikin Undang-Undang Keterbukaan Informasi dan yang mengesahkan itu saya…’’
Perasaan saya, selama membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) KIP sampai disahkan menjadi undang-undang, saya belum pernah berjumpa dengan beliau. Perlu diketahui, mitra kerja dalam pembahasan RUU tersebut adalah pemerintah (Kemenkominfo) dengan Komisi I DPR.
Kok ya kebetulan, pada 2006 sampai dengan disahkannya UU No 14 Tahun 2008 tentang KIP pada 3 April 2008, saya ditugaskan pemerintah menjadi salah satu wakil ketua tim dari pemerintah untuk membahas RUU tersebut dengan DPR (komisi I). Salah satu alasan penunjukan saya sebagai wakil pemerintah untuk membahas RUU KIP adalah saat itu saya menjadi kepala Badan Informasi Publik Kemenkominfo. Anggota tim pemerintah terdiri atas berbagai kementerian/lembaga terkait.
Akses Informasi
Salah satu agenda reformasi adalah kebebasan informasi. Karena itulah, salah satu filosofi terpenting dalam pembuatan UU KIP, masyarakat luas harus diberi peluang maximum access limited exemption. Artinya, masyarakat harus diberi seluas-luasnya akses informasi. Informasi yang bersifat tertutup harus dibatasi. Itu pun harus dengan undang-undang. Karena apa?
Sebagaimana pengalaman pemerintahan sebelumnya (Orde Baru), yang terjadi justru sebaliknya. Boleh dikatakan, pada era itu, paradigma yang dianut adalah: “semua informasi itu ditutup kecuali yang dibuka”. Artinya, begitu tertutupnya informasi pada era tersebut sehingga yang dibuka sangat sedikit.
Sementara filosofi untuk UU KIP justru kebalikan Orde Baru. Dalam UU KIP, “semua informasi itu terbuka kecuali yang ditutup”. Artinya, informasi yang ditutup itu jumlahnya harus terbatas dan jelas (limitatif). Karena itu, pasal 17 UU KIP mengatur dan menjelaskan, informasi apa saja yang dikecualikan artinya tidak bisa dibuka.
Sikap UGM
Apakah UGM sebagai badan publik wajib memberikan informasi mengenai proses kuliah sampai kelulusan Jokowi? Kita lihat saja pasal 17 huruf h yang berbunyi: Setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengungkap rahasia pribadi.
Yaitu, (1) riwayat dan kondisi anggota keluarga. (2) Riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang. (3) Kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang. (4) Hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang. (5) Catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.
Pada angka 4 dan 5 jelas bahwa hasil evaluasi dalam proses kuliah bersifat rahasia. Demikian juga catatan pribadi seseorang pada pendidikan formal yang bersifat rahasia. Bagaimana dengan ijazah seseorang? Tentu, menurut saya, sifatnya juga rahasia.
Lantas, bagaimana dengan skripsi? Karena skripsi, tesis, atau disertasi adalah karya ilmiah, tentu sifatnya terbuka, tetapi hak karya intelektualnya tetap pada penulisnya. Karena itu, karya ilmiah tersebut biasanya dipajang di perpustakaan dan bisa dibaca siapa saja.
Bagaimana kalau menghadapi posisi ragu-ragu, sebuah informasi termasuk terbuka atau tertutup? Menurut saya, ingat saja hukum ’’Dewi Perssik’’. Apa maksudnya?
Waktu itu sekitar 2005, Dewi Perssik menyanyi dalam siaran langsung di televisi. Demikian semangatnya, kemben yang dipakainya melorot. Tentu, payudara yang semestinya tertutup (rahasia) menjadi terbuka. Kalau sudah terbuka, tentu tidak lagi menjadi rahasia karena sudah bisa dilihat/dibaca. Jadi, percuma ditutup. Karena itu, apabila seorang pejabat ragu-ragu apakah informasi itu terbuka atau tertutup, lebih baik ditutup saja dulu. Dikhawatirkan, kalau telanjur dibuka dan ternyata itu rahasia, tentu pihak yang terkait akan dirugikan.
Toh, apabila nanti digugat di Komisi Informasi Pusat, keputusannya hanya dua: harus dibuka atau tetap ditutup. Kalau kita tidak puas atas keputusan komisi informasi, masih ada upaya hukum dengan membawanya ke PTUN.
Menurut hemat saya, negara ini sudah sangat terbuka dan bahkan termasuk kategori negara paling bebas di dunia. Saking bebasnya, berbuat dan berkata apa saja boleh. Kecuali satu! Mengatakan tidak boleh! (*)