Buka konten ini
Hasyimi tumbuh dari komunitas yang mengajak anak-anak muda di seputaran Kalipare, Kabupaten Malang, aktif dalam kegiatan keagamaan. Penggemar mereka kini lintas kota dan usia.
MAJALAH Burn pernah menobatkan personel Dream Theater John Petrucci sebagai ”The Greatest Guitarist”. Pentolan Muse Matthew Bellamy, di sisi lain, juga pernah ditabalkan Total Guitar sebagai ”Gitaris Dekade Ini”.
Dua gitaris jawara dengan permainan khas masing-masing yang tak gampang di-cover. Tapi, coba tengok ”Ya Badrotim x Hysteria” di YouTube dan lihat bagaimana Muhammad Chilmi Hidayatullah menggapai chord-chord khas Bellamy. Atau bagaimana Chilmi membawa masuk petikan gahar Petrucci ke dalam ”Sholawat Asyghil x Home”.
Bersama kawan-kawannya di grup musik Hasyimi, sudah sekitar lima tahun Chilmi meronce riff-riff metal dengan selawat atau lirik-lirik islami. ”Tujuannya berdakwah dengan cara yang berbeda, tapi tidak berlebihan,” kata Chilmi kepada Jawa Pos Radar Malang (grup Batam Pos) yang menemuinya di Kalipare, Senin (14/4).
Bermula dari sebuah komunitas pemuda yang sekadar ingin mengajak anak-anak muda di sekitar Pondok Pesantren Pendidikan dan Perguruan Ar Ridlo di Desa Sukowilangun, Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang, Jawa Timur, aktif dalam kegiatan keagamaan, syiar islami Hasyimi kini menjangkau audiens yang jauh lebih luas. Tidak hanya sekitar Malang Raya, tapi juga sejumlah kota lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Bahkan lebih jauh lagi secara digital.
Sebab, tiga album karya mereka juga bisa didapatkan di Spotify, AppleMusic, hingga Joox.
Chilmi mulai membentuk komunitas yang kemudian tumbuh jadi Hasyimi itu pada 2020. ”Kalau sebelumnya kan bercampur dengan orang tua. Nah, kami juga ingin ada (komunitas) yang untuk remaja setiap malam Minggu,” tutur lelaki 31 tahun tersebut.
Di awal, baru ada tiga orang yang mengiringi selawat dan zikir. Masing-masing Chilmi yang memainkan gitak elektrik, Irene Yenitasari yang menjadi vokalis, dan Muhammad Khunafa yang menggawangi gitar akustik.
Kegigihan mereka membuahkan animo. Yang bergabung dengan komunitas kian berkecambah. Tahun ini jumlahnya mencapai 200-an orang.
Demikian juga jumlah personel di bagian musik. Ada Hana Aulidiansyah (gitaris), Hikam Putra Abdillah (drumer), Eka Irawan (basis), M. Aghis (kibordis), Agus Junaidi (kibordis), dan Yunus Kurniawan (darbuka). Adapun di vokal ada Siti Maisaroh, Fitrotin, dan Hela Juliani.
Para personel tambahan itu tidak dijaring lewat audisi. Melainkan hanya bermodal saling kenal karena tinggal di kecamatan yang sama. Mereka juga mengetahui kalau masing-masing memiliki keterampilan dalam bermusik, meski tak semuanya berlatar anak band.
Tapi, sebelum resmi menjadi grup musik, mereka meminta restu pengurus pondok. Terutama ayah Chilmi, KH Syaifuddin Zuhri, yang ternyata tak cuma mengizinkan, tapi juga mendukung penuh.
Untuk nama grup musik, Chilmi spontan mencetuskan Hasyimi. Yang diambil dari nama kakeknya sekaligus pendiri pondok salafiyah itu: Kiai Hasyim Fauzan.
”Ide menggabungkan salawat maupun lirik islami muncul sejak Hikam bergabung sebagai drumer,” katanya.
Unsur metal kuat dalam banyak karya mereka. Tapi, busana panggung mereka tetap khas pesantern. Para personel laki-laki berbusana baju koko, kopiah, dan sarung. Sementara jajaran vokalis perempuan bergamis yang dipadukan jilbab panjang.
”Kami juga tidak jingkrak-jingkrak seperti grup musik metal-rock pada umumnya. Demikian pula audiens yang menyaksikan penampilan tidak sampai berjoget,” ungkap Chilmi yang bertugas menggubah lagu dan menulis lirik itu.
Lagu-lagu awal mereka tampilkan di antaranya selawat Tsaljul Qulub dan Astagfirullah Robbal Baroya (Taubat Nasuha). Kemudian semakin beragam seperti salawat Nurul Huda, salawat Badar, hingga salawat Asyghil.
Umumnya lagu-lagu mereka kental diwarnai distorsi gitar hingga notasi bas yang mengarah ke rock progresif. Sedangkan semua selawat atau bagaimana lagu digubah didasarkan diskusi para personel.
Meski berawal dari komunitas anak-anak muda, karya mereka melintas usia. Bahkan, sebagai bentuk dukungan, kalangan sepuh yang jadi penggemar, terutama yang tinggal di Kalipare, menyumbang sejumlah instrumen.
Di tiap penampilan mereka, Hasyimi bisa menampilkan 9 sampai 12 lagu. Tapi, bisa pula lebih seperti ketika mereka tampil di Tegal yang sampai 15 lagu. ”Itu karena permintaan audiens yang antusias,” kata Chilmi.
Tawaran juga mengalir dari para warga Kalipare yang merantau di Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Tapi, untuk sementara Hasyimi belum bisa memenuhi karena masih mempelajari perihal apa saja dokumen yang diperlukan untuk manggung di luar Indonesia.
Butuh waktu. Tapi, kalau menaklukkan chord-chord sulit Dream Theater dan Muse saja mampu, terbuka sekali kemungkinan kelak mereka paham apa yang dibutuhkan untuk melawat ke luar negeri. ”Kami juga tidak menutup diri jika ada tawaran kerja sama dari pihak label,” katanya. (***)
Reporter : NABILA AMELIA
Editor : RYAN AGUNG