Buka konten ini

Setiap orangtua tentu ingin anaknya tumbuh sehat dan cerdas. Tapi tahukah Anda? Masa balita adalah fase paling krusial dan sekaligus paling rentan dalam hidup seorang manusia. Sayangnya, tak semua orangtua benar-benar paham risiko yang mengintai, bahkan sejak anak baru saja dilahirkan.
Mengapa balita perlu perhatian khusus?
Menurut dokter spesialis anak Rumah Sakit Awal Bros Batam, dr Indra Yanti, SpA, balita adalah anak usia 0 hingga 5 tahun yang termasuk kelompok usia yang belum memiliki sistem pertahanan tubuh sempurna.
”Mereka belum bisa melin-dungi diri dari penyakit, belum mampu berkata saat sakit, bahkan belum mengerti bahaya di sekitarnya,” ujar perempuan berhijab ini kepada Batam Pos, Jumat (11/4).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, berbeda dengan hewan seper-ti kuda atau jerapah yang langsung bisa berjalan sesaat setelah lahir, manusia membutuhkan waktu panjang untuk bisa mandiri. Artinya, sejak lahir, anak butuh proses yang kompleks untuk tumbuh. ”Dan dalam proses itu, banyak hal bisa terjadi,” katanya.
Ia mengatakan, gangguan sekecil apapun bisa meninggalkan bekas yang besar. Kejang, misalnya, bila terlambat ditangani bisa menyebabkan kerusakan sel otak. Sayangnya, ada orangtua yang baru membawa anaknya ke rumah sakit setelah kejang terjadi berkali-kali. ”Di titik itu, penanganan sudah bukan soal sembuh atau tidak, tapi soal kerusakan permanen yang bisa dicegah sejak awal,” terangnya.
Tanda Bahaya yang Wajib Dikenali
Tak semua penyakit pada balita harus langsung dibawa ke rumah sakit besar. Tapi ada tanda bahaya yang wajib dikenali dan tidak boleh diabaikan. Apa saja? Demam tinggi di-sertai kejang; anak sangat lemas, tak sadar, atau tak mau minum sama sekali; napas cepat, sesak, atau tampak sulit bernapas; muntah berulang, diare hebat; tampak kebiruan atau pucat.
Sebaliknya, jika anak hanya demam namun tetap aktif dan mau makan atau minum, orangtua bisa menangani di rumah lebih dulu. ”Beri cairan cukup, kompres, dan istirahatkan anak. Namun, jika gejala memburuk, segera konsultasikan ke dokter,” kata Indra Yanti.
Lingkungan dan Penularan
Kini, banyak anak sudah sekolah sejak usia sangat dinibahkan ada yang di bawah satu tahun. Dari playgroup, PAUD, hingga TK, interaksi sosial anak mulai meluas. Sayangnya, ini juga berarti risiko tertular penyakit semakin besar. ISPA, diare, hingga penyakit musiman seperti demam berdarah mudah menyerang jika lingkungan tidak bersih atau imunitas anak sedang turun.
Dikatakannya bahwa anak-anak juga rentan saat diajak ke tempat ramai seperti mal atau minimarket. Maka pen-ting bagi orangtua untuk memastikan anak dalam kondi-si sehat saat beraktivitas di luar rumah, serta menghindari kerumunan saat sedang banyak wabah.
3 Tahun Pertama: Masa Emas Otak Anak
Tahukah Anda bahwa 3 tahun pertama kehidupan adalah masa emas perkembangan otak anak? Pada masa ini, sel otak membentuk jutaan koneksi yang akan memenga-ruhi kecerdasan, emosi, dan perilaku anak sepanjang hidupnya.
Stimulasi yang tepat sejak dalam kandungan membantu membentuk jaringan otak yang padat dan kuat. Bicara pada janin, membacakan buku, memperdengarkan musik lembut, hingga memperkenalkan suara bacaan Al-Qur’an terbukti memberikan efek positif.
Ia menyatakan, ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa anak-anak yang sejak kecil terbiasa mendapat stimu-lasi positif akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tenang, mudah diarahkan, dan cerdas. ”Sebaliknya, anak yang terbiasa menerima rangsangan negatif, seperti teriakan atau suasana rumah yang penuh konflik, berisiko menjadi pribadi yang agresif atau sulit fokus,” katanya.
Penyakit Umum Balita & Cara Menanganinya
Penyakit infeksi adalah ”langganan balita”. Yang paling sering adalah: ISPA (batuk, pilek, demam), diare, demam berdarah (musiman).
”Sebagian besar disebabkan oleh virus. Kabar baiknya, infeksi virus biasanya bisa sembuh sendiri dalam 3-5 hari selama anak cukup cairan, cukup istirahat, dan mendapat nutrisi yang baik,” kata dokter senior di Batam ini.
Indra Yanti mengatakan bahwa obat dari dokter umum-nya hanya membantu meredakan gejala, bukan untuk membunuh virus itu sendiri. Maka, orangtua perlu fokus bukan hanya pada obat, tapi juga pada pola asuh saat anak sakit: sabar, telaten, dan peka terhadap perubahan kondisi,” tuturnya.
”Nah, tapi kalau bakteri ceritanya berbeda. Bakteri itu tidak bisa sembuh sendiri, jadi harus diberikan obat seperti antibiotik. Orangtua perlu memahami hal ini. Jadi, kalau anak demam, jangan langsung panik atau berpikir yang aneh-aneh. Pertama-tama pikirkan apakah ini virus dulu.”
Lalu, bagaimana kita tahu apakah ini karena virus atau bakteri?
”Ada ciri-cirinya. Biasanya, kalau penyebabnya virus, gejala awal (prodromal) lebih dominan. Misalnya, kalau fluyang umumnya disebabkan virusanak merasa pegal, lemas, sakit kepala, tidak enak badan, dan nafsu makan menurun. Itu gejala awal khas virus.
Anak terlihat seperti sakit berat di awal. Sedangkan, pada infek-si bakteri, karena bakteri butuh waktu untuk berkembang biak di tubuh, maka geja-lanya berkembang secara bertahap. Misalnya, demam awalnya ringan, lalu naik terus, muncul sakit kepala, nyeri saat menelan, dan setelah sekitar tiga hari baru terlihat parahitu khas infeksi bakteri,” tuturnya.
Jadi, katanya, kita bisa menge-nali perjalanan penyakitnya. ”Selain itu, kita bisa lihat juga dari kondisi sekitar, misalnya ada kakaknya yang pulang sekolah lalu sakit, lalu tiga hari kemudian adiknya ikut demambisa jadi karena bakteri. Tapi untuk memastikan, tentu saja harus ke dokter,” ucapnya.
Ia melanjutkan, pada kondi-si tertentu, misalnya anak punya riwayat kejang demam atau demam tinggi dengan lendir yang banyak, itu harus lebih waspada. Kejang demam itu sering kali punya riwayat keluarga. Kalau di keluarga tidak ada yang pernah step, meski panas tinggi anak tetap tenang. ”Makanya, dokter sering tanya apakah ada keluarga yang sedang sakit, karena itu berkaitan dengan faktor keturunan,” ungkapnya.
Selain infeksi, ada juga penyakit non-infeksi yang bisa terjadi pada anak. Salah satunya adalah infeksi saluran kemih yang sering kali tidak menunjukkan gejala khas. Anak tidak mau makan, ternyata setelah diperiksa ada infeksi. Kadang juga ditemukan pada anak yang sulit naik berat badan.
”Ini sering salah dikira TBC, padahal bisa jadi karena infeksi saluran kemih,” katanya.
Infeksi ini, lanjutnya, sering terjadi karena perawatan kebersihan anak yang kurang, terutama pada anak perempuan. Cara cebok yang salah atau tidak bersih bisa menyebabkan kuman masuk ke sa-luran kemih. Orangtua sering tidak tahu cara membersihkan yang benar, apalagi pada anak laki-laki yang belum disunat. Ditambah lagi kalau pakai popok terlalu lama sampai berat, ini bisa jadi pemicu infeksi.
Kuman masuk ke saluran kemih karena kebersihan yang kurang dan adanya sisa urin. Sisa urin mengandung gula dan metabolit lain yang bisa jadi tempat berkembangnya kuman.
”Kulit kita sebenarnya ba-nyak kuman, tapi karena kulitnya utuh tidak masalah. Tapi kalau di saluran kemih, kuman bisa masuk dan menyebabkan infeksi,” jelasnya.
Gejalanya sering tidak spesifik seperti nafsu makan turun, ternyata penyebabnya adalah infeksi saluran kemih.
Menurut Indra Yanti, tubuh manusia sangat luar biasa karena organ-organ saling mengkompensasi. Ketika satu organ terganggu, organ lain akan berusaha menyesuaikan. Tapi kalau tubuh tidak sanggup mengimbangi, maka timbullah gejala penyakit.
”Mekanisme pertahanan tubuh manusia berbeda de-ngan hewan. Kalau hewan, kadang mekanisme bertahannya adalah dengan saling serang. Manusia punya cara lain yang lebih kompleks,” ujarnya.
Untuk penyakit non-infeksi lainnya, misalnya ginjal bocor, diabetes juvenile (kencing manis pada anak), atau kelainan bawaan seperti hipotiroid kongenital. Hipotiroid menyebabkan hormon tiroid rendah atau tidak terbentuk.
”Kalau tidak diperiksa sejak awal, bisa menyebabkan ke-terlambatan perkembangan, bicara, pertumbuhan, bahkan perubahan wajah. Ini permanen.” Untungnya sekarang, ada program nasional peme-riksaan tiroid pada semua bayi baru lahir. Program ini gratis dan sudah berjalan di seluruh Indonesia. Meski kejadiannya jarang (sekitar 1 dari 1000 kelahiran), kalau tidak terdeteksi sejak awal, anak tidak bisa disubstitusi hormon dan tidak bisa kembali normal. Tapi kalau ketahuan sejak lahir, bisa diberikan terapi hormon dan tumbuh seperti anak normal.
Selain hipotiroid, ada juga skrining lain untuk bayi baru lahir agar bisa mendeteksi penyakit sejak dini dan ditangani sebelum muncul gejala. Ini penting karena bisa menghindarkan anak dari dampak jangka panjang yang berat.
Karena banyaknya penyakit infeksi di negara berkembang seperti Indonesia, pencegahan lewat imunisasi menjadi sangat penting. ”Ibarat naik mobil, imunisasi adalah seatbelt. Ketika terjadi tabrakan (paparan penyakit), tubuh sudah punya perlindungan. Imunisasi diberikan bertahap, mulai dari suntik dan tetes sejak bayi sampai balita,” tuturnya.
Idealnya, katanya, imunisasi dasar lengkap diberikan sampai usia 2,5 tahun. Sayang-nya, pemerintah baru menyubsidi sampai usia 1 tahun. Sisa-nya harus mandiri. Vaksin-vaksin seperti untuk pneumonia, tipes, cacar air, influenza, flu singapura, demam berdarah, kanker serviks, hepatitis A dan lainnya belum disubsidi. Yang disubsidi baru BCG, hepatitis B, DPT, campak, dan polio.
”Orangtua perlu melihat imunisasi sebagai investasi kesehatan jangka panjang untuk anak,” ujarnya.
Sayangnya, masih ada orangtua yang menolak imunisasi karena alasan tertentu, termasuk karena hoaks atau informasi yang salah. Ada juga yang menolak karena menganggap vaksin tidak halal, padahal sudah ada fatwa MUI yang menyatakan vaksin halal.
Fatwa MUI dikeluarkan setelah ulama melakukan investigasi langsung ke pabrik vaksin. Mereka melihat pro-sesnya dan memastikan bahwa meski di awal ada unsur babi untuk pengikatan virus, namun di akhir proses sudah tidak ada lagi material tersebut. ”Prosesnya mirip seperti air sungai yang tetap suci meski hulunya tidak jelas, karena sudah melalui penyaringan alami,” ucapnya.
Masih banyak yang belum sadar pentingnya imunisasi. Padahal, konsep herd immunity sangat penting. Kalau 80% populasi diimunisasi, maka 20% sisanya akan terlindungi secara tidak langsung karena lingkungan sekitarnya kebal. Tapi anak yang tidak diimunisasi harus berterima kasih pada 80% yang sudah.
”Edukasi terus dibutuhkan, termasuk lewat media, karena banyak orangtua yang masih abai, meskipun mere-ka tidak punya kendala finansial. Kadang mereka hanya bersikeras menolak tanpa alasan jelas. Karena itu, peran orangtua, tetangga, dan masyarakat dalam menyampaikan informasi yang benar sangat penting,” ucap dia.
Imunisasi juga tidak berhenti di usia anak-anak. Saat dewasa dan lansia, ada vaksinasi tambahan seperti meningitis dan influenza, terutama jika akan bepergian ke luar negeri seperti umrah. Karena lansia juga masuk kelompok risiko tinggi, seperti halnya balita.
Beberapa vaksin memerlukan booster atau pengulangan setelah beberapa waktu.
Misalnya, influenza setiap tahun, cacar air dua kali seumur hidup, demam berdarah dua kali di usia 6 tahun dan 6 tahun 3 bulan. DPT diberikan beberapa kali mulai usia 2 bulan hingga 5 tahun.
Semua jadwal imunisasi dan tumbuh kembang anak dapat dipantau melalui buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Kalau orangtua rajin membaca dan memahami isi buku ini, mereka bisa lebih tenang dan percaya diri dalam membesarkan anak, serta tidak mudah termakan hoaks.
”Semoga informasi ini membantu kita semua menjadi orang tua dan masyarakat yang lebih peduli terhadap kesehatan anak-anak kita,” katanya.
Melewati Masa Rentan
Banyak orangtua kini bersyukur ketika anaknya mencapai usia 5 tahun dengan sehat karena itu berarti mere-ka telah melewati fase paling rentan dalam hidupnya. Setelah usia itu, sistem tubuh dan saraf anak lebih matang dan kuat menghadapi tantangan.
Namun tentu saja, perjalanan belum selesai. Kesehatan dan kecerdasan anak tetap harus dipelihara. Dan semuanya bermula dari masa balita yang penuh perhatian, kasih sayang, dan pengetahuan yang cukup dari orangtua. ”Jadi, yuk, kenali lebih jauh dunia balita. Karena di masa kecilnya, tertanam fondasi masa depan yang tak ternilai,” pungkas dia. (***)
Reporter : YUSUF HIDAYAT
Editor : Muhammad Nur