Buka konten ini
BATAM (BP) – Kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dan diberlakukan terhadap Indonesia diprediksi akan memberi tekanan besar terhadap sektor industri manufaktur di Batam. Tiga sektor utama yang akan terdampak signifikan adalah industri elektronik, otomotif, dan panel surya.
Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Wilayah Batam dan Karimun, Adhy Wibowo, menyebut barang ekspor dari ketiga sektor itu kini masuk dalam daftar produk yang dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen oleh AS. “Kebijakan ini membuat banyak investor yang sudah eksis memilih untuk wait and see,” katanya, Rabu (9/4).
Ia mengungkapkan, ada perusahaan manufaktur besar di Batam yang awalnya berencana ekspansi tahun ini. Namun, karena kebijakan tarif baru tersebut, perusahaan menunda rencananya.
Empat kawasan industri terbesar di Batam, Batamindo, Panbil, Tunas, dan Kabil, sangat bergantung pada tiga sektor industri yang terdampak itu. Pada awal perang dagang antara AS dan Tiongkok, Kawasan Industri Tunas dan Panbil sempat menjadi tujuan relokasi investasi dari Tiongkok. Namun kini, kawasan itu diprediksi turut terdampak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Batam mencatat, ekspor utama dari Batam masih didominasi produk industri manufaktur. Mesin/peralatan listrik (HS 85) mencatatkan nilai ekspor sebesar USD 627,71 juta pada Januari 2025 atau menyumbang 36,87 persen terhadap total ekspor. Selain itu, mesin-mesin/pesawat mekanik (HS 84) senilai USD 86,87 juta dan benda-benda dari besi dan baja (HS 73) USD 147,74 juta.
Kenaikan tarif bea masuk AS yang drastis akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan bagi perusahaan-perusahaan manufaktur di Batam. Untuk menyiasatinya, perusahaan kemungkinan besar akan melakukan efisiensi, salah satunya dengan pengurangan tenaga kerja atau PHK.
Kawasan Industri Batamindo yang merupakan kawasan industri terbesar di Batam, saat ini menampung 72 perusahaan aktif dengan jumlah karyawan antara 45 ribu hingga 52 ribu orang. Jika digabungkan dengan tiga kawasan industri besar lainnya, total jumlah pekerja bisa mencapai 300 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk sekitar 20 kawasan industri lain di Batam.
Melihat ancaman itu, lanjut Adhy, pihaknya telah mendorong BP Batam agar segera meminta United States Trade Representative (USTR) untuk mengecualikan Batam dari pengenaan tarif Trump. Batam memiliki kekhususan sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang tidak mengenakan tarif bea masuk atas barang impor dari luar negeri.
“Pemerintah harus merespons cepat kebijakan ini agar bisa melindungi iklim industri Indonesia sebagai negara berbasis ekspor,” ujarnya.
AS masih menjadi salah satu negara tujuan utama ekspor dari Batam, selain Singapura dan Tiongkok. Pada Januari 2025, nilai ekspor Batam ke AS mencapai USD 308,90 juta atau sekitar seperempat dari total ekspor Batam. Angka ini naik 13,59 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Barang elektronik masih menjadi komoditas utama ekspor Batam ke AS. Kenaikan ini mulai terlihat sejak awal perang dagang AS-Tiongkok sebelum pandemi Covid-19.
Adhy juga menyoroti kemung-kinan investor memindahkan operasional ke Malaysia yang tarifnya hanya 24 persen dan ongkos logistik lebih murah. Ia menekankan pentingnya penguatan rantai pasok (supply chain) agar Indonesia lebih mandiri dan tidak terus bergantung negara lain.
Di lain pihak, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepri, Achmad Ma’ruf Maulana, mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak serius kebijakan tarif tersebut terhadap industri panel surya. Kebijakan itu menjadi ancaman besar bagi 26 perusahaan panel surya di Batam.
Menurutnya, khusus untuk panel surya asal Indonesia, AS mengenakan tarif masuk 32 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tarif untuk Malaysia yang hanya 6,43 persen. Perbedaan mencolok itu, lanjutnya, sangat memengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar ekspor.
“Ini ancaman serius. Kalau kondisi ini dibiarkan tanpa solusi, investor tentu lebih memilih Malaysia sebagai lokasi produksi,” katanya.
Satu perusahaan panel surya dapat mempekerjakan 300–500 orang. Dengan total 26 perusahaan, lebih dari 10 ribu pekerja menggantungkan hidupnya dari sektor ini.
”Kalau perusahaan-perusahaan ini terpaksa hengkang atau mengurangi produksi, gelombang PHK tak bisa dihindari,” ucap Ma’ruf.
Ia pun mendorong pemerintah segera melakukan lobi ke AS agar tarif tersebut ditinjau ulang. Terlebih, Batam selama ini tidak memberlakukan bea masuk terhadap negara manapun, termasuk AS.
“Kami berharap pemerintah pusat melihat ini sebagai isu sangat mendesak. Batam punya potensi besar sebagai pusat industri hijau, jangan sampai potensi ini tergerus oleh kebijakan dagang sepihak,” katanya.
Sebelumnya, Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, menyebut kebijakan tarif AS berpotensi menghambat ekspor dari kawasan industri Batam, terutama perusahaan yang tergabung dalam Program Strategis Nasional (PSN) maupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
“Kalau ini kita gesa, mudah-mudahan bisa menjadi kebijakan penyeimbang terhadap kebijakan dari pemerintah baru AS,” katanya, Selasa (8/4).
Langkah awal yang disiapkan ialah percepatan pengurusan perizinan agar pelaku usaha tak terhambat birokrasi dan dapat menyesuaikan diri dengan dinamika global. Selain itu, ia mendorong pemberian insentif, baik berupa keringanan biaya maupun kemudahan layanan perizinan dan pemangkasan birokrasi.
“Selama ini urusan reklamasi dan Amdal untuk PMA masih di Jakarta. Kita berikhtiar agar bisa di-take over oleh BP Batam,” ujar Amsakar.
BP Batam, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, disebut siap menyiapkan tenaga teknis yang dibutuhkan. Ia juga telah menginstruksikan jajarannya menyiapkan rapat koordinasi dengan pelaku usaha pada Rabu pekan ini.
Pertemuan tersebut akan melibatkan Kadin, HKTI, Apindo, dan asosiasi lainnya untuk menggali keluhan pelaku usaha serta menjaring masukan bagi pengambilan kebijakan.
“Kita ingin dengar langsung apa kendala mereka di lapangan. Dengan begitu, pemerintah bisa menyusun langkah tepat sasaran,” ucapnya.
Berdasarkan data BPS, AS masih menjadi mitra dagang utama Batam pada awal 2025. Nilai ekspor nonmigas ke AS mencapai USD 658,18 juta selama Januari–Februari 2025, menempatkan AS di posisi kedua setelah Singapura.
Kepala BPS Batam, Eko Aprianto, menyebut nilai ekspor Batam ke AS tumbuh 14,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Kontribusinya mencapai 20,40 persen dari total ekspor Batam dua bulan pertama tahun ini,” ujarnya.
Secara keseluruhan, ekspor Batam pada Februari 2025 tercatat USD 1,45 miliar, turun 18,32 persen dibanding Januari. Namun secara kumulatif, nilai ekspor Januari–Februari 2025 meningkat 45,82 persen dibanding periode sama tahun lalu.
Produk ekspor unggulan masih didominasi mesin dan peralatan listrik, kapal laut, serta mesin/pesawat mekanik. “Produk ini sangat diminati pasar Amerika,” jelas Eko.
Negara tujuan ekspor terbesar setelah AS ialah Singapura (USD 674 juta), Arab Saudi (USD 533,92 juta), Australia (USD 178,22 juta), dan Tiongkok (USD 177,47 juta). Pelabuhan Batuampar menjadi pelabuhan muat utama ekspor Batam dengan kontribusi 75 persen terhadap ekspor Januari–Februari 2025 senilai USD 2,42 miliar.
Meski fluktuasi bulanan terjadi, tren tahunan menunjukkan industri Batam masih kuat. “Diperlukan dukungan semua pihak agar industri kita semakin kompetitif dan mampu tembus pasar potensial lainnya, seperti Amerika Latin dan Eropa,” ujar Eko.
Namun, potensi ekspor ke AS kini dibayangi kebijakan tarif baru Trump. AS menetapkan tarif bea masuk 32 persen untuk sejumlah produk asal Indonesia. Hal ini memicu kekhawatiran pelaku usaha, termasuk di Batam yang merupakan salah satu basis ekspor nasional.
Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid, menyebut kebijakan ini membuat banyak eksportir resah. “Hampir semua produk ekspor Indonesia berpotensi terdampak. Ini tarif resiprokal karena Indonesia juga mengenakan tarif atas produk impor dari AS,” katanya.
Ia mengakui pemerintah pusat masih memetakan dampaknya. Banyak pengusaha belum tahu produk mana saja yang kena tarif. “Angka 32 persen ini beban berat, apalagi di tengah ekonomi global yang melemah,” ujarnya.
Sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan furnitur menjadi yang paling rentan. “Tanpa mitigasi, potensi PHK massal bisa terjadi,” tegasnya.
Sebagai langkah awal, sejumlah eksportir mulai menjajaki pasar lain, seperti Afrika. Rafki menilai diversifikasi pasar penting agar tidak terlalu bergantung pada satu negara.
Ia juga mendesak pemerintah segera membuka ruang negosiasi ulang tarif dengan AS. “Kita bisa tawarkan pembebasan tarif ekspor Indonesia, dengan imbal balik penghapusan bea masuk untuk barang mereka di sini,” katanya.
Rafki juga menekankan pentingnya penguatan pasar domestik. “Dengan jumlah penduduk besar, pasar dalam negeri seharusnya bisa kita garap lebih serius,” imbuhnya.
Sebelumnya, tingginya tarif bea masuk atas barang asal Tiongkok mendorong relokasi industri ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Produk ekspor pun tercatat berasal dari Indonesia dan bebas bea masuk tinggi.
Namun jika tidak diantisipasi, volume ekspor Batam bisa menurun dan memicu kontraksi ekonomi. Sekitar 50 persen pertumbuhan ekonomi Batam disumbang sektor industri pengolahan yang kini sedang tertekan.
Sementara itu, upaya negosiasi terus dilakukan pemerintah Indonesia untuk merespon tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, pun bertemu dengan Dubes AS untuk Indonesia Kamala S. Lakhdhir di Jakarta, Selasa (8/4).
“Indonesia akan mengedepankan jalur negosiasi dan tidak melakukan tindakan retaliasi, sejalan dengan negara ASEAN lainnya. Negosiasi kita upayakan dengan revitalisasi Indonesia-US Trade and Investment Frame-work Agreement (TIFA) yang sudah berlaku sejak 1996,” ujar Airlangga di Jakarta, Rabu (9/4).
Airlangga menyatakan bahwa Indonesia akan menempuh beberapa kebijakan strategis sebagai upaya negosiasi dalam merespon tarif AS. Beberapa di antaranya adalah deregulasi non-tariff measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN sektor ICT (information and communication technology) dari AS seperti GE, Apple, Oracle, dan Microsoft, melakukan evaluasi terhadap kebijakan larangan terbatas impor, dan mempercepat proses sertifikasi halal.
Kedua negara juga mendiskusikan langkah-langkah kebijakan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan barang. Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah akan menyiapkan insentif fiskal dan non-fiskal untuk mendorong impor produk AS dan menjaga daya saing produk ekspor Indonesia ke AS. “Tentunya dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional,” imbuhnya.
Merespons hal tersebut, Kamala menyampaikan bahwa di tengah inisiatif negosiasi dengan AS dari berbagai negara yang terdampak kebijakan tarif Presiden Trump, Kedutaan Besar AS di Jakarta berkomitmen untuk memfasilitasi upaya komunikasi dan negosiasi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. “Kami telah berkomunikasi dengan Secretary of Commercedan USTR terkait rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan negosiasi, dan kami siap mengatur rencana pertemuan dengan pihak strategis lainnya jika dibutuhkan,” tuturnya. (*)
Reporter : ARJUNA – RENGGA YULINDRA – JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG