Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Nilai tukar rupiah belum bisa lepas dari tekanan. Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin (27/3) tercatat di level Rp16.566 per dolar AS (USD). Angka itu menguat 0,13 persen dari posisi Rabu (26/3) yang mencapai Rp16.588 per dolar AS.
Meski dua hari belakangan rupiah tercatat mengalami kenaikan, pada Selasa (25/2), mata uang Garuda sempat berada di level Rp16.662 per USD. Angka itu mendekati level depresiasi pada 1998 silam yang ada di level Rp16.800-an.
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafrudin Karimi menyebutkan, pelemahan rupiah merupakan kombinasi berbagai sentimen. Salah satunya terjadi setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengisyaratkan rencana tarif otomotif terhadap Uni Eropa.
“Kombinasi ketegangan perdagangan, lonjakan pesanan barang tahan lama AS, dan pernyataan hawkish dari pejabat The Fed memperkuat posisi USD sebagai aset lindung nilai. Sementara itu, rupiah melemah tipis di tengah ketidakpastian arah kebijakan fiskal domestik,’’ ujarnya di Jakarta, Kamis (27/3).
Di tengah kondisi pelemahan rupiah, pemerintah masih berkeyakinan fundamental ekonomi dalam negeri tetap terjaga baik. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, fluktuasi nilai rupiah merupakah hal yang lumrah terjadi.
’’Rupiah seperti biasa berfluktuasi. Tapi, tentu kita lihat secara fundamental kuat. Kemudian, kita lihat nanti secara jangka menengah dan panjang kita punya ekspor juga bagus, kita punya cadangan devisa juga kuat, neraca perdagangan bagus,’’ ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga telah menerapkan aturan terbaru mengenai devisa hasil ekspor (DHE) yang mampu meningkatkan valas ke depan. Sehingga, fundamental DHE tersebut nantinya juga akan memperkuat posisi rupiah.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Solikin M. Juhro menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini berbeda dengan krisis 1998. Kala itu ditandai dengan depresi mata uang Garuda yang tajam dalam waktu singkat. ”Kondisi yang terjadi itu totally different,” ucapnya.
Saat ini, lanjut dia, depresiasi rupiah berjalan bertahap. Sejak di level Rp15 ribu per USD hingga merangkak ke level Rp16 ribuan sesuai pergerakan pasar uang.
Selain itu, cadangan devisa (cadev) pada 1998 hanya sekitar USD20 miliar. Kini, posisi cadev per Februari 2025 cukup tinggi sebesar USD154,5 miliar.
“Apakah kondisi saat ini masih jauh dari 1998? Saya berani afirmasi ini masih jauh. Dulu kerentanan di sektor keuangan dan utang tidak teridentifikasi dengan baik. Sekarang, BI dan pemerintah sudah memiliki mekanisme yang kuat untuk mendeteksi potensi pelemahan ekonomi,” bebernya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG