Buka konten ini

Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas
Dalam teori politik klasik, lembaga legislatif dianggap pilar demokrasi yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun, di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru telah bertransformasi menjadi ’’Kementerian Perwakilan Rakyat’’, sebuah lembaga yang lebih aktif mendukung eksekutif daripada melakukan pengawasan terhadapnya. Dengan ironis, anggota DPR yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga konstitusi kini berperan seperti ’’office boy’’ yang memberikan stempel legitimasi untuk setiap kebijakan pemerintah yang kontroversial.
Pasal 20A UUD 1945 jelas menyebut tiga fungsi DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun, dalam praktiknya, ketiga fungsi itu mandek oleh politik transaksional. Ambil contoh pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada 2020. Pembahasan yang terbu-ru-buru, partisipasi publik yang diabaikan, serta protes buruh justru direspons DPR dengan pengesahan kilat. Alih-alih mengkritik, DPR malah menjadi ’’tukang stempel’’ yang mengamini setiap draf pemerintah.
Baru-baru ini, pengesahan RUU TNI terkesan begitu dipaksakan. Tetap disahkan meski mendapat penolakan yang begitu besar dari masyarakat. Kita juga melihat berkali-kali anggota DPR justru berlagak menjadi juru bicara istana. Memberikan klarifikasi atas hal-hal kontroversial oleh pemerintah. Kita tentu tidak asing dengan Sufmi Dasco Ahmad, wakil ketua DPR yang berulang-ulang pasang badan membela pemerintah. Terlihat seolah pemerintah punya satu kementerian baru dalam kabinetnya, Kementerian Perwakilan Rakyat. DPR menjadi kantor cabang istana.
Loyalitas Ganda
Mengapa DPR kehilangan nyali untuk mengawasi eksekutif? Jawabannya terletak pada struktur kabinet yang sarat konflik kepentingan. Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju berasal dari ketua umum atau elite partai koalisi. Lihat saja Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang merangkap menteri ESDM. Contoh lain, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang menjabat menteri koordinator bidang pangan. Praktik itu menciptakan loyalitas ganda. Sebagai menteri, mereka harus tunduk pada presiden. Sebagai ketua partai, mereka bisa memaksa anggota DPR dari partainya untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Akibatnya, anggota DPR terjebak dalam dilema: mengkritik menteri berarti melawan atasan partai yang bisa mencabut hak politik mereka (recall). Sistem recall yang seharusnya menjadi alat demokrasi justru menjadi senjata untuk membungkam suara kritis. DPR kini bukan rumah tempat suara rakyat diperdengarkan, melainkan ’’kandang partai’’ tempat anggota legislatif dilatih untuk mengangguk, bukan berpikir.
Ketika DPR gagal menjadi pengawas, demokrasi Indonesia berjalan pincang. Pertama, eksekutif menjadi terlalu dominan. Kedua, partisipasi publik tergusur. Rakyat tidak lagi percaya bahwa aspirasinya didengar. Jika ada yang bertanya ’’di mana letak demokrasi Indonesia?’’, jawabannya mungkin: ’’di ruang lobi hotel saat bagi-bagi kursi menteri’’.
Permasalahan ini memerlukan solusi yang konkret dan harus disegerakan. Jika tidak, masa depan bangsa ditentukan hanya dari pragmatisme politisi. Permasalahan tersebut muncul karena sebagian besar anggota legislatif berada dalam partai yang ketua umumnya merangkap menteri. Perlu ditegaskan larangan rangkap jabatan seperti itu karena tentu akan sarat kepentingan. Aturan itu akan memberikan ruang bagi anggota DPR untuk bersikap kritis.
Salah satu akar masalah lemahnya fungsi pengawasan DPR terletak pada praktik koalisi partai yang mengorbankan prinsip checks and balances demi bagi-bagi kekuasaan. Alih-alih mengkritisi kebijakan eksekutif, partai koalisi justru menjadikan jabatan menteri atau posisi strategis sebagai ’’upah’’ atas loyalitas politik. Akibatnya, DPR kehilangan independensi karena anggotanya terikat pada disiplin partai yang tunduk pada kepentingan eksekutif.
Pemisahan
Untuk memutus lingkaran setan tersebut, diperlukan regulasi yang membatasi partai politik (parpol) untuk memilih arena kompetisi: legislatif atau eksekutif. Misalnya, jika suatu partai memutuskan berlaga di pemilihan legislatif, seluruh anggotanya dilarang menduduki jabatan eksekutif (seperti menteri) selama periode tersebut. Sebaliknya, partai yang berfokus ke eksekutif tidak boleh mencalonkan anggotanya di DPR. Dengan cara itu, legislatif tidak lagi menjadi ’’tawanan’’ eksekutif. Sebab, tidak ada lagi dualitas loyalitas antara partai koalisi dan fungsi konstitusional. Pemisahan tersebut diharapkan mewujudkan distribusi kekuasaan yang sejati di mana legislatif benar-benar berperan sebagai pengawas eksekutif, bukan sekadar ’’partner dagang’’ dalam bagi-bagi kursi. Terakhir, kita juga harus mengedukasi pemilih dalam menggunakan hak suara mereka. Masyarakat harus dicerdaskan untuk terus mengawasi para wakilnya di DPR. Kita hukum mereka dengan cara tidak lagi memberi mereka suara saat pemilihan umum. Mereka tak layak mendapatkan suara kita jika saat menduduki jabatan mereka malah mengkhianati harapan kita. (*)