Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Di tengah aksi demo menolak revisi UU TNI, beredar kabar bahwa UU Polri juga bakal direvisi. Dalam draf RUU Polri yang bertebaran di jagat maya, disebutkan bahwa kewenangan Polri di ranah siber bakal semakin luas. Kewenangan itu dikhawatirkan disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi di media sosial.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian dalam siaran persnya menyebutkan, sejumlah pasal dalam RUU Polri membuat institusi ini menjadi superbody.
Ini, misalnya, ditunjukkan di Pasal 16 ayat 1 huruf (q). Pasal tersebut, menurut koalisi masyarakat sipil, dapat memperlebar pengawasan dan pembinaan terhadap ruang siber.
Polri bahkan diberi kewenangan untuk penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri. Nah, pasal itu rawan digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat. Selain itu, berpotensi melanggar kebebasan berpendapat serta memperoleh informasi.
Selasa (25/3), Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa pihaknya belum menerima surat presiden (surpres) tentang rancangan undang-undang terkait perubahan Undang-Undang Polri. Dia menegaskan, draf RUU Polri yang beredar di media sosial bukan draf resmi.
”Surpres (RUU Polri), saya tegaskan sampai saat ini belum diterima pimpinan DPR,” kata Puan setelah sidang paripurna ke-16 penutupan masa sidang II tahun 2024–2025 di gedung DPR.
Puan juga menegaskan, jika ada surpres RUU Polri yang beredar di publik, hal itu juga bukan resmi dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto. ”Jadi, yang beredar di publik atau beredar di masyarakat itu bukan surpres resmi,” tegasnya.
Puan juga memastikan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Polri yang beredar saat ini bukan draf resmi. ”Jadi, kami pimpinan DPR belum menerima surpres tersebut. Kalau sudah ada DIM yang beredar, itu bukan DIM resmi,” ujar Puan.
RUU Polri hadir pada akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Rapat paripurna DPR pada 28 Mei 2024 memutuskan RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi usulan inisiatif DPR. RUU ini diminta untuk segera dibahas dalam masa sidang waktu itu.
RUU KUHAP Dibahas setelah DPR Reses
Revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dipastikan bergulir. Presiden Prabowo Subianto telah mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR untuk melakukan pembahasan bersama.
Hal itu disampaikan Ketua DPR Puan Maharani saat rapat paripurna penutupan masa sidang di gedung DPR, Jakarta, Selasa (25/3). ”Pimpinan dewan telah menerima surat dari presiden, yaitu nomor R-19/pres/03/2025,” ujarnya.
Secara struktur, kata Puan, revisi KUHAP menjadi domain Komisi III DPR selaku alat kelengkapan dewan (AKD) yang membidangi penegakan hukum. Namun, apakah akan dibahas di komisi atau mekanisme lain, DPR akan memutuskan setelah reses.
”Kami akan putuskan nanti sesudah pembukaan sidang yang akan datang,” kata dia.
Revisi KUHAP akan menyasar sejumlah norma. Antara lain, penguatan mekanisme restorative justice, termasuk untuk kasus penghinaan presiden, pemidanaan live sidang tanpa izin, pemeriksaan tersangka tak wajib direkam CCTv, hingga advokat tak bisa dituntut pidana saat membela klien.
Plt Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati berharap RUU KUHAP mampu memperbaiki kerangka dasar sistem peradilan pidana. ”Penyusunan DIM (daftar isian masalah, red) di pemerintah harus merespons permasalahan dalam RUU KUHAP,” ujarnya.
Dia menilai, klaim DPR bahwa RUU KUHAP memuat berbagai kebaruan tidak terbukti, justru problematik. Dia mencontohkan soal norma yang tidak mewajibkan pemeriksaan direkam CCTv. Dia menilai hal itu justru menjadi celah perilaku kekerasan pada seseorang berstatus tersangka.
Contoh lainnya adalah penguatan mekanisme restorative justice (RJ). Maidina menilai, konsep RJ dalam RUU KUHAP tidak tepat.
Secara konsep, RJ merupakan pendekatan dalam menangani perkara pidana yang bertujuan memulihkan korban. Misalnya, pemberian ganti rugi pengobatan luka fisik dan psikologi, pelibatan korban dalam mediasi untuk menyampaikan kerugian dan kebutuhan pemulihannya.
Namun, dalam RUU KUHAP, RJ dimaknai penghentian perkara di luar persidangan atau diversi. ”Padahal, RJ dan diversi adalah dua barang yang berbeda,” imbuhnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG