Buka konten ini
”Sukatani! Suka karo wong tani, Sukatani! Pengin dadi wong tani…” Lirik lagu itu menghimpun seluruh jiwa perlawanan dari band punk elektro asal Purbalingga yang bernama Sukatani.
DALAM album Gelap Gempita, lagu-lagu yang diciptakan oleh duo Muhammad Syifa Al Luthfi dan Novi Citra Indriyati menyampaikan kritik tajam terhadap para penguasa dan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia.
Dalam lagu yang berjudul Sukatani, contohnya, mereka meletakkan pengakuan seorang petani yang mengalami represi di awal lagu. Kesaksian petani itu menjadi satu untaian dengan racikan synthesizer dan entakan drum.
Secara musikalitas, band punk Sukatani memiliki akar punk elektronik yang merujuk pada gaya proto-electro punk yang menggunakan elemen musik elektronik seperti synth, sampling, serta drum mesin.
Simak lagu band Suicide dari tahun 1977 dengan lagunya Ghost Rider yang mentah, eksperimental, dan menggunakan synthesizer yang agresif. Meski demikian, band Sukatani memiliki keunikannya sendiri.
Selain menggabungkan bahasa daerah dan nilai-nilai lokal masyarakat perdesaan, aksi panggung mereka juga amat memukau. Gaya busana punk dengan menggunakan balaclava atau penutup kepala yang menandakan anonimitas serta sikap anti-otoritarian. Mereka juga sering membagikan hasil-hasil bumi sebagai bagian dari pertunjukan musik mereka.
Jika ditelisik dari pemikiran Dick Hebdige, seorang pemikir asal Inggris yang mengamati fenomena subkultur, ia menjelaskan apa yang dimaksud dengan subkultur sebagai bentuk-bentuk ekspresif dari kelompok yang berada di pinggiran, yang melakukan pemberontakan terhadap otoritas, yang menantang hegemoni budaya arus utama yang identik dengan kelompok elite.
Hebdige melakukan analisis menyoroti subkultur oleh para teddy boys, mods, skinheads, dan punks menunjukkan perlawanannya melalui seni, baik itu melalui estetika berpakaian hingga musik.
Dick Hebdige menganalisis simbol yang muncul dari subkultur punk dengan mengutip Roland Barthes, seorang filsuf dan pakar semiotika asal Prancis.
Menggunakan teori Barthes, khususnya dari karyanya yang berjudul Mythologies, kita dapat mempelajari bahwa budaya tidak terbentuk secara alamiah, selalu ada persitegangan kepentingan dan pemaknaan yang dikonstruksikan secara sosial.
Hebdige mengatakan bahwa, melalui Barthes, kita dapat menelisik bagaimana pengultusan budaya yang dibuat oleh kelompok yang berkuasa diterapkan, bahkan dibakukan menjadi mitos.
Begitu pula di balik ekspresi seniman punk, jika menilik dari pandangan kritis Hebdige, ia mencermati cara penggunaan peniti, tidak hanya soal fungsi atau yang dianggap modis, tetapi peniti menjadi simbol menentang status quo. Subkultur menggunakan benda sehari-hari dan menyematkan makna politis dalam sikap pembangkangan mereka.
Begitu pula dalam pertunjukan musik Sukatani, aksi mereka membagikan sayuran dari ladang menandai protes mereka terhadap peminggiran kelompok tani dan rusaknya lingkungan hidup. Lagu mereka berbicara tentang para petani yang menjadi perawat kehidupan yang selaras dengan alam, tetapi pada sisi lainnya, mereka mengalami penindasan, ”maturnuwon wong tani, dewek dadi teyeng mangan, maturnuwon wong tani, sing wis ngejaga lingkungan.”
Seperti juga lagu mereka yang berjudul Alas Wirasaba, dalam liriknya disampaikan, ”Lah siki alase’ra ana”, kesedihan kehilangan hutan dikarenakan pembangunan yang merenggut ruang hijau masyarakat.
Penelitian lainnya tentang subkultur dilakukan oleh IGM Arya Suta Wirawan. Ia mendalami mengenai komunitas subkultur di Bali yang tergabung dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi.
Ia mencermati gerakan Denpasar Kolektif yang menaungi berbagai seniman seni rupa, musisi, maupun aktivis lingkungan hidup yang peduli dengan isu sosial-ekologis di Bali.
Semasa gerakan konservasi Teluk Benoa, kolektif ini berperan besar dalam memunculkan kultur tandingan di Bali. Mereka mendorong sikap yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang abai terhadap bahaya kerusakan lingkungan, juga terpinggirkannya kelompok rentan dan komunitas adat.
Ketika pandemi Covid-19 terjadi, komunitas ini menyelenggarakan aksi Punk-Pangan, suatu gerakan saling bantu antarwarga membagikan makanan secara gratis, cetusan mereka, ”Punk-Pangan, sayuran, tahu dan tempe, gratis untuk semua!”
Kembali pada Sukatani, dalam lagu mereka yang berjudul Realitas Konsumerisme saya teringat dengan pemikiran Guy Debord yang mengkritik soal makna realitas yang sudah digeser oleh citra dan representasi.
Lagu ini pun berbicara tentang dunia konsumerisme yang menyergap masyarakat, mengisi kepala orang-orang dengan citra-citra yang membuat mereka menginginkan hal-hal yang tidak dibutuhkan.
Debord mengatakan bahwa masyarakat modern terpikat dengan spectacle, tersihir dengan permainan citra yang menyebabkan masyarakat menjadi pasif. Sukatani, dengan musik mereka, sejatinya ingin membongkar citra-citra palsu yang dibentuk oleh penguasa.
Demikian pula dalam lagu Bayar, Bayar, Bayar, yang mengkritik polisi, Sukatani mengangkat sesuatu yang selama ini terlampau tabu, bahkan seolah-olah terlarang untuk dibicarakan.
Padahal, dalam masyarakat demokratis, kebebasan berpendapat dan melontarkan kritik kepada pemerintah dan para aparatur adalah esensi dari demokrasi itu. (***)
Karya : SARAS DEWI
Editor : MUHAMMAD NUR