Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Komisi II DPR mulai menyusun revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Rabu (5/3) mereka mengundang sejumlah pakar untuk menyampaikan masukan terkait perbaikan sistem Pemilu 2029.
Peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Delia Wildianti mengusulkan perubahan jadwal kepemiluan. Berkaca pada 2024 saat pemilu nasional dan pilkada digelar di tahun yang sama, dampaknya justru negatif terhadap kualitas pelak-sanaan akibat beban kerja.
Dia lantas menyoroti lima surat suara yang harus dicoblos di hari yang sama dalam Pemilu 2024. Banyaknya jenis pemilihan di hari yang sama tidak ideal bagi literasi pemilih. Akibatnya, yang terjadi adalah money politics.
”Kita tanya misalnya, mereka belum tentu tahu calon yang mewakili itu siapa,” ujarnya.
Karena itu, Delia mengusulkan distribusi beban dengan pembagian pemilihan pusat dan pemilihan daerah sebagaimana pernah tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 55/PUU-XVII/2019. Pemilih pusat meliputi pilpres, pemilihan DPR, dan DPD. Lalu, pemilihan DPRD digelar bersama pilkada.
Selain itu, Puskapol mengusulkan perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional campuran. Dia mengatakan, sistem proporsional terbuka sebetulnya baik karena pemilih bisa memilih caleg secara langsung.
Namun, dia menilai ada kekurangan dari sistem itu. Salah satunya lemahnya institusionalisasi partai dalam pileg. ”Karena calon bertarung secara individu,” ujarnya.
Hal itu juga berdampak pada sulitnya caleg perempuan untuk terpilih. Sebab, caleg perempuan sulit bertarung dengan segala keterba-tasannya. Sebaliknya, studi di sejumlah negara menunjukkan, perempuan lebih berpeluang terpilih dengan sistem proporsional tertutup. Karena itu, ke depan, bisa saja digunakan sistem campuran.
Sementara itu, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Mudiyati Rahmatunnisa menyoroti praktik mahar politik. Hal itu berkaitan dengan upaya untuk mendapat tiket pencalonan dari partai. Mahar politik membuat biaya pemilu kian mahal.
”Harus dibatasi praktik mahar politik ini,” ujarnya. Dia mengusulkan ada penertiban anggaran di internal partai. Termasuk audit berkala, khususnya pada momen menjelang pencalonan.
Dia juga mengusulkan peniadaan kampanye akbar yang membutuhkan biaya besar untuk mobilisasi. Kegiatan itu juga rentan money politics. Sebaliknya, mengusulkan kampanye berbasis diskusi atau debat interaktif yang lebih mendidik.
Mudiyati juga menyoroti calon tunggal yang kian menjadi tradisi dalam pilkada. Baginya, itu menjadi cermin penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan banyak hal, di antaranya kegagalan parpol mengusung kadernya.
”Pilkada seharusnya memberikan pilihan bagi rakyat, tapi dengan calon tunggal esensi dari kompetisi menjadi hilang,” ujarnya. Karena itu, dia menilai pembahasan UU Pemilu tidak meninggalkan penguatan pelembagaan parpol. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO