Buka konten ini

Tujuh hari lamanya menyepi dan merenung di Magelang membuat Amsakar tertawan ridu sang ”Komandan”. Siapa dia?
JAM menunjukkan pukul 11.24 WIB. Suara kompang mulai bertabuh di ruangan VVIP Bandara Hang Nadim Batam pada Sabtu (1/3) hari pertama Ramadan. Sambutan itu dihaturkan kepada Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, yang baru tiba usai menjalani retreat di Magelang.
Di antara kerumunan yang riuh, Amsakar melangkah mantap. Wajahnya menyiratkan ketenangan. Tujuh hari lamanya ia menyepi, menyisihkan waktu untuk merenung di Magelang, jauh dari gegap gempita kota yang setiap hari menuntut kehadirannya. Namun, sejauh apa pun kaki melangkah, hati tetaplah berlabuh pada yang dicinta.
Dan di sanalah dia, sosok mungil dalam dekapannya. Seorang bocah lelaki dengan pipi ranum, mata bening, dan jemari kecil yang melingkari lehernya dengan kepolosan penuh cinta. Komandan, begitu Amsakar memanggilnya. Bukan sembarang panggilan, melainkan gelar istimewa yang diberikan dengan takzim pada cucu pertama bernama lengkap Arzanka Xaquille Putra Aldanu. Cucu dari darah daging yang tak hanya mewarisi garis keturunan, tetapi juga mengisi relung hati yang paling dalam.
”Perintah dia (cucu) sulit saya tolak. Makanya saya panggil Komandan,” kata dia.
Kecintaan kepada cucu pertama, kata orang, kadang melebihi kepada anak sendiri. Entah mengapa. Mungkin karena di dalamnya ada perpaduan antara kasih dan kebijaksanaan, cinta tanpa beban, hanya ingin memberi. Mungkin itulah yang dirasakan Amsakar setiap kali menatap wajah kecil itu. Bukan begitu, Kanda?
Dalam riuh penyambutan, Amsakar menggenggamnya erat, seolah tak ingin ada jarak lagi di antara mereka. Waktu seminggu itu terasa terlalu panjang baginya, terlalu sunyi tanpa rengekan manja atau panggilan khas yang selalu membuat hatinya meleleh.
”Siap, Komandan. Siap, Komandan,” ucapnya lirih, seperti kebiasaan yang tak bisa ditinggalkan. Kalimat sederhana itu bukan sekadar canda, melainkan bentuk kepasrahan seorang datuk yang tak kuasa menolak titah cucu kesayangannya.
Komandan, di usianya yang baru satu tahun, mungkin belum benar-benar mengerti betapa besar arti kehadirannya bagi Amsakar. Akan tetapi, ada sesuatu dalam tatapan matanya–sebuah pemahaman naluriah yang tidak butuh kata-kata. Seakan ia tahu, kehadirannya adalah pelipur rindu, pereda segala letih yang tertimbun di pundak sang kakek.
Orang-orang berkerumun, tersenyum, dan mengangkat ponsel untuk mengabadikan momen itu. Tetapi Amsakar tak menggubris. Dunianya hanya berpusat pada anak kecil dalam dekapannya.
Komandan pun tak pernah berusaha melepaskan diri. Ia tetap di sana, bersandar di dada Amsakar, menemukan kehangatan yang berhari-hari lamanya menghilang.
Beberapa tangan mencoba mengambil Komandan dari pelukan Amsakar, sekadar untuk menggendongnya sejenak. Namun bocah itu menolak. Tangannya yang mungil mencengkeram kemeja Amsakar erat-erat, seakan berkata: jangan! Dia paham, mungkin dengan caranya sendiri, bahwa ada rindu dan sendu yang harus dibalas.
Amsakar pun tersenyum sumringah. Cinta memang begitu, sering kali tak perlu diminta, hanya perlu diterima.
Di sela-sela kesibukan, ia selalu menyempatkan waktu untuk melihat wajah Komandan, walau hanya lewat layar ponsel. Tapi, tak semua panggilan video berakhir dengan tawa. Kadang, Komandan masih terlelap, membuat Amsakar hanya bisa menatap layar kosong, menunggu dengan sabar hingga suara kecil itu menyapanya.
“Kadang-kadang, di sela-sela terompet itu nak balik ke barak, telepon lagi,” ujarnya suatu kali, bercerita tentang bagaimana rindu itu sering kali tak mengenal waktu.
Hubungan mereka lebih dari sekadar keluarga. Ada sesuatu yang istimewa, semacam ikatan tak kasat mata yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengerti. Mungkin karena itulah Amsakar tak segan membagikan momen-momen kebersamaannya dengan sang Komandan di media sosial. Sebuah kebanggaan, sebuah kasih yang ingin diabadikan.
Di usia satu tahun, jelas Komandan belum mampu memahami betapa besar arti namanya. Kelak, ketika ia tumbuh besar dan melihat kembali foto-foto yang diabadikan, ia akan tahu itu.
Ia akan tahu bahwa sejak kecil, dia pusat dari dunia seorang lelaki yang tak banyak meminta, kecuali satu hal: tetaplah di sini, dalam dekapannya, meski hanya sejenak, meski hanya sebatas genggaman kecil yang erat. Karena dalam genggaman itu, ada cinta yang tak akan luntur, bahkan oleh waktu. (***)
Reporter : ARJUNA
Editor : MUHAMMAD NUR