Buka konten ini

Dosen Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jakarta
DUA tagar muncul hampir bersamaan di waktu empat bulan kepemimpinan Prabowo-Gibran: #kaburajadulu dan #Indonesiagelap. #kaburajadulu memberi makna keinginan besar bagi generasi muda untuk bekerja ke luar negeri, karena tidak ada harapan hidup di Indonesia. Tagar ini adalah wujud protes, frustrasi, dan kesal generasi muda hidup di era Prabowo-Gibran. Alasannya, banyak kebijakan yang kurang mendukung hidup layak, khususnya bagi anak muda.
#Indonesiagelap memberikan makna sosial-politik krisis multidimensi di dalam negeri. #Indonesiagelap adalah protes, frustrasi, dan kritik internal bangsa ini agar membenahi diri. Banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak mendukung generasi muda, buruh, dan rakyat pada umumnya. Mereka menuntut: pendidikan murah, tukin dosen, pencabutan Proyek Strategi Nasional dan revisi UU Minerba, penghapusan multifungsi TNI, pengesahan RUU masyarakat adat, pencabutan Ins-truksi Presiden No. 1 Tahun 2025, evaluasi program makan siang gratis, perampasan aset koruptor, perampingan kabinet gemuk, penolakan revisi tatib DPR yang cenderung korup, dan reformasi polisi.
Kedua tagar protes ini memenuhi media sosial. Media sosial yang banyak diakses generasi muda kekinian, ternyata memiliki kesadaran politik yang cukup mumpuni. Tidak hanya itu, sebagai langkah konkret, generasi muda bersama-sama buruh, kaum ibu, dan rakyat pada umumnya turun ke jalan demi mempertanyakan kebijakan penguasa.
Demokrasi yang Sehat
Mempertanyakan kekuasaan terhadap penguasa adalah keutamaan dalam kesejatian demokrasi. Tagar #kaburajadulu dan #Indonesiagelap merupakan wujud demokrasi yang sehat. Perlu disyukuri bahwa generasi muda seperti alpha dapat bergandengan tangan dengan kaum buruh dan generasi tua, untuk mempertanyakan kebijakan yang dirasakan kurang elok dan kurang berkeadilan. Fakta ini adalah bentuk nyata kedua tagar yang sangat kuat tersebut.
Untuk diketahui, proses demokrasi yang sehat ditandai dengan oposisi. Sebaliknya, jika adem ayem seperti negara Korea Utara dan Tiongkok, maka tidak ada demokrasi. Namun, demokrasi atau tidak demokrasi adalah pilihan. Kita yakin telah memilih demokrasi, maka secara sosial politik, kedua tagar yang memenuhi media sosial yang berdampak pada realitas protes di lapangan, merupakan fakta demokrasi sehat.
Kesadaran demokrasi generasi muda luar biasa. Mereka tidak takut dengan ancaman dan konsekuensi masa depannya. Idealisme demokrasi masih terngiang di kepala mereka. Generasi sebelumnya telah berhasil meneruskan estafet proses demokratisasi. Walaupun generasi tersebut sekarang duduk di posisi penguasa dan terkooptasi. Mereka terjerat oleh uang dan kekuasaan.
Posisi itu dilematis memang, tapi mereka pun tak berdaya. Ketidakmampuan generasi tua mempromosikan demokrasi di zamannya, untuk kini pro terhadap tuntutan generasi muda sekarang dalam tagar dan demonstrasi adalah fakta tragis.
Saya yakin seluruh anak bangsa Indonesia tahu dan sadar akan kerusakan sosial-politik Indonesia. Namun sebagian mereka yang duduk dalam status quo kekuasaan, tubuhnya sulit bergerak. Begitulah yang digambarkan Foucault dalam konsep “biopolitik”. Tubuh dalam politik sangat penting dan sebaliknya. Walaupun kesadaran politik mereka sudah khatam dan benar, tapi tubuh mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk kesadaran itu. Tubuh mereka terkunci oleh tubuh yang lain dalam sistem yang korup.
Biopolitik masih sangat penting dalam politik Indonesia. Oleh sebab itu, selamanya kita harus memelihara demonstrasi di lapangan. Tubuh yang turun ke jalanan dan berteriak lepas dengan segala rasio tuntutan keadilan, adalah utama dalam kesehatan demokrasi kita. Suara tegas, keberanian, dan gairah generasi di zamannya yang turun ke jalanan ini merupakan keniscayaan demokrasi sejati.
Protes jalanan adalah demonstrasi nyata yang tak bisa digantikan dengan hanya media sosial. Media sosial adalah salah satu faktor pendorong nyata seperti dulu Facebook yang membantu menggerakkan Arab Spring. Kini, Instagram dan Tiktok menjadi faktor pendorong bergeraknya generasi muda kita dalam partisipasi politik Indonesia.
Prabowo-Gibran telah menang, tapi dengan munculnya kedua tagar dan demonstrasi di lapangan yang berlangsung berhari-hari, membuktikan tidak semua anak bangsa setuju dengan kebijakannya. Patut disadari bahwa masih banyak anak muda mempunyai pemikiran politik turun ke lapangan.
Kedua tagar ini menampilkan kegelisahan anak muda dalam menghadapi masa depan Indonesia dengan penuh kecemasan. Indonesia cemas akan menjadi kenyataan jika kebijakan pemerintah tidak berubah. Sampai kapankah kesombongan pemimpin bangsa ini mengarahkan pada kehancuran?
Optimisme?
Hidup harus selalu optimis walaupun tragedi terus terjadi. Optimisme adalah gairah manusia agar tetap menjadi manusia. Keberanian untuk mempertanyakan penguasa dan kepercayaan akan perubahan adalah kemanusiaan itu sendiri. Hal itu adalah optimisme dalam diri manusia.
Para demonstran telah benar menjadi manusia seutuhnya. Jika terjadi kegelisahan, cemas, perasaan diperlakukan tidak adil, dan diskriminatif, maka lawan. Perlawanan dalam bentuk biopolitik bisa sekedar datang saja menyamai gerak langkah demonstran.
Kaum intelektual kampus bisa mendukung secara moral dengan mengizinkan para mahasiswanya berdemo. Menggunakan suara dan talenta menyanyi mengibarkan nilai lebih dalam menggugat kebijakan pe-nguasa buta dan tuna jeritan rakyat. Ibu-Ibu rumah tangga bisa membantu dengan makanan dan minuman. Pekerja kantoran cuti untuk ikut bersuara. Kaum buruh dapat menguatkan gairah perlawanan, agar lebih erat persatuannya di lapangan.
Bagaimana jika hasilnya tragedi? Tragedi politik selalu terjadi, tapi pahlawan dan teladan akan selalu muncul. Begitulah perputaran roda kehidupan politik, khususnya di Indonesia. Seluruh kebijakan pemerintah tidak ada yang ideal, tapi memperjuangkan idealisme dan keadilan adalah optimisme yang tak lekang akan waktu.
Siapa lagi yang menggerakkan demokrasi Indonesia tetap keberlanjutan? Anak muda akan lahir di setiap zamannya untuk mempertanyakan ketidakadilan kepada penguasa. Kita memang tidak akan tahu masa depan seperti apa, tapi konteks kekinian harus berubah agar Indonesia ke depan menjadi emas. Indonesia emas adalah optimisme yang harus dipikul bersama-sama seluruh anak bangsa secara inklusif. Mari bersama-sama lawan kepongahan penguasa. (*)