Buka konten ini

BATAM (BP) – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kepulauan Riau (Kepri) menyegel lahan reklamasi yang dikerjakan PT Blue Steel di Kampung Panau, Kabil, Nongsa, Batam. Penyegelan dilakukan tiga hari lalu karena perusahaan tersebut belum mengantongi izin lingkungan.
”Penyegelan ini karena mereka belum punya izin lingkungan,” kata Kepala DLHK Kepri, Hendri, kepada Batam Pos, tadi malam (19/2).
Menurutnya, izin lingkungan adalah syarat utama bagi perusahaan yang ingin melakukan reklamasi. Jika PT Blue Steel tidak segera menyelesaikan administrasi izin, maka DLHK akan melanjutkan ke tahap berikutnya, termasuk kemungkinan pemberian sanksi denda.
Meski reklamasi dihentikan sementara, Hendri menyatakan belum ada indikasi kerusakan lingkungan di lokasi tersebut. ”Ya, belum ada (kerusakan lingkungan),” ucap Hendri.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh NGO Akar Bhumi Indonesia. Founder Akar Bhumi, Hendrik Hermawan, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat reklamasi PT Blue Steel sangat nyata. ”Jelas dan nyata. Hanya orang buta yang tak bisa melihat kerusakan lingkungan di sana. (Kondisinya) miris dan mengkhawatirkan,” kata Hendrik, kemarin.
Menurutnya, PT Blue Steel mereklamasi tanpa prosedur yang benar dan tidak memperhatikan dampak lingkungan. Selain itu, masyarakat yang terdampak, khususnya para nelayan, hanya menerima kompensasi minim sebesar Rp500 ribu per kepala keluarga.
”Nelayan tak bisa melaut, hasil tangkapan merosot. Mereka hanya diberi ganti rugi Rp500 ribu. Ini tak sebanding dengan kerusakan yang terjadi,” ujar Hendrik.
Hendrik juga mengungkapkan bahwa reklamasi ini menyebabkan ekosistem pesisir terganggu. ”Mereka yang biasa mencari ketam, udang, kepiting, kini sudah tidak bisa lagi. Pesisir dan laut semakin parah terdampak akibat reklamasi ini,” ujarnya.
Selain itu, Hendrik menyebut tidak adanya pembangunan tanggul atau silt barricade menyebabkan pencemaran yang lebih luas. Material timbunan tanah yang langsung ditebarkan ke laut mengakibatkan sedimentasi tinggi, merusak ekosistem mangrove, dan terbawa arus hingga ke area perairan sekitar.
”Truk-truk mengangkut tanah bauksit, alat berat meratakan lahan, dan reklamasi dilakukan tanpa memenuhi standar lingkungan. Ini menimbulkan banyak masalah, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, maupun sosial,” ujarnya.
Menurut Hendrik, pemulihan kerusakan akibat reklamasi ini akan membutuhkan biaya yang besar. ”Yang bisa menghitung kerugian negara dan lingkungan ini hanyalah para ahli,” katanya.
Hendrik mengatakan, sudah berulang kali melaporkan kerusakan lingkungan di Kampung Panau, Batam, ke KLHK. ”Tahun 2023, dan 2024,” sebutnya. (*)
Reporter : FISKA JUANDA
Editor : RYAN AGUNG