Buka konten ini
Anggota Komisi II DPRD Batam, Gabriel Sianturi, menyuarakan pendapatnya terkait wacana pembatasan penjualan elpiji 3 kilogram (kg) bersubsidi atau gas melon di tingkat pengecer serta pengalihannya menjadi subpangkalan. Hal ini mengemuka setelah isu kelangkaan elpiji 3 kg muncul di beberapa kota di Pulau Jawa.
Gabriel mengimbau masyarakat Batam agar tidak panik menghadapi isu tersebut.
“Berdasarkan data dari Pertamina, terdapat 2.300 pangkalan elpiji yang tersebar di Kota Batam. Jumlah ini hampir sebanding dengan total RT yang ada di kota ini,” ujarnya, Jumat (7/2).
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru mengeluarkan kebijakan baru yang justru dapat menambah kekhawatiran di tengah masyarakat. Gabriel mendukung peningkatan serta penyempurnaan program pengendalian distribusi elpiji yang telah ada, dengan melibatkan akademisi dan Pertamina.
“Pemerintah perlu melakukan kajian lebih mendalam terkait kebutuhan riil rumah tangga, pelaku UKM, serta mengkategorikan pihak-pihak yang berhak mendapatkan elpiji 3 kg,” jelas Gabriel.
Menurutnya, mengingat demografi Kota Batam, menjadikan pengecer sebagai sub-pangkalan bukan solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan elpiji 3 kg.
”Penyaluran yang tepat, terukur, dan transparan, dengan kajian riil terhadap pengguna elpiji, diyakini akan menghasilkan data akurat dalam penentuan kuota tahunan maupun triwulanan bagi Kota Batam,” tambah Gabriel.
Gabriel juga mengingatkan bahwa Pertamina menyediakan elpiji nonsubsidi ukuran 5,5 kg dan 12 kg.
”Oleh karena itu, saya berharap pemerintah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat yang mampu untuk beralih dari elpiji 3 kg, yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu,” ujar Gabriel.
Ragukan Klaim Ketiadaan Pengecer Gas Melon di Batam
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, menyampaikan keraguannya atas klaim Pertamina Patra Niaga Area Kepri dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Batam mengenai ketiadaan pengecer gas LPG 3 kilogram di kota tersebut.
Pernyataan ini muncul setelah laporan masyarakat menunjukkan bahwa praktik penjualan elpiji oleh pengecer masih marak terjadi, meski aturan pelarangan pengecer telah diberlakukan sejak 2019. Kenyataannya, pe-ngecer masih mudah ditemui di berbagai lokasi.
”Teorinya Batam tidak izinkan pengecer sejak 2019, itu betul. Namun faktanya, di banyak tempat seperti permukiman dan jalan raya, elpiji 3 kg masih dijual oleh pengecer, bukan pangkalan,” ungkapnya, Jumat (7/2).
Berdasarkan temuan Ombudsman, masyarakat Batam masih membeli elpiji 3 kg dari pengecer karena akses yang lebih mudah meskipun dengan harga jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Pada momen tertentu seperti hari libur, hari raya, atau saat terjadi kelangkaan gas di pangkalan, pengecer bahkan menjual elpiji 3 kg hingga Rp35 ribu per tabung. Sementara pada kondisi normal, harga jual di pengecer berkisar antara Rp25 ribu hingga Rp28 ribu per tabung.
Meski harga tersebut lebih tinggi dari HET yang ditetapkan, banyak warga yang tetap memilih membeli dari pengecer. “Warga kan tidak punya pilihan, kalau tidak dapat di pangkalan, mereka akan membeli dengan harga berapa pun,” lanjut Lagat.
Ombudsman Kepri juga sedang menelusuri bagaimana pengecer mendapatkan pasokan tabung gas elpiji 3 kg. Keberadaan tabung gas di warung-warung kecil ini diduga melibatkan oknum dari agen dan pangkalan gas yang ada di Batam.
”Dari penelusuran sementara, ada dugaan oknum pangkalan yang nakal. Bahkan ada dugaan oknum agen yang terlibat dalam pengaturan stok ini,” tambah Lagat.
Lagat mempertanyakan efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Pertamina terhadap distribusi elpiji. Hingga kini, langkah yang diambil hanya sebatas operasi pasar yang dinilai tidak efektif untuk menyelesaikan masalah jangka panjang.
”Langkah operasi pasar hanya berfungsi sementara untuk meredam keributan di masyarakat, namun justru mempersulit para pemilik izin pangkalan,” ujarnya.
Menurutnya, beberapa pangkalan merasa dirugikan karena tidak mendapat suplai ulang ketika stok mereka habis.
”Saat ada keluhan pangkalan kosong, langkah yang diambil adalah operasi pasar. Tapi pangkalan justru mempertanyakan, jika ada stok sebanyak itu, mengapa tidak dikirim ulang ke mereka?” kata Lagat.
Ia juga mengkritisi alasan tahunan yang sering disampaikan Pertamina mengenai keamanan dan keandalan stok gas elpiji di Batam. ”Hal ini patut dipertanyakan karena ada laporan dari beberapa pangkalan yang mengaku mengalami pengurangan kuota pengiriman gas,” katanya.
Berdasarkan informasi dari pangkalan, jumlah tabung yang dikirimkan dari Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) berkurang dari 100 tabung menjadi hanya 80 tabung.
“Pengakuan agen yang kami datangi memang dibatasi dari SPBE-nya,” ujar Lagat.
Ombudsman Kepri menyebutkan bahwa persoalan distribusi elpiji di Batam harus ditangani lebih serius dengan pengawasan ketat dan langkah preventif yang lebih efektif.
“Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena masyarakat yang paling dirugikan,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, setelah sempat melarang pengecer menjual elpiji kemasan 3 kilogram (kg) bersubsidi atau gas melon mulai 1 Februari 2025 lalu, pemerintah kini mencabut aturan tersebut. Warung kelontong dan pengecer lainnya kembali diperbolehkan menjual gas melon dengan syarat menjadi subpangkalan resmi yang terdata di bawah pangkalan.
Keputusan ini disambut baik oleh para pengecer maupun masyarakat yang sebelumnya kesulitan mendapatkan elpiji di pangkalan resmi.
Kholik, salah seorang pengecer elpiji 3 kg di Tanjungriau, Sekupang, mengaku senang dengan kebijakan terbaru ini. Ia mengatakan, selama sepekan terakhir dirinya mengalami kesulitan mendapatkan pasokan gas dari pangkalan, sehingga pencabutan aturan ini sangat membantu kelangsungan usahanya.
”Tentu kami menyambut positif dan senang sekali bahwa pemerintah kembali memperbolehkan pengecer menjual elpiji 3 kg. Sebelumnya, kami agak kesulitan mendapat pasokan, padahal keuntungan yang diambil kecil, berkisar Rp1.000 sampai Rp2.000 per tabung,” ujarnya, Kamis (6/2).
Ia juga tidak mempermasalahkan ketika harus menjadi subpangkalan resmi dan siap mengikuti aturan pemerintah dan Pertamina. “Kami siap menggunakan aplikasi kalau memang itu wajib disyaratkan. Yang penting kami resmi menjual elpiji 3 kg,” tambahnya.(***)
Reporter : Azis Maulana, Arjuna
Editor : RATNA IRTATIK