Buka konten ini
BATAM (BP) – Anggota DPR RI mengecam langkah aparat penegak hukum yang menetapkan seorang lansia, Siti Hawa atau Nenek Awe, 67, sebagai tersangka dalam kasus yang berkaitan dengan Rempang. Kecaman ini disampaikan saat Komisi XIII DPR RI melakukan kunjungan kerja (Kunker) ke Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam Center, Kamis (6/2).
Anggota DPR RI Komisi XIII Fraksi PKB, Mafirion, menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan begitu saja. Ia menilai perjuangan warga Rempang adalah bentuk mempertahankan kampung mereka, sehingga seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
“Kami mengecam tindakan ini, tidak bisa begitu saja. Masyarakat harus benar-benar diperhatikan,” ujarnya.
Terkait proses hukum yang berjalan, Mafirion enggan berkomentar lebih jauh. Ia menekankan bahwa Nenek Awe memiliki hak untuk memberikan penjelasan atas kasus yang menjeratnya.
DPR RI juga meminta agar tidak ada warga yang dijadikan tersangka dalam polemik Rempang. Mereka mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan dan memastikan situasi tetap kondusif.
“Kami meminta pemerintah, terutama BP Batam dan Pemko Batam, untuk berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat. Jangan sampai ada tindakan yang nantinya berdampak hukum bagi siapapun,” tegasnya.
Komisi XIII DPR RI telah meminta Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan HAM untuk menjadi penengah dalam kasus ini. DPR RI menegaskan bahwa meskipun mereka mendukung investasi, hal itu harus dilakukan dengan komunikasi yang baik agar tidak merugikan masya-rakat.
“Kami ingin investasi yang masuk tidak berdampak buruk bagi warga. Seperti di Batam, dimana penduduk setempat tetap hidup berdampingan dengan investasi melalui konsep kampung tua yang tetap dijaga,” tegasnya.
Sementara itu, Siti Hawa atau Nenek Awe, warga Rempang yang ditetapkan tersangka dalam bentrokan antara Warga Sembulang Hulu dan pihak PT Makmur Elok Graha (MEG) itu kemarin memenuhi panggilan penyidik Satreskrim Polresta Barelang, Kamis (6/2) siang.
Perempuan 67 tahun ini mendatangi Mapolresta Barelang pada pukul 13.00 WIB. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan didampingi keluarga, warga, dan Lembaga Bantuan Hukum.
Sambil berjalan, Nenek Awe mengatakan dalam keadaan sehat. Ia mengaku akan bersikap kooperatif selama pemeriksaan. “Dibilang tersangka, nenek akan tetap menjawab. Kalau itu betul,” katanya.
Sesampai di Mapolresta Barelang, Nenek Awe langsung menuju Unit III Polresta Barelang. Kedatangan Nenek Awe disambut Ipda Riyanto, dan ia sempat tersenyum saat memasuki ruangan.
Diketahui, pemanggilan ini sesuai dengan surat panggilan Polresta Barelang nomor: S.pgl/700.a/II/RES.1.24./2025/RESKRIM. Surat panggilan tersebut diantar penyidik Polresta Barelang ke Rempang pada Selasa (4/2) kemarin. Selain Nenek Awe, polisi juga menetapkan dua warga lainnya, yakni Sani Rio, 37, dan Abu Bakar alias Pak Aceh, 54.
Pemeriksaan berlangsung selama 4 jam atau selesai pada pukul 17.00 WIB. Keluar dari ruangan penyidik, Nenek Awe mengaku tidak menerima ditetapkan tersangka, dan apa yang disangkakan pihak polisi kepadanya.
Dalam penetapan tersangka ini, tiga warga Rempang tersebut dikenakan Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan. “Nenek tidak terima, kan nenek jaga kampung, tidak merampas,” katanya.
Ia juga meminta PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk angkat kaki dari tanah Rempang. Sebab, hingga saat ini masih ada warga yang menolak pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.
“Permintaan nenek sama warga, PT ini dipindahkan saja. Sampai saat ini kami tidak pernah ada ketenangan,” ungkapnya.
Sementara Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian, mengatakan bahwa penetapan tersangka tersebut sudah berdasarkan dua alat bukti. “Tersangka terbukti melanggar Pasal 333 KUHP karena ada perbuatan untuk menghalang-halangi orang yang tidak berdaya. Seharusnya ditolong, dan mempengaruhi warga lainnya,” katanya.
Debby menjelaskan dalam kasus bentrokan ini, pihaknya menerima empat laporan, terdiri dari tiga laporan warga dan satu laporan dari karyawan PT MEG. Dari laporan warga tersebut, pihaknya menetapkan dua orang karyawan PT MEG sebagai tersangka.
“Dari laporan warga ada dua tersangka dan kita tahan. Semua laporan masih proses penyidikan, belum ada pencabutan laporan,” ungkapnya.
Debby mengaku untuk tiga tersangka dari warga tidak ditahan. Sebab, pihak penasihat hukum tersangka mengajukan permohonan dengan pertimbangan para tersangka tidak melarikan diri.
“Substantif dan objektif. Untuk RJ (restorative justice) ada syarat-syaratnya dan formil dan materil, dan itu ada kesepakatan oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada intervensi dari pihak kepolisian,” tutupnya. (*)
Reporter : Rengga Yuliandra, Yofi Yuhendri
Editor : RYAN AGUNG