Buka konten ini
KARIMUN (BP) – Ketua DPRD Kepulauan Riau (Kepri), Iman Sutiawan, bersama anggota DPRD Kepri dan Bupati Karimun terpilih meninjau langsung Desa Sugie, Kecamatan Sugie Besar, Minggu (2/2). Peninjauan ini dilakukan untuk menindaklanjuti protes warga terkait dugaan jual beli lahan mangrove kepada perusahaan asal Singapura untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Dalam kunjungan tersebut, Iman menegaskan bahwa pihaknya turun langsung untuk mendengar aspirasi masyarakat dan mencari solusi terbaik atas permasalahan ini.
”Kami turun langsung ke Desa Sugie untuk mengetahui secara pasti persoalan lahan mangrove yang dipermasalah-kan oleh masyarakat,” kata Iman.
DPRD Kepri akan segera memanggil pihak perusahaan yang diduga terlibat dalam transaksi lahan tersebut guna membahas penyelesaian yang adil bagi semua pihak.
”Kami ingin semua pihak duduk bersama, termasuk pemerintah daerah dan perusahaan, agar ada kejelasan. Kami juga meminta agar untuk sementara tidak ada aktivitas di lahan tersebut, termasuk transaksi atau ganti rugi, sampai masalah ini benar-benar terselesaikan,” ujarnya.
Iman juga meminta pemerintah desa dan kecamatan agar tidak ragu dalam memperjuangkan hak masyarakat.
”Kami sudah berkoordinasi dengan semua pihak terkait. Masyarakat juga memiliki hak dan kami akan memastikan tak ada keputusan yang merugikan mereka. Jika ada perusahaan yang melakukan aktivitas atau memberikan kompensasi tanpa kesepakatan yang jelas, kami minta itu dihentikan dulu sampai ada penyelesaian yang baik,” tegasnya.
Pihaknya juga akan memastikan permasalahan ini tidak berlarut-larut dan segera mencari solusi terbaik.
”Kami datang ke sini bukan hanya sebagai anggota DPRD, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat Kepri. Kami ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang baik dan adil untuk semua pihak,” ujarnya.
Iman juga menyebut bahwa setelah Bupati Karimun yang baru dilantik pada 20 Februari, DPRD Kepri akan menggelar pertemuan bersama seluruh pihak terkait untuk mencari jalan keluar.
”Setelah bupati baru dilantik, kami akan duduk bersama dengan seluruh pihak yang terlibat, termasuk pemerintah daerah dan perusahaan, agar permasalahan ini benar-benar terselesaikan,” pungkasnya.
Sementara itu, Lian, salah seorang tokoh masyarakat setempat, menegaskan bah-wa warga menuntut kejelasan status lahan seluas sekitar 80 hektare di pesisir pulau yang selama ini mereka manfaatkan. Mereka menolak segala aktivitas yang berpotensi merusak ekosistem mangrove di wilayah tersebut.
”Kami hanya ingin lahan ini tetap menjadi bagian dari lingkungan kami dan tidak dialihkan tanpa persetujuan masyarakat. Mangrove sangat penting bagi kami, baik untuk mencegah abrasi maupun sebagai sumber kehidupan bagi banyak nelayan di desa ini,” ujarnya.
Menurutnya, permasalahan ini bermula sejak awal Januari, ketika lahan tersebut diambil secara kelompok tanpa sepengetahuan masyarakat Pulau Sugie. Pada 8 Januari, warga meminta pertemuan untuk membahas persoalan ini, dan keesokan harinya digelar rapat resmi di kantor desa. Dalam rapat tersebut, terjadi negosiasi dan disepakati bahwa transaksi lahan akan dibatalkan, tetapi pekerjaan tetap berlanjut.
”Kami sangat menolak pengalihfungsian lahan mangrove ini. Jika mangrove dioperasikan, sungai kami akan rusak. Warga di sini, meskipun tak sepenuhnya menggantungkan hidup pada hutan mangrove, tetap bergantung pada ekosistemnya,” kata Lian.
Tokoh masyarakat lainnya, Supiandi, berharap pemerintah turun tangan untuk menindaklanjuti permasalahan ini agar kejadian serupa tidak terulang di Pulau Sugie.
”Kami mohon pemerintah bertindak tegas agar hal ini tidak terjadi lagi. Jangan sampai Pulau Sugie bernasib seperti Rempang dua,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti adanya pihak luar yang terlibat dalam penguasaan lahan tersebut.
”Di lokasi itu tidak ada lahan kosong. Yang menjadi permasalahan adalah mengapa ada kelompok tertentu yang bisa menerbitkan surat tanah, sementara warga setempat tidak tahu-menahu,” katanya.
Ia pun meminta camat dan kepala desa untuk tidak menyebarkan informasi yang membingungkan masyarakat.
”Camat, kades, stop berita hoaks. Di mana lagi kami bisa bercocok tanam kalau bukan di sekitar mangrove?” tegasnya.
Warga berharap lahan tersebut dikembalikan seperti sediakala agar mereka tetap dapat memanfaatkannya untuk keberlangsungan hidup.
”Kami mendapat kabar bahwa lahan itu sudah dibayar, padahal dalam rapat sebelumnya telah disepakati untuk dibatalkan. Kami pun langsung mengonfirmasi ke pihak Gurin Energy, dan ternyata memang benar pembayaran sudah dilakukan,” sesalnya.
Berkomitmen Menjaga Bakau dan Tidak Akan Merusaknya
Sementara itu, juru bicara Gurin Energy kepada Batam Pos, Minggu (2/2), mengatakan bahwa pihaknya berempati terhadap kekhawatiran masyarakat Desa Sugie yang disampaikan kepadapihaknya melalui saluran komunikasi Gurin Energy pada tanggal 24 Januari 2025.
”Kami berterima kasih kepada masyarakat karena telah menyampaikan masalah ini kepada kami. Kami diberitahu tentang masalah ini pada tanggal 24 Januari 2025, dan sejak saat itu kami menghentikan sementara semua transaksi yang terkait dengan tanah yang dimaksud,” kata juru bicara Gurin Energy.
”Kami juga segera memulai investigasi internal kami sendiri, yang saat ini masih berlangsung.
Kami tidak berencana untuk mengubah lahan bakau dan telah berusaha sebaik mungkin untuk menghindari lahan bakau di dalam lokasi proyek kami sebagai bagian dari komitmen Kami untuk melindungi keanekaragaman hayati, lingkungan, dan warisan budaya, yang selaras dengan kebijakan keanekaragaman hayati kami,” lanjutnya.
Gurin Energy, melalui PT Vanda Energy Indonesia (PT VEI), telah melibatkan masyarakat sejak awal pengembangan proyek pada tahun 2022, dan berusaha untuk mempertahankan kebijakan komunikasi yang terbuka.
”Kegiatan pembebasan lahan kami didasarkan pada prinsip willing buyer, willing seller yang sejalan dengan kebijakan hak asasi manusia,” terangnya.
”Oleh karena itu, kami tidak akan ragu untuk mengakhiri transaksi untuk memastikan bahwa kami sepenuhnya mematuhi hukum Indonesia dan kebijakan kami sendiri, yangselaras dengan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) internasional,” ujarnya.
”Kami telah menghubungi penduduk desa yang terkena dampak melalui saluran komunikasi kami, dan terus berkomunikasi dengan pimpinan masyarakat seperti Kepala Kecamatan. Kami berusaha untuk melakukan kontak dengan DPRD untuk mendukung proses investigasi dan mediasi mereka, seperti yang diminta oleh DPRD melalui media, hari ini (2/2).
Gurin Energy siap memberikan dukungan penuh kepada pihak berwenang untuk mendapatkan solusi yang adil bagi semua pihak, sesuai dengan hukum dan standar kami,” jelasnya.
Tentang Gurin Energy
Gurin Energy adalah pemilik, pengembang, dan operator energi terbarukan yang berkantor pusat di Singapura. Perusahaan ini menggunakan solusi tenaga surya, angin, dan penyimpanan untuk mempercepat langkah Asia menuju 100 persen energi terbarukan.
Tentang Vanda RE
Vanda RE adalah perusahaan patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Gurin
Energy untuk mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan di Asia. Vanda RE berkomitmen untuk memenuhi kriteria sosial, lingkungan, dan tata kelola tertinggi di mana pun ia beroperasi. Dengan dukungan dari pemerintah Indonesia dan Singapura, perusahaan ini mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya berskala utilitas dan
sistem penyimpanan ener-gi baterai di Indonesia untuk memasok energi bersih ke Singapura.
Tentang PT Vanda Energy Indonesia
PT VEI adalah anak perusahaan yang 100 persen sahamnya dimiliki oleh Vanda RE Pte Ltd dan merupakan perusahaan yang terdaftar di Indonesia. PT VEI merupakan perusahaan lokal yang berdedikasi untuk mengembangkan proyek di Indonesia, termasuk memiliki tanah, memegang lisensi dan perizinan di Indonesia, serta mengembangkan proyek pembangkit listrik tenaga surya. (*)
Reporter : Rengga Yuliandra
Editor : RYAN AGUNG