Buka konten ini
Trias politica adalah konsep politik yang berarti pemisahan kekuasaan yang bertujuan untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut/mutlak yang akan melahirkan kesewenang-wenangan. Trias politica adalah antitesis negara monarkhi (kerajaan).
Konsep trias politica pertama sekali dikemukakan oleh Filsuf Inggris John Locke pada tahun 1748 (Abad ke-18) dan kemudian dikembangkan oleh Filsuf Prancis Baron Montesquieu dalam bukunya L ‘Esprit Des Lois tentang pembagian kekuasaan dalam suatu negara. Prinsip pembagian kekuasaan ini bertujuan bahwa sebaiknya kekuasaan negara tidak diserahkan kepada satu orang atau satu badan saja.
John Locke dan Montesquieu mengemukakan bahwa konsep trias politica sebagai teori pembagian kekuasaan negara menjadi 3 bagian, yakni pertama, kekuasaan legislatif, yakni lembaga pembuat Undang-Undang. Lembaga ini dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan raja atau presiden.
Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan tertinggi, tidak bersifat sekehendak hati, melainkan kekuasaan bersama semua anggota masyarakat yang dimandatkan ke majelis pembuat undang-undang. Namun, legislatif tidak bisa berbuat sewenang-wenang. Lembaga ini juga memiliki hak untuk meminta keterangan tentang kebijakan eksekutif.
Kekuasaan yang dimiliki sesuai dengan ketentuan yang diberikan demi menjaga kelestarian segenap bangsa. Kekuasaan legislatif ini tidak bertindak melebihi apa yang sudah ditetapkan.
Kedua, kekuasaan eksekutif. Kekuasaan eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang. Dipimpin oleh seorang raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Adapun kewenangannya, yakni melaksanakan Undang-Undang, kewenangan diplomatik (hubungan diplomatik dengan negara lain), kewenangan yudikatif (memberikan grasi dan amnesti), kewenangan administratif (administrasi Negara), mengatur angkatan bersenjata.
Ketiga, kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyim-pang atas hukum yang berlaku. Dibentuk sebagai alat penegakan hukum.
Itu trias politica menurut John Locke dan Montesquieu. Jauh sebelumnya di Abad ke-7 (tahun 611-632), Nabi Muhammad SAW mengembangkan sistem pemerintahan top down/sentralistik (terpusat) dimana beliau selain berperan sebagai Rasulullah untuk menyampaikan hukum-hukumNya juga memiliki peran sebagai kepala Negara dalam kedudukannya yang tertinggi, memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan dengan corak teodemokratis yaitu pemerintahan yang berdasarkan atas hukum wahyu yang diturunkan Allah dan pemerintahan yang dirumuskan melalui musyawarah bersama.
Sistem pemerintahan yang dibangun Nabi Muhammad SAW bukan seperti sistem kerajaan (monarkhi) yang bersifat absolut, dimana titah raja adalah hukum. Semua bersifat mutlak. Adapun penasehat hanya memberikan saran.
Nabi Muhammad SAW-lah yang mene-rapkan prinsip demokrasi murni dalam sistem pemerintahan. Prinsip-prinsip beliau dalam melaksanakan kepemimpinannya antara lain:
Pertama, kesesuaian perbuatan dengan ucapan (integritas). Kedua, komitmen yang kuat pada nasib kaum yang lemah dan tertindas. Ketiga, pemimpin sebagai pe-ngayom dan pelayan bagi masyarakat yang dipimpinnya (servant leader).
Jauh ribuan tahun sebelumnya Raja Namrud dan Fir’aun dikenal sebagai Raja yang menerapkan sistem monarkhi absolut. Titah raja bukan hanya dianggap hukum, bahkan mereka menganggap dirinya tuhan. Nabi Ibrahim dan Nabi Musa lah yang mendobrak itu semua dengan menerapkan sistem demokrasi.
Berbeda lagi di zaman Nabi Sulaiman AS. Nabi Sulaiman mewarisi kerajaan dan kenabian dari ayahnya, Nabi Daud ketika berusia 13 tahun. Sebelum menunjuk Nabi Sulaiman sebagai penggantinya, Nabi Daud sudah menguji kecerdasannya (semacam fit and proper test).
Salah satunya dengan mengajari Nabi Sulaiman dalam berbagai ilmu pengetahuan (semacam terutama dalam mengatasi perselisihan yang terjadi di antara masyarakat yang dipimpinnya (semacam on the job training).
Nabi Sulaiman juga sama dengan Nabi Muhammad, prinsip trias politica dijalan-kan oleh satu orang dengan corak teo-demokratis. Artinya di zaman Nabi Muhammad dan Nabi Sulaiman sistem demok-rasi sudah berjalan, meski kewenangan legislatif, eksekutif dan yudikatif dipegang oleh satu orang. Namun semua perumusan undang-undang dalam pemerintahan dilakukan dengan cara musyawarah bersama.
Di zaman Kerajaan Romawi dan Yunani Kuno (bila anda pernah nonton Film Gladiator (tahun 2000) dengan Russel Crowe-nya, terlihat bahwa Kerajaan Romawi di Abad ke-2 Masehi (di bawah Kaisar Marcus Aurelius) yang berkuasa mutlak (monarkhi absolut), sistem pemerintahan sangat sederhana dipimpin oleh seorang raja (eksekutif) yang didampingi senator-senator (legislatif).
Namun, senator-senator ini hanya pemberi saran. Juga di Film Troy (tahun 2000) dengan Brad Pitt nya, Kerajaan Yunani yang dipimpin Kaisar Agamemnon berkuasa mutlak dan para senator hanya memberikan saran dan pertimbangan.
Dari sini jelas terlihat (dari masa ke masa) bahwa trias politica sudah berjalan (meski masih parsial) di zaman Nabi Muhammad memimpin Jazirah Arab (tahun 611-632 M). Bedanya saat itu penulisan dan pengarsipan sebuah produk hukum masih ditulis di daun lontar, kulit kayu, batu dan kulit hewan, belum ada kertas.
Sementara mesin cetak dengan huruf untuk membuat sebuah buku baru ditemukan abad ke-15 (tahun 1.600-an Masehi) oleh Johan Gutenberg. Sehingga konsep trias politica tahun 1748 sudah bisa dibukukan. Artinya konsep apapun baru bisa dibukukan adalah pada abad ke-18 (tahun 1700-an Masehi).
Padahal trias politica sudah berjalan baik sejak zaman Nabi Muhammad SAW sejak Abad ke-7 (tahun 600-an Masehi). Tentu ini tidak perlu kita jadikan polemik. Di sini penulis hanya memberikan sedikit gambaran (dari masa ke masa) bahwa sebelum tahun 1748 M, konsep trias politica sudah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW tahun 621-632 M. Demikian tulisan ini dibuat sebagai penambah khazanah/wawasan kita semua tentang sistem pemerintahan dari waktu ke waktu. (*)