Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Pengelolaan industri kelapa sawit menjadi salah satu topik yang didorong RI dan Malaysia dalam lanjutan pertemuan bilateral. Industri kelapa sawit dianggap potensial untuk dikerjasamakan lantaran menjadi komoditas unggulan kedua negara.
Indonesia dan Malaysia adalah produsen terbesar kelapa sawit dunia yang mencakup 80 persen dari produksi global. Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan, Kemendag siap menindaklanjuti berbagai upaya untuk memperkuat kerja sama di sektor kelapa sawit. ”Indonesia berharap kolaborasi Indonesia dan Malaysia tetap berlanjut untuk mengatasi munculnya hambatan-hambatan ekspor sawit baru di berbagai negara,” ujarnya.
Terkait hambatan CPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berharap industri sawit semakin kondusif dengan penerapan tata kelola yang baik untuk mendukung keberlanjutan dan pertumbuhan sektor tersebut di masa depan. ”Kami berharap ke depan industri sawit semakin kondusif dengan tata kelola yang lebih baik,” ujar Ketua Umum Gapki Eddy Martono.
Menurut Eddy, peningkatan produksi sawit masih menghadapi berbagai tantangan. Selama lima tahun terakhir, produksi sawit stagnan. Tren ini itu diperkirakan masih berlanjut pada 2025. Salah satu penyebabnya adalah lambatnya program peremajaan sawit rakyat, meski luas lahan yang tersedia cukup besar.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan perkebunan sawit pada 2023 mencapai sekitar 15,93 juta hektare, naik dari 14,33 juta hektare pada 2018. Namun, pertumbuhan produksi tidak sebanding dengan luas lahan akibat rendahnya produktivitas tanaman tua yang belum diremajakan. Pada 2023, produksi sawit tercatat sebesar 47,08 juta ton, naik tipis 0,57 persen dibanding tahun sebelumnya.
Hambatan dalam peremajaan sawit rakyat antara lain disebabkan tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan. Sehingga, petani kesulitan mengakses dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). ”Padahal, jika peremajaan berjalan lancar, produktivitas dapat meningkat signifikan dan berdampak positif terhadap penerimaan negara serta devisa ekspor,” tegasnya.
Selain peremajaan, hilirisasi industri sawit perlu menjadi fokus utama. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menekankan pentingnya peningkatan keterampilan sumber daya manusia serta pengembangan teknologi pengolahan sawit. ”Dengan diversifikasi produk turunan sawit yang lebih luas, Indonesia dapat memperoleh nilai tambah yang lebih besar dan mengurangi ketergantungan pada ekspor CPO mentah,” ujar Esther. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO