Buka konten ini
SURABAYA (BP) – Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih merespons positif peluang perguruan tinggi mengelola tambang seperti termaktub dalam Rancangan Undang-Undang Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara (Minerba). Tapi, untuk pelaksanaannya, dia menyatakan butuh pertimbangan matang.
”Melihat niatannya, itu bagus. Kalau kemudian niatan ini dilaksanakan, tentu kami akan menyambut dengan baik,” papar Nasih saat ditemui di Surabaya, Jumat (24/1).
Nasih mengakui, bisnis, apalagi tambang, bukan urusan mudah. Dia menilai, menakar keberhasilan bisnisnya butuh waktu cukup panjang.
Salah satu poin yang juga menjadi perhatiannya adalah kondisi dan konservasi lingkungan di area pertambangan. Pria yang menjabat rektor sejak 2020 itu menilai, jika tambangnya bekas, perlu penggalian lebih dalam. Artinya, perlu investasi lebih banyak lagi dengan risiko kerusakan alam yang juga makin tinggi.
Dia meyakini, kalau tidak benar-benar kuat, baik dari segi analisis, perencanaan, maupun modal, konsesi tambang perlu dipikirkan kembali.
”Unair sudah punya PT (perseroan terbatas) macam-macam. Tinggal itung-itungannya nanti, nyucuk (setara) atau nggak. Kalau nggak nyucuk, ya mohon maaf. Kalau nyucuk (hasilnya sesuai, red), ya tentu saja, perguruan tinggi akan menyambut dengan sangat baik,” lanjut Nasih.
Sebaliknya, Direktur Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, menilai dari pandangan personal, perguruan tinggi kurang pas diberi hak pengelolaan tambang. Sebab, perguruan tinggi didirikan dengan tugas menjalankan tridarma. Yaitu, pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Iim mengatakan belum menemukan alasan, hak pengelolaan tambang itu masuk dalam tridarma yang mana.
Kalaupun ingin menghasilkan uang, lanjut dia, bisa dengan cara kerja sama penelitian, inovasi hak paten, pengelolaan aset kampus, mencari dana hibah, dan sejenisnya. Faktor lain, kalau diberi hak mengelola tambang, kampus akan memiliki relasi yang spesial dengan pemerintah.
Tidak lagi menjadi lembaga independen. ”Misalnya, mau mengkritisi soal lingkungan, lha dianya sendiri mengelola tambang,” tuturnya.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyebutkan draf RUU Minerba yang beredar sejak 20 Januari lalu mengisyaratkan kentalnya nuansa politik patronasi di balik perluasan subjek penerima izin pertambangan. Perluasan itu tercantum dalam pasal 51 ayat (1), 51A ayat (1), dan 75 ayat (2) draf RUU Minerba. Bukan hanya ormas yang dapat mengelola tambang, tapi juga diperluas hingga perguruan tinggi.
”ICW menilai motivasi di balik RUU Minerba kental dengan nuansa politik patronasi atau sekadar untuk ’bagi-bagi kue’ bagi loyalis pemerintah sebagai bentuk balas budi,” kata Egi. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG