Buka konten ini
Rencana penerapan Fuel Card untuk pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Batam, menuai kontroversi yang semakin memanas. Setelah sebelumnya masyarakat dan sejumlah wakil rakyat menyuarakan keberatan atas rencana penerapan kebijakan fuel card yang dibarengi dengan kewajiban membayar administrasi bulanan tersebut, kini penolakan juga datang dari pemimpin Kota Batam terpilih.
Adalah Wakil Wali Kota Batam terpilih, Li Claudia Chandra, yang mengungkapkan ketidaksetujuannya. Ia menilai kebijakan tersebut memberatkan rakyat, terutama bagi pengguna bahan bakar pertalite yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah.
“Perintah Pak (Presiden) Prabowo adalah jangan pernah menyusahkan masyarakat. Pengguna pertalite adalah masyarakat bawah. Kebijakan ini sangat memberatkan rakyat,” katanya, Selasa (21/1).
Sebagai langkah selanjutnya, Li Claudia menyebut akan meminta anggota Fraksi Gerindra di DPRD Batam untuk mengambil inisiatif dengan memanggil Disperindag guna memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kebijakan tersebut. Selain itu, ia juga mendorong Pemko Batam untuk segera membatalkan kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut.
Respons Fraksi Gerindra di DPRD Batam pun langsung diambil dengan tegas. Ketua Fraksi Gerindra, Ahmad Surya, menyatakan penolakan terhadap kebijakan penggunaan fuel card, yang dinilai belum memiliki dasar hukum yang jelas. Implementasi kebijakan ini berisiko menimbulkan masalah hukum di masa depan.
“Kami menilai tidak ada pa-yung hukum yang melandasi penerapan kartu fuel card ini. Hal ini rawan menimbulkan persoalan legalitas di masa depan,” kata dia, Rabu (22/1).
Lebih lanjut, dia menilai fuel card tidak efektif dan tidak memberikan solusi konkret terhadap persoalan pelayanan publik di Batam. Sebaliknya, kebijakan tersebut justru berpotensi menambah kerumitan administrasi tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Eko Widyarta, seorang warga Batam, menyatakan penolakannya terhadap kebijakan fuel card. Ia menilai kebijakan ini aneh dan merugikan rakyat kecil, khususnya pemilik kendaraan roda empat.
“Jika tujuannya untuk membatasi Pertalite karena konsumsi tinggi, apakah selama ini stok Pertalite di Batam memang kurang?” ujarnya, Rabu (22/1).
Eko sempat kaget saat mengetahui kewajiban setiap pemilik kendaraan menggunakan fuel card, termasuk diharuskan membayar biaya administrasi bulanan.
”Kalau begitu (diwajibkan), saya tidak setuju dengan fuel card ini. Sekarang hidup sudah serbasusah, dan objek yang sering disusahkan oleh pemerintah adalah masyarakat, rakyat kecil,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Disperindag Batam, Gustian Riau, menjelaskan bahwa fuel card akan diberlakukan penuh pada 1 Maret 2025, setelah 80 persen kendaraan di Batam telah memilikinya.
“Batam dipilih sebagai pilot project (proyek percontohan) karena dinilai mampu meng-hemat anggaran negara terkait subsidi energi,” katanya.
Namun, penerapan kartu ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu isu yang mencuat adalah kemungkinan tumpang tindih dengan kebijakan Pertamina yang menggunakan sistem QR Code untuk mendata konsumsi BBM. Menanggapi hal ini, Gustian menyebut bahwa QR Code Pertamina hanya berfungsi untuk pencatatan jumlah konsumsi dan kendaraan, sedangkan fuel card bertugas membatasi jumlah pembelian harian, yakni 120 liter Pertalite per kendaraan.
”QR Pertamina itu hanya mendata kendaraan saja, berbeda dengan fuel card yang berfungsi sebagai alat kontrol,” kata dia.
Kebijakan ini, klaimnya, telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, termasuk Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Pemotongan dana itu dilakukan oleh pihak perbankan, bukan pemerintah. Kami tidak memiliki kewenangan untuk itu,” katanya.
Tiga bank yang terlibat dalam program ini yakni Bank Sumut, Bank Bukopin, dan CIMB Niaga, dipilih karena kesiapan mereka dalam implementasi sistem fuel card. Pihaknya telah mengundang 23 bank dalam rangka penyamaan persepsi, tetapi hanya tiga bank tersebut yang siap berkomitmen.
Salah satu aspek yang paling banyak diperdebatkan adalah biaya administrasi Fuel Card, yang disebut-sebut mencapai Rp25 ribu. Namun, Disperindag membantah angka tersebut dan menegaskan sebenarnya biaya administrasi adalah Rp20 ribu sesuai dengan perjanjian yang tertuang dalam nota kesepahaman bersama pihak perbankan. Pemotongan bea itu dilakukan sebulan setelah penggunaan, bukan saat pendaftaran.
Menanggapi hal ini, Thomas, perwakilan Bank Sumut, salah satu dari tiga bank yang ditunjuk dalam program ini, menjelaskan biaya administrasi mencakup berbagai komponen, seperti asuransi jiwa, pengelolaan sistem informasi, serta pengadaan kartu. Keterlibatan Bank Sumut dalam program ini bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat serta memperluas jangkauan layanan perbankan.
“Asuransi ini melindungi pengguna fuel card dari risiko kecelakaan. Bank Sumut bekerja sama dengan Askrida untuk layanan asuransi tersebut,” kata dia.
Penerapan fuel card di Batam, yang dikenakan biaya administrasi Rp25 ribu per bulan (kemudian direvisi menjadi Rp20 ribu), diwarnai kekhawatiran soal transparansi dan efektivitas. Dengan 23.372 kartu yang sudah diterbitkan, pemerintah dapat mengumpulkan sekitar Rp464,4 juta per bulan, atau lebih dari Rp5,6 miliar per tahun. Ditargetkan, sekitar 210.000 kartu fuel card akan diterbitkan di Batam dalam waktu dekat. Namun, absennya keterlibatan bank-bank milik negara dan daerah, seperti Bank Riau Kepri (BRK), turut menambah tanda tanya publik.
Kemudian, Wakil Ketua III DPRD Batam, Hendra Asman, juga mengutarakan pandangan serupa. Menurutnya, kebijakan fuel card ini perlu dijelaskan secara utuh kepada publik, terutama terkait tujuan dan mekanisme teknisnya.
“Yang kami lihat, ada kesamaan fungsi antara kartu kendali Pertamina dengan yang akan diterapkan Disperindag. Namun, bedanya ada pembatasan pembelian harian dan biaya pembuatan kartu hingga Rp25.000, yang tentu memberatkan masyarakat,” katanya.
Dia mempertanyakan sejauh mana koordinasi Pemko Batam dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, pengawasan dan distribusi BBM bersubsidi seharusnya berada di bawah kewenangan BPH Migas yang dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui Kemendagri.
“Apakah Pemko Batam dalam hal ini Disperindag sudah berkoordinasi dengan Kemendagri terkait kewenangan mereka? Sebab, pengawasan BBM bersubsidi harus sesuai prosedur agar tidak tumpang tindih dengan kebijakan pusat,” katanya.
Selain itu, Hendra pun menyinggung soal pentingnya transparansi terkait biaya administrasi yang dikenakan dalam penggunaan fuel card. Ia risau kebijakan ini justru menambah beban ekonomi masyarakat tanpa kejelasan mengenai manfaat dan tujuannya.
“Kebijakan ini harus dievaluasi dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan kemudahan bagi masyarakat. Jangan sampai kebijakan yang seharusnya bertujuan mengontrol distribusi BBM malah menjadi beban tambahan,” ujarnya.
Selain pengendalian konsumsi Pertalite, pemerintah juga berupaya menertibkan keberadaan pertamini ilegal di Batam. Kata Gustian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan surat edaran terkait penghapusan pertamini di jalanan sebagai langkah untuk menertibkan distribusi BBM bersubsidi.
Pertamina menegaskan bahwa ketiga sistem yang diberlakukan sekarang ada berbeda. ”Subsi-di Tepat dan MyPertamina adalah dua hal yang berbeda, demikian pula dengan fuel card,” ujar Area Manager Communication, Relations, & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut, Susanto August Satria.
Dijelaskannya, kebijakan Subsidi Tepat Pertalite merupakan upaya Pertamina Patra Niaga untuk memastikan distribusi BBM subsidi lebih tepat sasaran. Sosialisasi program ini telah dilakukan sejak Agustus 2024, dengan pembukaan pendaftaran pada September 2024.
Pertamina, sebagai operator distribusi BBM subsidi, memiliki tanggung jawab dalam memastikan penyaluran BBM tepat sasaran. Ia juga menegaskan bahwa peran Pertamina berbeda dengan BPH Migas, yang bertindak sebagai regulator dalam pengawasan distribusi BBM subsidi.
”Penggunaan barcode dalam sistem kami adalah alat pencatatan digital yang membantu memonitor distribusi Pertalite dan Bio Solar,” katanya.
Terkait kekhawatiran adanya dualisme sistem yang dapat membingungkan masyarakat, Pertamina memastikan bahwa implementasi sistem mereka di lapangan berjalan dengan lancar.
”Hingga saat ini, pelaksanaan berjalan kondusif. Petugas kami standby di setiap SPBU untuk membantu masyarakat yang mengalami kesulitan dalam mengakses program Subsidi Tepat Pertalite,” ujar Satria. (***)
Reporter : Arjuna, Azis Maulana
Editor : RATNA IRTATIK