Buka konten ini
“Berbicara soal Rempang adalah berbicara soal kemanusiaan dan keadilan.”
Kemanusiaan dan keadilan. Dua hal itu menjadi penekanan aktivis Batam, Uba Ingan Sigalingging, dengan suara yang menembus dinding Warkop Tanda Baca, Tiban, Batam, Sabtu (18/1) sore.
Kata-kata itu menggantung di udara, menyesaki ruangan yang disulap menjadi forum diskusi publik tajaan Warga Tengok Batam (WTB); sebuah organisasi muda yang digerakkan oleh semangat mahasiswa Batam.
Sayangnya, satu narasumber lain, yakni Aktivis Indonesia, Haris Azhar, berhalangan mengikuti diskusi.
Semangat perlawanan terus membuncah. Tema yang diusung, “Proyek Rempang Eco City: Sisi Humanisme yang Hilang”, mengundang perhatian pada konflik senyap yang menyelimuti proyek besar itu, memperlihatkan jurang yang semakin dalam antara pemerintah dan masyarakat lokal.
“Pembangunan ini seolah-olah menghapuskan manusia dari ceritanya,” kata mantan anggota DPRD Kepri itu dengan nada getir. Baginya, Rempang bukan hanya tentang tanah, tetapi tentang sejarah yang hidup, budaya yang berakar, dan kemanusiaan yang rentan tergilas atas nama investasi.
Pemerintah terjebak dalam romantisme angka-angka ekonomi. Akan tetapi, mereka lupa bahwa di balik rencana besar itu ada nyawa sosial yang terluka.
“Hampir semua aspek investasi mengabaikan aspek kultural. Percuma membangun kalau aspek sosial budayanya tersingkir,” kata dia.
Lebih dari itu, Uba mengkritik keras cara kebijakan ini dijalankan. Keputusan yang ditopang oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) ini tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara.
“Tidak ada uji publik, tak ada dialog publik. Kebijakan ini terasa seperti proyek dominasi, bukan hegemoni,” katanya tegas.
Diskusi itu perlahan menggali lebih dalam, menguak ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Rempang. Absennya keterlibatan masyarakat adalah bukti nyata bahwa pembangunan ini hanya berfokus pada keuntungan material semata.
“Sejak awal, rencana pembangunan ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat. Setidaknya, harus ada pembangunan partisipatif,” ujarnya.
Dalam pandangan Uba, pemerintah tak lagi menjadi pemegang mandat rakyat, melainkan penguasa yang memaksakan kehendak.
”Kekuasaan bisa membuat aturan bahwa Anda harus tunduk. Tapi apakah pemerintah akan terus bertahan dengan prinsip dominasi seperti ini?” tanyanya.
Di antara kalimatnya yang penuh kritik, Uba menyisipkan refleksi mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi pijakan setiap kebijakan.
Ia mengutip sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” sebagai pengingat bahwa pembangunan sejati tidak bisa dilandaskan pada kekerasan atau pemaksaan.
“Kalau masyarakat harus pindah, itu harus didasarkan pada kesadaran sebagai manusia yang berbudaya, bukan karena aspek senjata,” tegasnya.
Pembangunan fisik, bagaimanapun, dapat dihitung dan diganti rugi. Akan tetapi, nilai kultural tidak memiliki ukuran yang sama.
“Secara ekonomi mungkin bisa diganti rugi. Tapi kultural? Apa ukurannya?” tanyanya retoris.
Bagi masyarakat Rempang, tanah adalah lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia adalah nadi kehidupan, ruang sejarah, dan simbol identitas yang diwariskan lintas generasi. Kehilangan itu adalah luka yang takkan sembuh hanya dengan angka-angka kompensasi.
Seperti api kecil yang membakar perlahan, perjuangan menyalakan harapan bahwa suara-suara kecil tetap punya tempat di tengah gemuruh pembangunan besar. Ini adalah tuntutan agar pembangunan menjadi manusiawi. Bukan dominasi, tetapi dialog. Bukan objek, tetapi subjek.
Pembangunan sejati ialah yang melibatkan manusia, memeluk budaya, dan memuliakan keadilan. Karena tanpa itu, pembangunan hanya akan jadi monumen kesedihan di atas tanah yang kehilangan jiwanya. (***)
Reporter : ARJUNA
Editor : MUHAMMAD NUR