Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Aturan pembelian elpiji 3 kg yang hanya boleh di pangkalan membuat masyarakat mengeluh. Sebab, mereka sulit mendapatkan elpiji melon itu di warung atau toko kelontong terdekat. Meski demikian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa masalah tersebut hanya dipicu transisi sistem. Bukan akibat kelangkaan.
Bahlil menegaskan, pemerintah tidak membatasi kuota subsidi elpiji 3 kg. ”Impor kita sama. Bulan lalu dan sekarang atau tiga sampai empat bulan lalu, sama saja, nggak ada perubahan. Subsidinya pun nggak ada yang dipangkas,” ujarnya dalam konferensi pers di kantor Kementerian ESDM, Senin (3/2).
Bahlil menjelaskan, pemerintah tengah berupaya agar subsidi elpiji 3 kg bisa lebih tepat sasaran kepada yang berhak mendapatkannya. Selama ini, Pertamina melakukan suplai ke agen, lalu agen menyuplai ke pangkalan, dan pangkalan menyuplai ke pengecer.
Berdasar laporan yang masuk, Bahlil menyebut ada pihak-pihak yang sengaja memainkan harga. Akibatnya, konsumen harus membeli LPG 3 kg dengan harga yang jauh lebih mahal daripada seharusnya.
”Ada satu kelompok yang membeli LPG dengan jumlah tidak wajar. Ini untuk apa? Harganya naik. Sudah volume yang tidak wajar, harganya pun dimainkan. Nah, dalam rangka menertibkan ini, kita buat-lah regulasi sebenarnya,” jelas dia.
Seperti diketahui, harga LPG 3 kg seharusnya adalah Rp42.750 per tabung. Dari harga itu, pemerintah menanggung Rp30.000 melalui subsidi (APBN menanggung 70 persennya).
Dengan begitu, harga jual eceran atau yang seharusnya dibayar masyarakat adalah Rp12.750 per tabung. Namun, kenyataannya, banyak yang membeli LPG 3 kg dengan harga di kisaran Rp20.000 per tabung atau lebih.
Bahlil memastikan, pemerintah tengah berusaha memperbaiki penjualan LPG 3 kg agar tepat sasaran. Perbaikan tata kelola penyaluran subsidi LPG 3 kg disebut amat diperlukan. Dengan beralihnya pengecer menjadi sub pangkalan, Bahlil berharap harga yang diterima masyarakat lebih sesuai dan terkontrol.
Namun, dia mengakui, hal itu memerlukan perubahan aturan. Bahlil menjelaskan, negara mengalokasikan Rp87 triliun untuk subsidi LPG 3 kg. Dengan adanya subsidi, pemerintah berharap penyalurannya tepat sasaran.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Achmad Muchtasyar menegaskan, status pengecer LPG 3 kg sebenarnya tidak resmi dalam rantai distribusi. Hal itu menjadi salah satu penyebab distribusi LPG subsidi tidak tepat sasaran. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah tengah mendorong agar pengecer yang memenuhi syarat bisa diubah statusnya menjadi pangkalan resmi.
”Pengecer itu apa sih sebetulnya statusnya? Sebenarnya ilegal itu. Di situlah pintu masuk LPG tidak tepat sasaran. Orang yang tidak berhak justru mendapatkan,” jelasnya.
Dia menyebut, selama penge-cer berstatus tidak resmi, hal itu membuat pemerintah kesulitan mengontrol distribusi dan harga jual. Pengecer sering menjual LPG 3 kg dengan harga jauh di atas harga resmi yang ditetapkan pemerintah.
Achmad menjelaskan, untuk mengatasi masalah itu, pemerintah memberikan opsi bagi pengecer yang memenuhi syarat untuk naik kelas menjadi pangkalan resmi. Dengan menjadi pangkalan resmi, pengecer akan masuk sistem pengawasan yang lebih ketat melalui Merchants Application Pertamina (MAP).
”Kalau warung atau penge-cer sudah memenuhi kriteria, mereka bisa jadi pangkalan. Prosesnya sedang kita atur supaya tidak mahal dan cepat. Dengan menjadi pangkalan, mereka wajib menggunakan sistem MAP. Kalau tidak memenuhi, izinnya akan dicabut,” tegas Achmad.
Sementara, penerapan aturan baru pembelian LPG 3 kg per 1 Februari 2025 hanya dilayani di pangkalan resmi Pertamina dan tidak ada lagi di pengecer menuai banyak keluhan oleh masyarakat. Termasuk dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menilai skema baru tersebut justru mengancam pendapatan serta membuat pengusaha lebih sulit untuk mengakses gas LPG 3 kg.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mempertanyakan kematangan pemerintah dalam mengkaji dampak perubahan aturan tersebut. Sebab, sampai hari ini terbukti masih banyak keluhan datang, baik dari pelaku usaha UMKM maupun masyarakat umum yang membutuhkan LPG 3 kg.
”Memang benar soal skema distribusi ini menjadi kewenangan pemerintah, tapi harus dikaji juga dong impact (dampak)-nya,” tegas Edy, saat dihubungi Senin (3/2). Edy menyoroti bahwa sistem distribusi LPG yang baru tak hanya membuat pelaku UMKM sulit mendapatkan pasokan. Tapi juga kerugian langsung bagi mereka yang jenis usahanya adalah warung eceran.
”Katakanlah seorang pengusaha kecil sehari mampu menjual empat tabung gas dengan margin keuntungan Rp5 ribu per tabung. Artinya, sehari bisa dapat Rp20 ribu. Rp20 ribu mungkin kelihatannya tak seberapa, tapi untuk pengusaha mikro, Rp20 ribu itu bisa jadi penyambung hidup,” tegas Edy.
Menurut Edy, itu belum termasuk pengusaha UMKM yang usahanya berkaitan dengan LPG 3 kg sebagai bahan baku operasional produksi. Rata-rata mereka telah memiliki warung langganan yang biasa menjadi jujukan belanja. Dengan harus membeli gas di pangkalan, yang belum tentu jaraknya dekat dengan lokasi dia, biaya lain-lain ikut meningkat.
”Sekarang bisa beli LPG dengan harga HET (harga eceran tertinggi), tapi harus di pangkalan yang jaraknya misalnya 2–4 kilometer dari rumahnya. Artinya, pengusaha harus nambah biaya transportasi untuk mendapatkan gas. Kalau ditotal-total, bisa lebih mahal dibanding dia beli dengan harga Rp22 ribu di warung terdekat,” urai Edy.
Edy menekankan dua hal tersebut sebagai dampak yang harus dikaji pemerintah dalam memperlakukan aturan baru ini. Dia berharap pemerintah dalam masa transisi dan sosialisasi ini bisa mempertimbangkan untuk memberikan solusi agar pengusaha UMKM dan masyarakat kecil tak dirugikan.
Di Surabaya, stok elpiji melon mulai berkurang. Kelangkaan tidak hanya terjadi di tingkat pengecer, melainkan juga terjadi pada sejumlah pangkalan.
Jawa Pos (grup Batam Pos) awalnya mengunjungi pangkalan elpiji di SPBU Jalan Rajawali. Andri Yulianto, pegawai di pangkalan itu, menyebut stok elpiji melon sedang kosong. ”Stok terakhir habis tadi pagi. Kemarin masih ada,” ungkapnya.
Dia mengaku sudah meminta pasokan ke agen. Namun, pengiriman masih dalam antrean. ”Belum tahu kapan sampainya. Kalau dibilang langka, tidak juga. Masih wajar kok,” terangnya.
Kalaupun telat pengiriman, kata pria 40 tahun itu, biasanya hanya sehari. Andri juga mengaku sudah mendengar peraturan baru melarang pengecer menjual elpiji melon. ”Sepertinya bukan karena itu,” katanya.
Yang pasti, dia berharap ketersediaan elpiji selalu stabil. Sebab, kelangkaan membuat masyarakat susah. ”Sekali mendatangkan di sini 100 tabung. Biasanya habis dua hari. Order langsung dikirim,” ujarnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG