Buka konten ini
Pengadilan Negeri (PN) Batam menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup terhadap 10 mantan anggota Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polresta Barelang.
Sidang yang berlangsung Rabu (4/6) dan Kamis (5/6) lalu itu menandai babak akhir dari perkara penyelewengan barang bukti narkotika jenis sabu seberat sembilan kilogram yang menjadi sorotan publik ke institusi kepolisian.
Pemerhati Kepolisian sekaligus mantan anggota Kompolnas RI periode 2016–2024, Poengky Indarti, menyatakan bahwa putusan seumur hidup terhadap Satria Nanda merupakan langkah tegas yang patut diapresiasi dan diharapkan menimbulkan efek jera, baik kepada terdakwa maupun aparat penegak hukum lainnya.
“Putusan ini sangat tegas dan diharapkan dapat memunculkan efek jera. Kejahatan yang dilakukan oleh Satria Nanda sangat mencoreng institusi. Ia sebagai penegak hukum justru menyalahgunakan kewenangannya untuk bermain dengan narkoba yang seharusnya diberantasnya,” kata Poengky, Sabtu (7/6).
Majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup kepada Satria Nanda setelah terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkoba serta penggelapan barang bukti.
Lebih lanjut, Poengky mendorong agar penegakan hukum tidak berhenti pada aspek pidana semata, tetapi juga diperluas ke ranah keuangan. Ia mendorong agar kasus ini dilanjutkan dengan penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Saya berharap proses ini dilanjutkan dengan menyeret Satria Nanda dan anggotanya menggunakan UU TPPU agar sindikat narkoba bisa dimiskinkan. Ini akan makin memperkuat efek jera. Narkoba adalah kejahatan luar biasa yang merusak bangsa. Tidak cukup hanya dengan vonis pidana,” katanya.
Poengky juga mengingatkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah yang sangat rawan menjadi jalur peredaran narkotika karena berbatasan langsung dengan sejumlah negara. Oleh karena itu, pengawasan terhadap anggota Polri harus diperketat.
“Polda Kepri harus memperkuat pengawasan internal. Jika ada anggota yang coba-coba menyalahgunakan kewenangannya, apalagi menjadi backing atau bandar, maka pimpinan harus tegas langsung memproses secara pidana. Pengawasan atasan langsung sangat penting untuk mencegah penyimpangan seperti ini terjadi lagi,” ucapnya.
Ia juga menyoroti lambatnya proses banding etik terhadap Satria Nanda yang hingga kini belum diputus. Padahal, sembilan anak buahnya yang turut divonis dalam kasus yang sama telah lebih dahulu dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Polri.
“Permohonan banding kode etik Satria Nanda sudah lama diajukan namun belum diproses. Ini tidak adil, karena sebagai atasan dan pelaku utama, justru seharusnya ia lebih dulu diproses. Saya mendesak agar Irwasum dan Kadiv Propam segera menggelar sidang banding KKEP dan menjatuhkan putusan PTDH kepada yang bersangkutan,” kata Poengky.
Menurutnya, pelanggaran etik yang dilakukan Satria Nanda tergolong berat, karena melibatkan jabatan, kewenangan, dan tanggung jawab besar sebagai pimpinan satuan reserse narkoba. Maka tidak ada alasan untuk menunda proses pemberhentiannya dari institusi Polri.
“Saya berharap ini menjadi kasus terakhir. Polri harus menunjukkan ketegasan, mempercepat proses internal, dan mengirim pesan keras bahwa tidak ada tempat bagi oknum aparat yang bermain-main dengan narkoba,” ujarnya .
Terpisah para terdakwa yang divonis seumur hidup tersebut adalah mantan Kasatnarkoba Satria Nanda; Kanit Subnit I, Shigit Sarwo Edi, serta delapan anggota lainnya: Fadilah, Rahmadi, Junaidi, Alex Chandra, Aryanto, Ibnu Ma’ruf Rambe, Wan Rahmat, dan Jaka Surya. Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyalahgunakan barang bukti sabu hasil pengungkapan kasus sebesar 50 kilogram, di mana hanya 35 kilogram yang dilaporkan secara resmi.
Selain para eks polisi, dua terdakwa dari unsur sipil, yakni Zulkifli Simanjuntak dan Aziz Martua Siregar, juga dijatuhi hukuman berat. Zulkifli divonis 20 tahun penjara dan Aziz 13 tahun penjara karena dinilai turut serta mengetahui dan membantu transaksi ilegal tersebut.
Majelis hakim menyatakan para terdakwa tidak menunjukkan itikad baik selama persidangan dan tidak kooperatif dalam memberikan keterangan.
“Tindak pidana dilakukan secara terorganisasi dan berkelanjutan, serta berdampak luas terhadap kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum,” ujar hakim dalam amar putusannya.
Meski mayoritas terdakwa melalui penasihat hukumnya menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum lanjutan, salah satu terdakwa yakni Jaka Surya secara tegas langsung menyatakan banding melalui kuasa hukumnya, Sopandi.
Penasihat Hukum Satria Nanda, Celvin Wijaya, menyatakan bahwa putusan majelis hakim dianggap tidak berdasar karena JPU gagal membuktikan keterlibatan langsung kliennya.
“Kami sangat mendukung langkah banding. Saat ini kami sedang mempersiapkan strategi hukum agar di tingkat banding putusan lebih berpihak pada keadilan,” ujarnya.
Senada, penasihat hukum Shigit Sarwo Edi juga mengungkapkan bahwa tidak ada barang bukti sabu yang ditemukan atas nama kliennya. Ia menyebut bahwa keterlibatan Shigit hanya didasarkan pada keterangan saat pemeriksaan awal di Paminal Polda Kepri, yang kemudian telah dicabut. “Kami sudah siapkan bukti tandingan yang akan kami ajukan dalam banding maupun kasasi nantinya,” jelasnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Kepri dan Kejari Batam telah menuntut hukuman mati untuk lima terdakwa utama: Satria Nanda, Shigit Sarwo Edi, Fadilah, Rahmadi, dan Wan Rahmat. Lima terdakwa lainnya dituntut penjara seumur hidup.
JPU menilai mereka terlibat langsung dalam penggelapan sabu sembilan kilogram dari total 50 kilogram hasil pengungkapan kasus yang dilakukan oleh Subnit I Satresnarkoba Polresta Barelang.
Kasus ini terungkap setelah sebagian sabu yang hilang ditemukan kembali di wilayah Tembilahan, Riau. Temuan tersebut membuka fakta keterlibatan jaringan internal aparat kepolisian. Dalam proses penyidikan, penyidik juga berhasil melacak jejak transaksi sabu yang terjadi di kawasan Simpang Dam, Kampung Aceh, Batam.
Pengungkapan kasus ini menandai salah satu skandal narkotika terbesar yang melibatkan aparat kepolisian di wilayah Kepri, sekaligus menjadi pukulan telak bagi kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. (***)
Reporter : Azis Maulana
Editor : Alfian Lumban Gaol