Buka konten ini

Mahasiswa Prodi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan publik, kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjadi bukti nyata bahwa negara hadir dalam keberpihakan melindungi masyarakat dari bahaya zat adiktif tembakau. KTR bukan semata-mata larangan terhadap aktivitas merokok, melainkan upaya melindungi hak setiap individu untuk menghirup udara bersih, bebas dari polusi asap rokok yang dapat mengancam kesehatan, khususnya bagi kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, dan perempuan.
Paparan asap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia, dan 70 di antaranya bersifat karsinogenik. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tidak ada tingkat paparan yang aman terhadap asap rokok. Bahkan paparan singkat pun dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti gangguan pernapasan, penyakit jantung, dan kanker. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi perokok pasif di Indonesia masih tinggi, termasuk pada kelompok anak-anak dan perempuan. Di sinilah urgensi KTR menjadi tak terbantahkan. Masyarakat tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari kebiasaan sebagian individu yang memilih untuk merokok.
Kawasan Tanpa Rokok bukanlah upaya membatasi kebebasan perokok, melainkan cara melindungi hak mayoritas nonperokok untuk hidup sehat. Kebebasan harus disertai tanggung jawab sosial. Perokok memiliki hak untuk merokok, tetapi tidak di ruang publik yang digunakan bersama. Prinsip keadilan sosial mengharuskan negara mengatur ruang publik agar dapat diakses semua orang tanpa risiko kesehatan yang tidak mereka pilih.
Anak-anak dan remaja, sebagai generasi penerus bangsa, memiliki hak untuk tumbuh di lingkungan yang sehat. Lingkungan yang bebas dari asap rokok dapat mencegah mereka menjadi perokok pemula. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang sering melihat orang dewasa merokok di tempat umum cenderung lebih permisif terhadap kebiasaan tersebut. KTR memiliki efek edukatif jangka panjang, menciptakan budaya hidup sehat sejak dini. Dengan membiasakan ruang publik yang bersih dari asap rokok, kita mengajarkan nilai kepedulian terhadap kesehatan diri sendiri dan orang lain.
Kelompok perempuan, terutama ibu dan ibu hamil, juga sangat rentan terhadap bahaya asap rokok. Paparan asap rokok saat kehamilan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, bahkan kematian bayi. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada (2023) menegaskan bahwa paparan asap rokok di rumah dan tempat umum meningkatkan risiko stunting pada anak. Dalam konteks ini, KTR merupakan kebijakan preventif yang mendukung agenda nasional dalam menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan generasi muda.
Dari sisi ekonomi, kebijakan KTR juga membawa dampak positif. Biaya pengobatan penyakit akibat rokok membebani sistem kesehatan dan anggaran negara. Menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penyakit tidak menular seperti jantung, paru-paru, dan kanker menyumbang beban klaim terbesar, yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku merokok. Penerapan KTR dapat mengurangi jumlah penderita penyakit terkait rokok, sehingga menurunkan beban pembiayaan kesehatan negara dan meningkatkan produktivitas masyarakat.
Penolakan terhadap KTR biasanya muncul karena anggapan bahwa kebijakan ini mengekang hak individu. Padahal, ruang publik adalah milik bersama. Seperti halnya aturan lalu lintas yang mengatur kecepatan berkendara demi keselamatan umum, KTR adalah bentuk pengaturan demi kepentingan kolektif. Tidak merokok di ruang publik bukanlah bentuk pelarangan mutlak, melainkan pengalihan aktivitas ke tempat yang tidak mengganggu orang lain.
Dukungan terhadap KTR juga datang dari berbagai kalangan profesional kesehatan, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara tegas menyatakan bahwa KTR merupakan langkah strategis untuk mengurangi beban penyakit akibat rokok. Komnas Perempuan juga menyoroti bagaimana asap rokok menjadi bentuk kekerasan tidak langsung terhadap perempuan yang tidak merokok, namun tetap terdampak secara fisik dan psikologis. Ini mempertegas bahwa KTR bukan hanya sekadar regulasi, melainkan wujud nyata dari keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia.
Keberhasilan pelaksanaan KTR sangat bergantung pada komitmen semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Pemerintah perlu aktif menyosialisasikan kebijakan KTR secara persuasif dan edukatif, serta menindak pelanggaran dengan tegas namun bijaksana. Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam pengawasan partisipatif agar tumbuh rasa memiliki terhadap ruang publik yang sehat. Dunia usaha, terutama pemilik gedung, pusat perbelanjaan, dan tempat kerja, dapat menjadi pelopor dengan menyediakan area khusus merokok dan menerapkan kebijakan bebas asap rokok secara konsisten.
Penerapan KTR bukan berarti anti-perokok. Ini adalah bentuk tanggung jawab bersama untuk menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi semua. Di ruang publik, kepentingan kesehatan bersama harus lebih diutamakan daripada hak individu. KTR adalah simbol kemajuan sebuah peradaban, bukti bahwa bangsa ini serius menjaga kualitas hidup warganya.
Pada akhirnya, keberadaan Kawasan Tanpa Rokok adalah cerminan dari negara yang peduli, masyarakat yang sadar, dan sistem sosial yang beradab. Melalui KTR, kita tidak sedang membatasi hak, melainkan memperluas ruang hidup yang sehat bagi mereka yang paling berisiko: anak-anak, remaja, dan perempuan. Inilah bentuk perlindungan sejati”perlindungan yang nyata, terukur, dan menyeluruh demi masa depan bangsa. (*)