Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Perselisihan hukum terkait izin kelayakan lingkungan milik PT Dairi Prima Mineral (DPM), perusahaan tambang seng dan timbal, kini telah mencapai putusan final atau inkrah. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencabut izin yang sebelumnya diterbitkan pada tahun 2022. KLH menegaskan, pencabutan ini semata berdasarkan aspek hukum dan keberlanjutan lingkungan, bukan bentuk penolakan terhadap investasi.
Awalnya, PT DPM memperoleh izin kelayakan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022. Namun, adanya kekhawatiran dari warga sekitar terhadap dampak lingkungan memicu gugatan yang bertujuan membatalkan dokumen tersebut.
Sekretaris Utama KLH, Rosa Vivien Ratnawati, menjelaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan masyarakat, sehingga surat keputusan KLHK dinyatakan tidak berlaku. KLHK lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
”Putusan PTTUN membalikkan hasil dari PTUN,” jelas Rosa dalam pernyataan tertulisnya pada Sabtu (25/5). Namun, masyarakat kemudian membawa kasus ini ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), yang hasil akhirnya menguatkan pembatalan izin lingkungan PT DPM oleh KLHK.
Menurut Rosa, keputusan MA tersebut telah terbit pada 12 Agustus 2024 dan bersifat mengikat. ”Karena itu, KLH wajib menjalankan keputusan tersebut,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa tanggung jawab atas izin lingkungan termasuk kajian Amdal berada di bawah kewenangan KLH.
Lebih lanjut, Rosa mengungkapkan bahwa hingga kini PT DPM belum menjalankan operasional. Belum ada pembangunan fisik seperti fasilitas tambang atau pabrik. Oleh sebab itu, pencabutan izin dinilai tidak berdampak signifikan secara ekonomi.
Rosa menambahkan bahwa KLH tidak menutup diri terhadap investasi. ”Kami tetap mendukung investasi di Indonesia,” ujarnya. Namun, ia menekankan pentingnya memperhatikan aspek ekologis dan kesehatan publik. Saat ini, lanjut Rosa, industri tambang sudah bisa menggunakan teknologi yang lebih bersih dan minim dampak.
Pemerintah tetap membuka peluang bagi PT DPM jika ingin mengajukan izin kembali. ”Namun harus dimulai dari awal, termasuk proses Amdal yang harus melibatkan partisipasi masyarakat,” jelasnya.
Sebagai tambahan, PT DPM didukung oleh dua pemegang saham utama, yakni NFC China dengan porsi 51 persen dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRM) sebesar 49 persen. Nilai total investasinya diperkirakan mencapai Rp 6 triliun. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : Putut Ariyo Tejo