Buka konten ini
kaSetiap musim haji, jemaah asal Aceh selalu membawa pulang kisah istimewa: mereka menerima pembagian uang wakaf dari Baitul Asyi. Baitul Asyi adalah wakaf legendaris yang sudah berdiri lebih dari dua abad di Makkah. Sosok di balik warisan monumental ini adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, yang lebih dikenal sebagai Habib Bugak Asyi.
Habib Bugak adalah seorang ulama dan saudagar asal Makkah yang datang ke Aceh pada tahun 1760, di masa pemerintahan Sultan Alauddin Mahmud Syah I. Julukan “Bugak†adalah sebutan khusus di Aceh untuk para tokoh agama.
Di Aceh, Habib Bugak tidak hanya berdakwah, tetapi juga menjadi orang kepercayaan sultan dan menggagas pengumpulan dana dari masyarakat kaya Aceh. Dana itu kemudian ia bawa kembali ke Makkah pada tahun 1809 untuk membeli tanah yang kemudian diwakafkan.
Sejarah Baitul Asyi dimulai saat Habib Bugak membeli sebidang tanah di dekat Masjidil Haram. Di atas tanah itu, ia membangun rumah singgah khusus bagi jemaah haji asal Aceh yang datang menunaikan rukun Islam kelima. Sejak saat itu, wakaf ini terus berkembang hingga kini dikenal luas sebagai Baitul Asyi atau Rumah Aceh.
Menurut Syaifullah M Yunus, petugas wakaf Habib Bugak Asyi yang ditemui di Makkah, Jumat (23/5), wakaf ini bukan hanya ditujukan untuk jemaah reguler, tetapi juga bagi mukimin (warga Aceh yang tinggal di Saudi), tenaga musiman, hingga petugas haji.
“Insya Allah, amanah ini akan terus diberikan kepada warga Aceh sampai dunia berakhir,” katanya.
Kini, aset wakaf Baitul Asyi telah berkembang luar biasa. Awalnya, tanah wakaf ini berada persis di samping Masjidil Haram. Namun, saat proyek perluasan Masjidil Haram, tanah itu dibebaskan dan diganti oleh pemerintah Arab Saudi.
Dengan dana kompensasi, pengelola wakaf membeli tanah baru di kawasan Ajiad dan mendirikan hotel-hotel mewah seperti Hotel Elaf Masyair dan Hotel Ramada.
Pengelolaan wakaf ini dipegang oleh Syekh Abdul Latif Baltou, yang sejak 15 tahun terakhir dipercaya oleh Kerajaan Arab Saudi sebagai nazir (pengelola) wakaf. Menurutnya, wakaf ini dulu nilainya kecil, tapi kini menjadi wakaf produktif bernilai miliaran.
“Aset wakaf ini kini mencakup hotel, tanah, gedung usaha, yang setiap tahun membagikan hasilnya ke jemaah Aceh,” ujarnya.
Tahun ini, jemaah haji Aceh masing-masing menerima SAR 2.000 atau sekitar Rp 8,6 juta dari hasil wakaf. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar SAR 1.500. Total dana yang dibagikan setiap musim haji mencapai SAR 87 juta atau setara Rp 3,9 miliar.
Pembagian uang wakaf dilakukan di hotel-hotel yang menjadi tempat tinggal jemaah Aceh di Makkah. Jamaah mengantre dengan tertib sambil menunjukkan kupon yang sudah mereka terima sejak di embarkasi Banda Aceh.
Pengurus wakaf, termasuk petugas haji Syaifullah M Yunus, memanggil jemaah satu per satu dan menyerahkan langsung uang wakaf tersebut.
Yang membuat wakaf ini begitu istimewa adalah sejarah panjangnya. Saat Habib Bugak mengikrarkan wakaf di depan Mahkamah Syar’iyah Makkah, ia menegaskan bahwa wakaf ini hanya diperuntukkan bagi jemaah Aceh, dan bukan untuk kepentingan keluarganya.
Prinsip ini terus dijaga turun-temurun, bahkan hingga kini saat pengelolaan berada di bawah pantauan resmi pemerintah Arab Saudi.
Dalam perjalanannya, Baitul Asyi tidak hanya menjadi tempat singgah, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh. Banyak jemaah yang mengaku merasa sangat terbantu dengan keberadaan wakaf ini, terutama untuk membayar dam, kurban, atau sekadar menambah bekal selama di Tanah Suci.
Begitulah, Baitul Asyi adalah bukti bahwa wakaf bisa menjadi warisan yang kekal sepanjang zaman, mengikat sejarah, iman, dan solidaritas lintas generasi.
Hingga kini, warisan Habib Bugak Asyi masih mengalirkan manfaat, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam wujud kebanggaan dan rasa aman bagi setiap jemaah Aceh yang menunaikan haji di tanah suci. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : Alfian Lumban Gaol