Buka konten ini

Pengajar Senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam, FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya
Bill Gates (BG) selalu menjadi objek berita yang seru bagi para jurnalis. Di sisi lain, “penikmat berita” selalu menanti, bahkan “menganalisis” setiap pernyataan bos Microsoft itu. Kabar burung paling fenomenal adalah teori konspirasi tentang asal-muasal virus Covid-19.
Ada rumor lain. Misalnya, soal vaksin yang didanai kekuatan finansialnya yang digunakan untuk “mengendalikan” orang lain melalui mikrocip ciptaannya. Atau melalui perangkat lunak quantum-dot yang disuntikkan. Berita yang tidak jelas juntrungannya itu merupakan badai sempurna penyebaran disinformasi alias hoaks. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya “infodemic”.
Donasinya melalui yayasan Bill & Melinda Gates dimanfaatkan bagi pengembangan berbagai vaksin. Penyalurannya melalui lembaga Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI) yang berperan dalam pemerataan vaksin global. Terutama ditujukan untuk negara-negara miskin. Kini dengan “dana hibah” Rp2,6 triliun, BG menjadikan Indonesia sebagai tempat uji klinis vaksin tuberkulosis (TB).
Cawe-cawe pendanaan BG itu bisa berarti angin segar. Sebab, Amerika Serikat (AS) telah menyatakan hengkang dari WHO dan USAID (Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat). Keputusan kontroversial Presiden Donald Trump itu dikhawatirkan berimbas pada bantuan pendanaan mitigasi TB dan HIV/AIDS di Indonesia. Melalui global fund yang disalurkan, USAID memberikan dukungan teknis percepatan penanggulangan TB. Khususnya pada ketersediaan peralatan diagnostik tes cepat molekuler (TCM).
Kendala Mitigasi
Pemberantasan TB menjadi atensi utama Kabinet Merah Putih. Pasalnya, Indonesia memiliki jumlah penyandang TB peringkat kedua tertinggi di dunia setelah India. Setidaknya tercatat 1.090.000 kasus. Angka mortalitasnya mencapai 134 ribu per tahun atau terjadi 17 kematian per jamnya. Sangat mungkin realitasnya jauh melampaui catatan itu. Sebab, epidemiologi TB ibarat fenomena gunung es. Artinya, kasus yang tidak terdeteksi bisa sepuluh kali lipat daripada yang dikonfirmasi.
Seseorang yang tertular mycobacterium tuberculosis (MTB) tidak mesti langsung jatuh sakit. Bila sistem imunitasnya mumpuni, mayoritas “hanya” mengalami infeksi laten. Dengan berjalannya waktu, sepuluh persen infeksi laten akan berkembang menjadi TB aktif. Pemicunya beragam. Misalnya, penyakit autoimun, kanker, atau gangguan sistem imun.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) paling rentan mengalami TB aktif. Risikonya 20–30 kali lipat jika dibandingkan dengan non-ODHA. Diperkirakan, 30 persen ODHA memiliki status TB aktif. Kondisi itulah penyebab utama mortalitas ODHA.
= Hingga Maret 2023, tercatat 522.687 ODHA di Indonesia. Setahun berikutnya telah bertambah 47.896 kasus.
Sama persis dengan TB, fenomena gunung es terjadi pula pada HIV. Banyak kasus HIV di masyarakat yang tidak terdeteksi hingga memasuki fase AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Periode transisinya bisa berlangsung hingga bertahun-tahun. Padahal, mereka sangat menular, khususnya melalui kontak seksual. AIDS merepresentasikan kondisi rusaknya sistem imun. Pengidapnya rentan diinvasi mikroba jenis apa pun. Terutama TB.
Mitigasi TB bukan persoalan sederhana. Malah bisa dibilang pelik dan melelahkan. Relevansinya sangat erat dengan rendahnya tingkat pendidikan serta pengentasan kemiskinan. Sekitar 65 persen pengidapnya beririsan dengan problem kemiskinan. Dampaknya, memantik masalah kurang gizi, intoleransi obat, komplikasi, dan fatalitas. Umumnya mereka menghuni rumah tidak layak dengan sistem ventilasi yang buruk.
Pengidap TB sering kali enggan terbuka menyangkut kondisi kesehatannya. Biasanya mereka mengalami stigma dan diskriminasi jika diketahui mengidap TB oleh masyarakat sekitarnya. Kepatuhan mengonsumsi obat secara reguler pun sering mengalami kendala. Akibatnya, memicu munculnya TB resistan obat (TB-RO) yang makin menambah kompleksnya mitigasi.
TB laten juga memerlukan pengobatan pencegahan agar tidak berkembang menjadi TB aktif. Karena tidak menampilkan gejala spesifik, sering kali menghentikan pengobatan atas inisiatif sendiri.
Vaksin Pengganti
Vaksinasi yang aman dan efektif terbukti merupakan tulang punggung pencegahan penyakit menular yang paling ekonomis. BCG sebagai satu-satunya vaksin pencegah TB sudah satu abad lamanya digunakan di seluruh dunia. Namun, daya proteksinya amat terbatas. Hanya bisa mencegah seorang anak agar tidak jatuh ke dalam kondisi TB yang parah. Setelah remaja dan pada orang dewasa, daya proteksi BCG menjadi pupus. Padahal, justru merekalah sebagai sumber penularan apabila terpapar TB.
Kini tengah dikembangkan berbagai platform baru vaksin TB. Indonesia terlibat dalam uji klinis tiga kandidat vaksin. Yaitu, M72/AS01E (Bill & Melinda Gates Foundation dan GlaxoSmithKline), BNT164a1 (BioNTech dan Biofarma), serta AdHu5Ag85A (CanSinoBio dan Etana).
Tahapan uji vaksin bersifat baku. Uji praklinis dilakukan pada hewan coba. Fase pertama dilakukan pada sebagian kecil orang sehat. Fase kedua pada ratusan orang dari berbagai kelompok. Fase ketiga pada ribuan orang. Pengembangan M72/ASO1E pada hewan coba dimulai pada 1999–2009. Kini telah memasuki uji klinis fase ketiga.
Dengan keterlibatan Indonesia, uji klinis diharapkan paripurna hingga dapat memproduksi vaksin hasil riset tersebut secara mandiri. Jadi, bukan hanya sebagai target riset dan pasar belaka. (*)