Buka konten ini
Menjadi pengusaha batik tak pernah terlintas di benak Putri Arofah. Perempuan kelahiran 1983 itu empat tahun lalu hanya ibu rumah tangga yang tak punya bayangan akan dunia batik. Namun pandemi Covid-19 mengubah segalanya.
SAAT pandemi Covid-19, Putri sekeluarga terpapar virus mematikan tersbeut. Membuatnya bingung, sedih, tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kebuntuan itu, Putri teringat pada sisa-sisa malam dan kain dari pelatihan batik yang pernah digelar Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Berau pada 2017. Limbah itu sudah bertahun-tahun teronggok di Balai Kantor Kampung Maluang.
“Iseng-iseng kami coba membatik. Hasilnya kami posting, ternyata ada yang beli. Lalu buat lagi, jual lagi,” kenangnya. Namun perjalanan itu jauh dari kata mudah. Berkali-kali gagal, kain rusak, dan modal yang terbatas membuat Putri harus menggadaikan cincin untuk membeli bahan baku dan material batik dari Solo.
Dari modal Rp 3 juta, ia kembali mencoba. Hingga akhirnya, satu kain bermotif daun katuk dan lada laku terjual. “Itu momen yang membangkitkan semangat. Dari situ kami dirikan Putri Maluang Batik Berau,” jelasnya.
Tagline “Goresan Cerita Cinta”pun lahir. Putri ingin setiap motif batik membawa kisah, kearifan lokal, dan filosofi hidup masyarakat Berau. Daun katuk, misalnya, ia pilih karena daya tahannya yang kuat, bisa tumbuh di mana saja dan bermanfaat bagi banyak orang. “Seperti warga Kaltim yang mudah berbaur dan berguna di mana pun berada,” katanya.
Di tahun pertama berdiri, Putri mendapat bantuan dari BPJS Ketenagakerjaan yang digunakan untuk mendatangkan guru batik dari Pekalongan. Sebanyak 35 warga Kampung Maluang ikut pelatihan. “Sayangnya, tak satu pun yang bertahan. Yang terus membatik hanya saya,” ungkap Putri.
Ia tak patah arang. Berbagai pelatihan kembali diadakan, termasuk lewat program CSR perusahaan tambang Buma. Kali ini melibatkan hingga 150 peserta. Namun hasilnya sama. “Banyak yang ikut pelatihan, tapi hanya saya yang bertahan hingga sekarang,” sambungnya.
Putri terus mengasah kemampuan secara otodidak. Ia belajar dari YouTube, Google, dan mencoba berbagai teknik. Ia mengembangkan motif-motif lokal seperti sungai, tanaman khas Berau, hingga simbol-simbol budaya. Motifnya yang sudah memiliki HAKI ada sekitar 20-an, sedangkan motif yang tak memiliki hak cipta diakuinya ada sekitar 800-an.
“Kami dominan ke batik cap karena lebih terjangkau. Tapi kami juga produksi batik capkis (cap lukis) dan batik tulis berbahan sutra,” ujarnya.
Saat ini, Putri Maluang Batik Berau mampu memproduksi 200 – 300 lembar batik per bulan. Jika pesanan ramai, jumlahnya bisa melonjak hingga 700 lembar. Putri mempekerjakan 10 karyawan tetap yang sebagian besar adalah warga Kampung Maluang.
Motif-motif ciptaan Putri kini tak hanya dikenakan warga Berau. Batiknya telah menyebar ke seluruh Nusantara dari Jakarta, Malang, Jogja, hingga Makassar. Salah satu momen penting adalah ketika batiknya dikenakan dalam ajang Fashion Syariah Indonesia (Fasyar) di Jakarta Convention Center (JCC) tahun 2022.
Putri tak hanya fokus menjual. Ia juga aktif mengikuti kurasi dan pembinaan dari Bank Indonesia. Lewat pendampingan itu, ia mendapat pelatihan media sosial, teknik produksi yang lebih baik, dan strategi pemasaran. “Binaan dari BI dan Buma memberi kami banyak ilmu. Itu yang membuat usaha kami naik kelas,” kata ibu tiga anak itu.
Kini, Putri Maluang Batik Berau memiliki galeri sendiri yang dibuka sejak 2022. Produk-produknya dijual dengan harga mulai dari Rp 250 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung jenis dan tingkat kesulitannya. Ia juga mulai belajar menjadi desainer sejak 2023.
“Saya belum bisa menjahit, tapi sudah bisa menggambar desain busana sedikit-sedikit,” ujarnya.
Putri membuktikan bahwa warisan budaya bisa menjadi jalan bangkit dari keterpurukan. Ia percaya wastra lokal tak sekadar lembaran kain, tapi juga lembaran hidup yang bisa menginspirasi. “Batik bukan hanya bisnis. Ini cara saya mencintai kampung, mencintai Indonesia,” pungkasnya. (ndu/***)
Reporter : JP GROUP
Editor : ALFIAN lUMBAN GAOL