Buka konten ini
Rasa setia kawan memang tidak terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah yang justru harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan rakyat seluruhnya tidaklah mungkin. – Kartini
Kartini adalah solidaritas dan kesetiakawanan. Setiap keresahan dan curahan hatinya, pemikiran dan gugatannya, adalah wujud solidaritas dan kesetiakawanan.
DALAM solidaritas ada persahabatan dan persaudaraan, relasi yang tak mungkin hadir ketika ada kesenjangan antara individu. Solidaritas mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial. Dalam solidaritas ada semangat untuk membantu, mengangkat mereka yang tertindas, mendistribusikan harta dan kepemilikan kepada mereka yang tak punya. Sementara dalam setia kawan ada rasa senasib sepenanggungan, ada satu tujuan yang mensyaratkan persatuan dan perjuangan bersama.
Solidaritas Kartini pertama-tama ditujukan pada orang-orang pribumi yang tertindas dan terdiskriminasi akibat penjajahan Belanda. Kesadarannya atas adanya diskriminasi ras dan warna kulit telah tumbuh di usia belia, dibentuk langsung oleh pengalamannya di ruang kelas, dari guru-guru yang mengajarnya. Dalam sebuah suratnya kepada Estella ia menulis, ”Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak menerimanya.”
Pada babak kehidupan berikutnya, berangkat dari pengalamannya sebagai perempuan yang dipingit, dalam diri Kartini tumbuh solidaritas, rasa senasib sepenanggungan dengan sesama perempuan pribumi. Ia merasakan langsung bagaimana perempuan kehilangan kemerdekaan, kehilangan masa depan, kehilangan kesempatan untuk memutuskan mau jadi apa dirinya. Hal serupa dialami oleh perempuan-perempuan pribumi masa itu.
Solidaritas Kartini berikutnya adalah pada para pribumi yang hidup dalam kemelaratan dan penderitaan berbanding terbalik dengan nasib keluarganya yang seorang bangsawan. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon ia menulis, ”Malulah aku terhadap keangkaraanku! Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami!”
Metode Perjuangan
Kartini menggambarkan kondisi pribumi masa itu bagaikan hutan belantara yang gelap gulita. Untuk menerangi hutan belantara itu dibutuhkan obor-obor yang tak lain adalah pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan yang dimaksud Kartini juga mencakup pengetahuan dari Barat yang semestinya dikuasai rakyat pribumi untuk menerangi dan memajukan bangsanya. Pengetahuan dan kesadaran itu hanya bisa dinyalakan menjadi obor penerang ketika ada solidaritas dan setia kawan.
Solidaritas ala Kartini merupakan metode, bukan terminal tujuan. Dalam bagian lain suratnya untuk Nyonya Abendanon, Kartini mengungkapkan gagasan penting untuk mencapai tujuan: ”Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong orang lain! Kerja! Kerja!”
Pada kutipan tersebut, terlihat lebih jelas alur kerja sebuah perjuangan yang dibangun oleh Kartini. Dalam perjuangan menuju pembebasan kaumnya, seseorang harus terlebih dahulu mampu membebaskan dirinya. Pembebasan diri dalam konteks ini bukan sekadar pembebasan dari ruang pingitan, melainkan pembebasan dari segala sekat yang menghalangi kemerdekaan pikiran. Kebebasan dan kemerdekaan berpikir bukanlah hadiah dari langit, ia harus diupayakan dan direbut.
Namun, satu orang dengan pikiran merdeka tak akan pernah cukup punya tenaga dan napas panjang perjuangan. Dibutuhkan sebanyak-banyaknya orang dengan kemerdekaan pikiran yang bergerak bersama menuju pembebasan sebuah bangsa; bebas dari ketidakadilan, bebas dari penindasan, bebas dari kesewenang-wenangan penguasa.
Di titik inilah pendidikan diperlukan. Kartini menulis dan mendirikan sekolah sebagai bagian kerja nyatanya untuk membangun sebanyak-banyaknya kesadaran dan kemerdekaan pikiran. Mendidik sesama merupakan bagian yang tak boleh terlupakan dalam sebuah perjuangan. Proses mendidik ini dilakukan bukan dengan rasa lebih unggul dari pihak yang diajari, tapi berangkat dari kesadaran bahwa setiap perjuangan harus dilakukan secara kolektif dan terbentuknya massa kritis mutlak dibutuhkan.
Perjuangan kolektif dimungkinkan hanya jika ada setia kawan dan solidaritas. Kesetiakawanan dan solidaritas yang dibangun Kartini membentang melintasi ras, identitas, dan batas wilayah. Solidaritas itu terbangun dalam surat-surat yang dikirim pada sahabat-sahabatnya di Eropa.
Ia mengusik kegelisahan mereka yang merupakan bagian dari bangsa penjajah. Melalui surat-suratnya, Kartini memanggil manusia berbagai bangsa untuk bersolidaritas pada bangsa di tanah jajahan. Kawan-kawannya di Eropa itu kemudian bergerak, bekerja menyebarluaskan pesan-pesan Kartini, dari ruang pertemuan keluarga hingga ke gedung parlemen.
Kartini dengan nyata mencontohkan solidaritas lintas batas dan lintas identitas dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Pada saat bersamaan ia terus membangun solidaritas antar-kelas sosial, menggempur keangkuhan feodalisme dan kolonialisme dengan pemikiran dan aksi.
Jika dibuat alurnya agar bisa diduplikasi dan diterapkan dalam berbagai gerakan sosial dan kerja-kerja kemanusiaan hari ini, metode Kartini bisa diurai sebagai berikut. Pertama, diawali dari kesadaran dan kemerdekaan berpikir individu.
Langkah kedua, individu yang punya kesadaran dan kemerdekaan dalam berpikir bekerja untuk menularkan kesadaran dan kemerdekaan pada orang-orang di sekitarnya. Langkah ketiga adalah berjejaring, bekerja sama, membangun solidaritas. Di titik inilah perubahan akan dimungkinkan.
Mulai kini dan nanti, Kartini dan metodenya akan kita rayakan di jalanan, di pabrik atau perkantoran megah, di lahan-lahan yang tergusur, di setiap rumah dan sekolah, dalam diri setiap perempuan yang terus bersuara dan melawan. Metode Kartini adalah peta yang mengantarkan kita pada ladang keadilan. (*)
Karya : Okky Madasari, Sastrawan dan sosiolog
Editor : Alfian Lumban Gaol