Buka konten ini
Langit di atas kantor militer di Jakarta diselimuti awan mendung saat Kusni Kasdut berdiri antre bersama para pria lain dengan harapan baru yang lebih kuat. Tangannya mencengkeram surat rekomendasinya. Selama empat tahun ia telah berjuang untuk kemerdekaan. Selama itu ia merasa punya arti mengingat masa kecilnya yang suram.
Ia tidak saja berjuang untuk negara barunya, tetapi juga dirinya sendiri. Bergabung dalam milisi yang terdiri dari para begundal, perampok, dan orang-orang yang melihat dunia sebagai penjara, ia mengotori tubuhnya dengan darah dan kematian demi kemerdekaan bangsanya. Dalam sebuah pertempuran, kakinya terluka dan cacat seumur hidup oleh peluru. Oleh karena itu, ia berharap republik yang baru berdiri akan memberikannya pengakuan sebagai seorang tentara.
Kakinya melangkah maju dengan sedikit pincang. Petugas di belakang meja itu hampir tidak mendongakkan kepalanya.
”Nama?”
”Kusni. Kusni Kasdut.”
Petugas itu membolak-balik daftar, mengerutkan kening, lalu matanya melihat kakinya yang pincang. Kemudian, matanya menatap Kusni seakan-akan ia adalah sesuatu yang nista seperti kentut yang segera akan tertiup angin.
”Tidak ada tempat untukmu.”
Kata-kata itu menusuknya. ”Tapi, saya berjuang untuk Indonesia. Saya…”
”Kau adalah seorang gerilyawan. Itu berbeda. Kakimu cacat. Tentara dengan kaki seperti itu tidak akan berguna.”
Orang-orang sepertimu. Kata-kata itu seolah menancap persis di hatinya, menghina rasa keadilannya. Suara kata-kata itu seperti mata bor yang berputar, semakin lama semakin merusak suasana hatinya. Otak di kepalanya seolah mengecil dan menghilang dalam gema kata-kata itu.
Tinta pada kertas proklamasi baru saja mengering, tapi bahkan sudah ada orang-orang seperti dirinya dan orang-orang yang bertempur dalam bayang-bayang kematian, yang telah mencabik-cabik musuh mereka dengan pisau berkarat ketika peluru habis, disingkirkan.
Petugas itu mengibaskan tangannya dan memanggil nama berikutnya. Kusni Kasdut tertegun sejenak sebelum kemudian seorang anak muda menggesernya. Dengan berat hati, ia kemudian berjalan ke jalan, tangannya terkepal.
Berdiri di jalan dengan wajah mengeras sembari tangannya meremas-remas surat rekomendasinya hingga langit menurunkan hujan. Dengan gerakan yang masygul, ia membuang kertas di selokan hingga air melenyapkan tintanya sekaligus kertasnya.
***
Saat itu, ia pernah percaya pada masa depan. Ketika berusia sembilan belas tahun, saat berbaring di hutan dengan senapan di dadanya, dan membayangkan dirinya berbaris menuju Jakarta, sebagai pahlawan dalam sebuah peperangan.
Bersama rekan-rekannya berjalan ke kota dengan angin di belakang mereka, dengan jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang mengalungkan karangan bunga dan melemparkan bunga ke kaki mereka.
Namun, bahkan negara baru yang diperjuangkannya tidak mengingatnya. Seperti orang tua yang kehilangan ingatan, seperti anak durhaka yang mengusir ibunya. Hutan telah meludahkannya, menghapus jejak sejarahnya yang terancam kematian.
Mereka telah melupakan bagaimana ia berjuang untuk kemerdekaan, tetapi kini, kemerdekaan itu tidak memberinya tempat baginya. Kemerdekaan, pikirnya. Semua itu membuatnya tertawa, tapi itu bukan komedi –itu adalah ironi yang tragis baginya.
Dalam beberapa waktu, ia menghabiskan bulan-bulan pertamanya di Jakarta dengan berpindah-pindah dari satu pekerjaan kasar ke pekerjaan kasar lainnya. Menjadi kuli angkut di dermaga. Menjadi penjaga malam di sebuah gudang.
Menjadi sopir seorang pengusaha yang tidak pernah ingat namanya. Hingga kemudian, di suatu malam, dengan perut kosong dan kantong melompong yang hanya berisi angin, ia berdiri di depan sebuah toko perhiasan kecil dan melihat bayangannya sendiri di kaca. Matanya menatap lurus. Rasanya ia tidak terlihat seperti seorang pahlawan seperti seharusnya. Ia hanya terlihat seperti pria malang yang telah dilupakan dunia.
***
Namun, hidup dengan membawa kecewa adalah masalah. Dan masalah hidup selalu menjadi berlipat-lipat. Lalu, ia sadar hidup adalah medan perang yang lebih mengerikan bagi orang-orang tanpa kemerdekaan seperti dirinya. Setidaknya itu yang dia rasakan ketika hidup di masa kemerdekaan sebagai bangsa. Bertahun-tahun ia berjuang untuk bangsanya, tetapi tak mampu menikmatinya. Sepanjang hidupnya ia telah belajar cara bertahan dan bertempur. Namun, semua yang dihadapinya saat ini adalah perang terbuka yang tak terlihat. Semua itu bisa membunuhnya kapan saja.
Jadi, pertama kali ia mencuri, itu terjadi mungkin hanya karena takdir sedang membuka pintunya. Seorang pria di pasar menjatuhkan dompetnya dan ia memungutnya. Untuk sesaat, ia berniat untuk mengembalikannya.
Tapi, kemudian ia melihat uang kertas yang masih segar di dalamnya dan celakanya perutnya berniat lain dan berteriak lapar. Malam itu, ia makan seperti seorang raja. Tapi, makanan itu berubah menjadi debu di mulutnya.
Ia bukan pencuri, katanya pada dirinya sendiri. Harga dirinya terganggu. Seharusnya ia melakukan yang lebih dari sekadar mencuri. Itu pikirannya. Maka, untuk kedua kalinya ia melakukannya dengan sengaja. Sesuatu yang lebih bermartabat dan jahat, menjadikan dirinya seorang kombatan seperti ketika ia bergerilya untuk republik ini.
Sebuah toko gadai diserbunya dengan membongkar jendela dan memecahkan kacanya, lalu beberapa cincin ia rampas. Selanjutnya, ia mempersenjatai dirinya dengan senjata api dan selanjutnya ia membunuh dan belajar bagaimana menghilang.
***
Pada akhir tahun 1960-an, Kusni Kasdut telah menjadi legenda. Koran-koran menyebutnya sebagai hantu, hantu kota. Ia merampok bank dengan berpakaian seperti polisi, berjalan melewati pos pemeriksaan tanpa menoleh, dan lenyap sebelum tinta mengering di poster-poster buronan. Orang-orang miskin memujanya karena ia selalu membagikan rampokannya kepada mereka.
Suatu malam, ia melihat dirinya di cermin dan melihat dirinya bukan sebagai pahlawan yang terlupakan, tetapi seseorang yang melawan hukum pemerintah yang telah membuangnya.
Ia bukan lagi Kusni Kasdut, pahlawan kemerdekaan yang dipuja oleh kaum miskin, tetapi tidak diinginkan negaranya. Tapi, saat ini, ia bisa menjadi siapa pun yang ia inginkan.
Tapi, legenda tidak akan bertahan selamanya. Hidup itu fana.
***
Perampokan yang akan mengakhiri semuanya dimulai pada suatu sore yang hangat di tahun 1970-an. Museum Gadjah sepi, lantai marmernya terasa sejuk di balik seragam polisi yang dipakainya.
Berlian itu terletak di balik kaca di lantai atas, bersinar seperti janji kehidupan yang lebih baik. Dengan cermat, ia telah merencanakan segalanya: masuk, melarikan diri, dan menukarkannya dengan uang yang akan memberinya nama baru dan negara baru.
Yang tidak ia rencanakan adalah saat setelah perampokan dan itu ia sadari ketika ia tidak punya tempat untuk lari.
Ia tertangkap beberapa minggu kemudian, dikhianati oleh seseorang yang pernah memanggilnya saudara. Ia diseret di jalanan dengan tangan diborgol, melewati orang-orang yang pernah membisikkan namanya dengan penuh kekaguman. Sang legenda yang terbang seperti dewa telah menjadi manusia lagi dan manusia tentu saja hanya makhluk biasa yang bisa berdarah.
***
Di dalam penjara, waktu kehilangan bentuknya. Hari-hari melebur satu sama lain dan dinding-dindingnya seakan bernapas dengan beban semua orang yang telah menunggu di sini sebelumnya.
Ia teringat akan hutan, akan perang, akan surat yang telah menentukan nasibnya bertahun-tahun lalu. Kusni Kadut tertawa bersama tembok dan terali besi. Ia telah berjuang untuk Indonesia, tapi Indonesia tidak berjuang untuknya.
Mereka datang menjemputnya sebelum fajar. Dan ia bangkit tanpa ragu, seolah mematuhi perintah yang diberikan sejak lama. Koridor itu berbau tanah lembap, berkarat, dan pesing kecoak.
Sesuatu yang suram dan lebih tua dari kematian itu sendiri. Ia berjalan seperti saat ia berjalan melewati hutan, melewati medan perang, melewati tahun-tahun yang telah membawanya ke sini.
Ketika berjalan menuju kematiannya, ia teringat akan hujan yang telah membasuh tinta dari suratnya bertahun-tahun lalu. Dengan rasa penasaran yang masygul, ia bertanya-tanya apakah ada pejuang-pejuang lain yang terlupakan seperti dirinya, sedang berdiri dalam antrean, menunggu harapan yang tidak akan pernah datang.
Langit awan hitam menggantung dan hujan lebat turun dari langit ketika tembakan itu terdengar. (***)
RANANG AJI SP, Penulis fiksi dan nonfiksi, tinggal di Magelang
Karya : RANANG AJI, Sp
Editor : MUHAMMAD NUR