Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia per akhir Januari 2025 naik. Dari USD 155,7 miliar di akhir tahun lalu menjadi USD 156,1 miliar. Kenaikan ini bersumber dari penerbitan obligasi global sehingga mening-katkan utang negara.
“Memang cadangan devisa di Januari meningkat. Kenaikannya bersumber dari penerbitan global bond yang membuat menaikkan utang,” ucap Head of Macro and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman dalam Economic Review, Senin (10/2).
Hanya saja, lanjut Faisal, berdasarkan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB), utang Indonesia masih mana-geable. Dibandingkan dengan negara emerging market lainnya, RI cenderung masih rendah.
Menurut dia, berbicara soal utang tidak bisa hanya melihat angka tapi juga memerhatikan penggunaan utang tersebut. Misalnya, buat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melakukan belanja produktif dengan menyasar sektor-sektor dengan multiplier effect tinggi.
“Intinya kalau growth (ekonomi) kita bagus di tengah ketidakpastian seperti ini, (capital) inflow akan sendirinya akan masuk ke Indonesia. Artinya nanti rupiah akan cenderung bisa menguat,” jelas Faisal.
“Secara keseluruhan, kondisi utang Indonesia tidak mengkhawatirkan. Selain itu, vulnerability (kerentanan) terhadap sektor eksternal cenderung lebih baik dibandingkan negara-negara emerging market lainnya,” imbuhnya.
Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadev setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Jumlah tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal sekaligus menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
LCT Beda Dedolarisasi
Sementara itu, Chief Econo-mist Permata Bank Josua Pardede menilai bergabungnya Indonesia ke BRICS bukan berarti mendukung dedola-risasi yang digaungkan Tiongkok dan Rusia. Keputusan tersebut justru untuk memperluas mitra dagang dan memperkuat posisi ekonomi Indonesia dalam perdagangan dunia. Sebab, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan.
“Inisiatif kita masuk BRICS itu lebih karena mengekspansi mitra dagang kita. Bukan dalam rangka utamanya kita mau dukung dedolarisasi,” katanya.
Kepala Grup Review dan Strategi Pengelolaan Moneter Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI R. Triwahyono menekankan, dedo-larisasi berbeda dengan local currency transaction (LCT). Dedolarisasi dapat diartikan sebagai anti dolar AS (USD), tidak mau bertransaksi menggunakan USD.
Sedangkan, LCT merupakan pilihan yang diberikan kepada pelaku usaha dalam transaksi ekspor-impor. Mereka bisa menggunakan mata uang lokal yang telah disepakati secara bilateral. “LCT itu bukan dalam konteks anti USD, tapi memang dalam konteks memberi opsi kepada pelaku usaha untuk tidak tergantung hanya satu mata uang, tapi juga bisa menggunakan mata uang lokal kedua negara dalam melakukan transaksi,” terang Triwahyono. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALI H ADI SAPUTRO