Buka konten ini
JAKARTA (BP) – DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
RUU tersebut rentan memicu kontroversi. Sebab, di dalamnya memuat pemberian wilayah izin usaha pertambangan kepada organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, hingga perguruan tinggi.
RUU tersebut disetujui dalam rapat paripurna DPR, Kamis (23/1). Sebelum disetujui, masing-masing fraksi menyampaikan pandangan secara tertulis kepada pimpinan DPR. Karena pandangan tersebut tidak dibacakan, penge-sahan RUU tersebut berlang-sung singkat. Nyaris tidak ada interupsi.
RUU Minerba tersebut sudah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR sejak Senin (20/1). Baleg menyetujui RUU Minerba menjadi usul inisiatif DPR. Mereka menyebut RUU Minerba bersifat kumulatif terbuka lantaran sudah empat kali diuji di Mahkamah Kons-titusi (MK).
RUU tersebut akan memasukkan substansi pengelolaan lahan tambang dengan luas di bawah 2.500 hektare bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Serta pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada ormas dan perguruan tinggi.
Klausul pemberian WIUP kepada perguruan tinggi tersebut menuai polemik di kalangan akademisi. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menyatakan tidak setuju dengan gagasan tersebut. Sebab, menurutnya, industri esktraktif telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan.
”Jika kampus terlibat dalam sektor ini, integritas akademiknya akan menjadi taruhan,” kata Fathul, Kamis (23/1). Dia menegaskan, kerusakan lingkungan itu akan berdampak buruk buruk pada masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang.
Fathul juga menyebut suara kampus sebagai rumah intelektual akan semakin parau jika mendapat ’’hadiah’’ tambang. Kampus juga bisa terlena dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan.
”Orang Jawa menyebutnya sebagai melik nggendong lali, keinginan untuk menggapai sesuatu yang lain dapat melupakan misi awal,” imbuhnya.
Fathul tidak percaya jika kampus akan menjadi kaya karena mengelola usaha tambang. Apalagi jika kekayaan itu disebut bisa digunakan untuk menekan biaya kuliah agar murah. Dia justru meyakini bukan kampus yang kaya, melainkan pemilik kampusnya.
”Jika pemerintah ingin membantu kampus dalam pendanaan, masih banyak cara lain yang bisa dipilih, termasuk meniadakan pajak lembaga dan mempermudah kampus membuka usaha bersih lain,” tuturnya.
Terpisah, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro tak banyak merespons soal wacana konsesi tambang pada perguruan tinggi. Satryo menyebut, hingga kini belum ada pembahasan terkait hal itu. “Belum dibahas sama sekali,” katanya usai rapat dengan Menko PMK Pratikno di Jakarta, Kamis (23/1).
Sementara itu, dihubungi terpisah, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) justru merespons positif wacana pelibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang. Ketua MRPTNI Eduart Wolok mengungkapkan, PTN terbuka atas penugasan yang ada. Selama hal itu memberikan manfaat positif untuk PTN dan sesuai dengan prinsip tri dharma perguruan tinggi.
Disinggung soal kapabilitas PTN mengelola tambang, pria yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) itu mengatakan masih menunggu skema resmi dari pemerintah. Tapi, diakuinya, perguruan tinggi tidak memungkinkan mengelola tambang secara 100 persen. Karena itu, dibutuhkan kemitraan.
“Makanya kita akan melihat peraturan pemerintah sebagai turunan undang-undangnya seperti apa, kemudian bagaimana nanti pelaksanaannya,” ujarnya.
Terkait penentuan PTN mana yang bakal ditunjuk, Eduart tak memberikan jawaban pasti. Ia kembali menekankan, harus menunggu aturan resminya terlebih dahulu. Pihaknya pun terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah terkait pengelolaan tambang ini.
Dia berharap, perluasan akses ini dapat memberikan manfaat untuk perguruan tinggi, khususnya dalam membantu sisi pembiayaan perkuliahan.
“Kan kita ketahui bersama, selama ini perguruan tinggi negeri itu kan subsidi pemerintah terhadap beban kuliah dari tiap mahasiswa belum full. Nah, peluang ini bisa membantu meringankan biaya kuliah,” paparnya.
Artinya, pelibatan PTN bisa menurunkan besaran uang kuliah tunggal (UKT)? Peluang itu disebutnya mungkin terjadi. Namun, kata dia, perlu dicermati jika sebenarnya UKT telah mengakomodasi semua kelas. Ada klasterisasi dari kelas 1 sampai kelas 8, dimana mahasiswa bisa masuk ke kelas tertentu sesuai dengan kemampuan ekonominya.
“Kami menilai itu merupakan salah satu cara pemerintah untuk membantu perguruan tinggi mendapatkan income selain alokasi APBN, kita menilainya seperti itu. Tentu income tambahan ini akan membuat UKT lebih stabil, bahkan kalau makin besar tidak menutup kemungkinan UKT bisa turun,” tuturnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG