Buka konten ini
JAKARTA (BP) – KPK telah mengirim syarat administrasi kelengkapan ekstradisi Paulus Tannos, tersangka korupsi e-KTP, ke Singapura. Langkah itu ditempuh untuk mengejar target waktu perjanjian ekstradisi yang disepakati pemerintah Indonesia-Singapura.
”Sudah dikirim syarat administrasinya,’’ terang Ketua KPK Setyo Budiyanto saat dikonfirmasi, kemarin. Dia berharap hal itu akan mempermu-dah pemulangan Paulus.
Mengenai status kewarganegaraan Paulus, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menyebut, KPK tetap berpegang pada aturan kewarganegaraan Indonesia. Hingga saat ini, status Paulus sebagai warga negara Indonesia belum dicabut.
”KPK sudah berkirim surat ke Dirjen AHU terkait kewarganegaraan ini,’’ katanya. Artinya, Paulus masih tetap warga Indonesia meski mempunyai paspor Guinea Bissau, salah satu negara di wilayah Afrika Barat.
Persoalan kewarganegaraan itulah yang sempat membuat Paulus lolos dari incaran tim penyidik KPK. Saat direktur PT Sandipala Arthaputra tersebut terdeteksi berada di Bangkok, penangkapan gagal lantaran kepolisian Bangkok tidak mengizinkan.
KPK juga merespons isu mengenai dorongan agar Paulus dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor terkait perintangan penyidikan. Upaya kabur lewat pergantian kewarganegaraan itu, oleh eks penyidik KPK Praswad Nugraha, dianggap layak dijerat dengan pasal tambahan.
Wakil Ketua KPK Fitroh Rochcayanto menyebut, pihaknya tak bisa menjerat pasal tambahan itu. Sebab, status Paulus saat menjadi buron adalah tersangka. KPK akan lebih mendalami perannya dalam dugaan awal pasal yang disangkakan. Yakni, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tentang Kerugian Negara.
Pemerintah memastikan bahwa status Paulus Tannos adalah WNI. Meski diketahui dari riwayat, Paulus telah dua kali mengajukan permohonan pelepasan kewarganegaraan. Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas pun optimistis proses ekstradisi berjalan lancar dengan pemerintah Singapura. Alasannya, kedua negara telah menjalin kerja sama ekstradisi sejak 2022.
“Yang bersangkutan masih WNI,” tegas Supratman dalam konferensi pers di Kementerian Hukum, Rabu (29/1). Indonesia sendiri menganut asas kewarganegaraan tunggal. Sehingga jika ingin melepas kewarganegaraannya, seorang WNI harus mengajukan permohonan.
Supratman menambahkan, memang Paulus sudah dua kali mengajukan permohonan pelepasan kewarganegaraannya. Namun, proses itu gagal lantaran yang bersangkutan tidak bisa melengkapi dokumen.
’’Dari riwayat permohonan pelepasan itu diajukan yang bersangkutan setelah KPK melakukan penyidikan kasus ini (e-KTP, red),” terangnya.
Disinggung soal kemungkinan negara lain mengajukan ekstradisi terhadap Paulus, Supratman mengatakan bahwa itu adalah urusan lain. Jika pun ada langkah tersebut, hal itu merupakan kewenangan Kementerian Luar Negeri.
Soal kendala ekstradisi dengan Singapura, Supratman menyebut tidak ada masalah. Sebab, proses itu terkait dengan hak dan kewajiban.
“Sehingga dalam hal ini, pemerintah Indonesia berkewajiban melengkapi dokumen,” imbuhnya.
Dalam proses perjanjian ekstradisi, pemerintah Indonesia diberi waktu hingga 45 hari sejak penahanan. Artinya, waktu maksimal syarat tersebut adalah 3 Maret mendatang. “Tapi, kami yakin tak sampai menunggu 3 Maret,” ucapnya.
Supratman mengakui bahwa proses ekstradisi dengan Singapura baru dilakukan perdana. Pasca penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura dilakukan pada 2022 dan diratifikasi pada 2023.
Data Direktorat Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI) Kemenkum, pengalaman Indonesia melakukan ekstradisi dari berbagai negara baru empat kali. Sementara, negara-negara sahabat yang memohon ekstradisi ke pemerintah RI sudah 20 kali.
“Tapi, kami yakin dan percaya sebagai negara tetangga dan bersahabat serta punya kepentingan masing-masing di kedua belah pihak, saya yakin dan percaya proses ini,” pungkasnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG