Buka konten ini
MISTERI aliran uang hasil perampokan berkedok penggerebekan narkoba di kawasan Ruko Bunga Raya, Botania 1, Batam, mulai terungkap. Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Kepri kini memeriksa intensif seorang perwira polisi berinisial Iptu TSH yang diduga ikut terlibat dalam aksi penggerebekan yang merugikan korban hingga ratusan juta rupiah.
Kepala Bidang Propam Polda Kepri, Kombes Eddwi Kurniayanto, membenarkan bahwa TSH telah ditempatkan dalam penempatan khusus (patsus) dan menjalani pemeriksaan mendalam.
“Yang bersangkutan sudah kami patsus dan telah diperiksa. Prosesnya masih berjalan,” ujar Eddwi saat dikonfirmasi, Selasa (4/11).
Menurut Eddwi, pemeriksaan tidak hanya menyasar anggota polisi, tetapi juga akan disinkronkan dengan hasil pemeriksaan tujuh oknum TNI yang lebih dulu diamankan. Langkah ini dilakukan untuk mengungkap peran masing-masing pelaku dan motif di balik penggerebekan fiktif tersebut.
“Kami akan sinkronkan keterangan kedua belah pihak untuk memastikan keterlibatan dan peran mereka,” jelasnya.
Dalam pemeriksaan awal, Iptu TSH mengaku diajak oleh salah satu oknum TNI untuk ikut dalam operasi palsu itu. Namun, Propam belum menarik kesimpulan akhir.
“Untuk sementara, TSH mengaku diajak oleh oknum TNI. Tapi nanti akan kami cocokkan lagi, apakah benar demikian,” ujar Eddwi.
Propam juga mendalami dugaan adanya pembagian uang hasil pemerasan. Berdasarkan informasi sementara, total uang yang diserahkan korban mencapai Rp300 juta. Dari jumlah itu, TSH disebut menerima Rp40 juta.
“Kami dalami soal itu, termasuk angka pembagiannya,” kata Eddwi.
Ia menegaskan, kasus ini masih dalam tahap pemeriksaan kode etik dan belum naik ke penyidikan pidana. “Hasil penyelidikan etik akan menentukan apakah yang bersangkutan bersalah atau tidak,” tegasnya.
Kepala Bidang Humas Polda Kepri, Kombes Zahwani Pandra Arsyad, membenarkan ada satu anggota Polri yang tengah diperiksa terkait kasus ini.
“Iptu TSH saat ini diperiksa mendalam oleh Bidpropam untuk memastikan fakta dan kebenaran dugaan pelanggaran,” ujar Pandra.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan aparat lintas institusi—tujuh anggota TNI dan satu polisi—yang mengaku sebagai petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) saat melakukan penggerebekan di ruko milik Budianto Jauhari, Sabtu (16/10) malam lalu.
Para pelaku disebut menodongkan senjata api dan menuduh korban memiliki sabu-sabu. Di bawah ancaman tembakan, korban diminta menyerahkan uang “damai” agar tidak ditangkap. Dalam kondisi tertekan, Budianto akhirnya mentransfer uang Rp300 juta melalui dua kali transaksi. Setelah uang diterima, para pelaku langsung kabur tanpa membawa barang bukti.
Trauma Mendalam Korban
Sementara itu, Budianto Jauhari yang menjadi korban masih diliputi ketakutan setiap kali mengingat malam mencekam itu. Ia menjadi korban pemerasan oleh delapan orang yang mengaku sebagai petugas BNN, lengkap dengan todongan pistol dan ancaman penjara.
“Awalnya mereka minta Rp1 miliar. Karena saya tidak punya, akhirnya disepakati Rp300 juta. Dengan todongan senjata, saya terpaksa meminjam uang abang ipar dan mentransfer dua kali,” ujarnya, Senin (3/11), di depan Markas Denpom 1/6 Batam.
Bukti transfer itu kini telah diserahkan kepada penyidik. Para pelaku bahkan memaksa korban menghapus rekaman CCTV rumahnya agar jejak mereka tak terlacak.
“Istri saya sampai minta pindah rumah sementara. Dia sangat syok, merasa rumah kami terus diawasi orang,” tutur Budianto lirih.
Kuasa hukum korban, Deni Kresianto Tampubolon, menilai tindakan para pelaku sangat terencana. “Ini bukan insiden spontan, tapi skema pemerasan yang sistematis. Bahkan, setelah kejadian, mereka masih sempat menawarkan ‘jasa keamanan’ dengan imbalan Rp30 juta,” ujarnya.
Ia memastikan laporan telah diterima Denpom 1/6 Batam dan tengah disiapkan pula laporan ke Polda Kepri. “Semua bukti, termasuk transfer dan rekaman, sudah kami kumpulkan. Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas,” tegas Deni.
Budianto berharap para pelaku dihukum seberat-beratnya. “Trauma ini masih terasa setiap hari. Saya hanya ingin hukum ditegakkan dan kejadian seperti ini tidak menimpa orang lain,” ucapnya.
Hingga kini, Denpom memastikan penyelidikan terus berjalan dengan memeriksa saksi dan korban. Kasus ini menjadi pengingat betapa penyalahgunaan kewenangan oleh aparat, sekecil apa pun, dapat meninggalkan luka panjang bagi masyarakat. (***)
Reporter : YASHINTA – EUSEBIUS SARA
Editor : RATNA IRTATIK