Buka konten ini
BATAM (BP) – Bea Cukai Batam kembali menindak ratusan kontainer yang diimpor dari Amerika Serikat melalui Pelabuhan Batuampar. Total terdapat 199 kontainer berisi limbah elektronik yang kini seluruhnya telah disegel petugas.
Kepala Bea Cukai Batam, Zaky Firmansyah, mengatakan penindakan dilakukan secara bertahap. Penyegelan dilakukan setelah proses pemeriksaan tahap keempat selesai.
“Sekarang seluruh kontainer sudah disegel karena proses tier keempat harus diturunkan, dan saat ini semuanya dalam kondisi tersegel,” ujarnya, Kamis (16/10).
Zaky menjelaskan, sebagian dari ratusan kontainer tersebut telah diperiksa oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berdasarkan hasil pemeriksaan, isi kontainer itu termasuk kategori limbah A108d, yaitu limbah yang terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Sebagian sudah diperiksa dan sisanya akan dilakukan pemeriksaan bertahap sambil menunggu petugas KLHK,” katanya.
Zaky menegaskan, pihaknya akan segera mereekspor limbah yang telah diperiksa ke negara asalnya, Amerika Serikat.
“Kami dorong percepatan reekspor,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Bea Cukai Batam, Evi Octavia, menambahkan bahwa saat ini terdapat 36 kontainer yang direkomendasikan KLHK untuk segera direekspor.
“Sebanyak 36 kontainer itu sudah direkomendasikan KLHK. Saat ini masih dalam tahap persiapan dan pemesanan kapal,” ujarnya.
Evi menjelaskan, selama ini perusahaan pengimpor memiliki izin dan rekomendasi sesuai ketentuan. Karena itu, masuknya limbah tersebut ke Batam sebelumnya tidak ditindak petugas Bea Cukai.
“KLHK baru menerima informasi dari negara asal, sehingga dilakukan pemeriksaan bersama,” tuturnya.
BP Batam Minta Masa Transisi Lima Tahun
BP Batam meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan masa transisi selama lima tahun dalam pelaksanaan penghentian rekomendasi impor limbah non-B3 plastik daur ulang. Permintaan ini diajukan demi menjaga stabilitas industri, investasi, dan ketenagakerjaan di Batam yang tengah bertransformasi menuju ekonomi hijau.
Deputi Bidang Investasi dan Pengusahaan BP Batam, Fary Djemy Francis, mengatakan kebijakan yang menyentuh bahan baku industri harus diimplementasikan dengan kehati-hatian. Perubahan mendadak, menurutnya, bisa mengganggu kepercayaan pelaku usaha dan memengaruhi iklim investasi di kawasan yang selama ini berorientasi ekspor.
“Kami memahami tujuan kebijakan ini untuk memperkuat tata kelola lingkungan. Namun, setiap perubahan perlu diiringi masa transisi agar tidak menimbulkan ketidakpastian di dunia usaha. Kepastian regulasi sangat penting bagi keberlanjutan investasi di Batam,” ujarnya.
Menurut Fary, industri daur ulang plastik non-B3 di Batam berperan penting dalam rantai pasok nasional dan penguatan ekonomi sirkular. Selama ini, pasokan bahan baku impor justru menjadi penggerak utama aktivitas pengolahan yang menghasilkan produk ekspor ramah lingkungan.
Data BP Batam mencatat, volume pengolahan limbah plastik pada 2024 mencapai 266.878 ton, naik signifikan dari 176.774 ton pada tahun sebelumnya. Sebanyak 16 perusahaan beroperasi di sektor ini dengan total investasi mencapai 50 juta dolar AS, nilai ekspor sekitar 60 juta dolar AS per tahun, dan menyerap lebih dari 3.500 tenaga kerja lokal.
“Jika penghentian rekomendasi impor diterapkan tanpa masa transisi, bukan hanya produksi yang melambat, tetapi ekspor juga akan menurun. Dampaknya akan dirasakan langsung oleh pekerja, UMKM, dan pemasok lokal yang bergantung pada sektor ini,” kata Fary.
BP Batam menegaskan, masa transisi bukan bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah memperkuat komitmen lingkungan. Sebaliknya, masa adaptasi akan memberi waktu bagi pelaku industri untuk bertransformasi menuju sumber bahan baku domestik yang berkelanjutan.
“Usulan ini bukan bentuk penolakan, melainkan upaya menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kepastian berusaha. Batam berkomitmen mendukung arah kebijakan hijau pemerintah, dengan tetap melindungi tenaga kerja dan kepercayaan investor,” ujarnya.
Masa transisi lima tahun dinilai cukup untuk mempersiapkan infrastruktur, teknologi, dan rantai pasok baru sesuai standar lingkungan nasional. Jika kebijakan diterapkan terlalu cepat tanpa kesiapan di lapangan, justru berisiko menimbulkan ketidakefisienan dan menghambat target ekonomi hijau.
Sebagai kawasan industri yang menjadi barometer investasi nasional, Batam memerlukan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah agar tidak menimbulkan tumpang tindih. BP Batam berkomitmen menjadi mitra konstruktif pemerintah pusat dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
“Kami ingin Batam tetap menjadi kawasan industri yang hijau, efisien, dan berdaya saing global. Karena itu, kami berharap setiap kebijakan strategis nasional mempertimbangkan dinamika dan kesiapan industri di lapangan,” tutup Fary. (*)
Reporter : Yofi Yuhendri, Arjuna
Editor : RYAN AGUNG