Buka konten ini

JAKARTA (BP) – Pertumbuhan utang luar negeri (ULN) Indonesia melambat. Per Agustus 2025, tercatat USD431,9 miliar tumbuh 3 persen Year-on-Year (YoY). Lebih rendah dibanding pertumbuhan pada Juli 2025 sebanyak 4,2 persen YoY.
Bank Indonesia (BI) mencatat posisi ULN pemerintah per Agustus 2025 mencapai USD213,9 miliar. Atau tumbuh 6,7 persen secara tahunan. Angka ini juga menunjukkan perlambatan dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 9 persen YoY.
”Perkembangan ini terutama dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan aliran masuk modal asing pada surat berharga negara (SBN) seiring dengan meningkatnya pasar keuangan global yang tetap tinggi,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, Kamis (16/10).
Sebagai salah satu instrumen pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), lanjut dia, ULN dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel. Serta pemanfaatannya terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan program-program prioritas yang mendorong pemberdayaan perekonomian nasional.
Berdasarkan sektor ekonomi, sebagian besar ULN pemerintah dialokasikan untuk sektor-sektor strategis. Porsi terbesar untuk jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebanyak 23,4 persen. Kemudian, jasa pendidikan sebesar 17,2 persen. Lalu, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 15,7 persen.
Ada pula penggunaannya untuk sektor konstruksi (12,3 persen), transportasi dan pergudangan (9 persen), serta jasa keuangan dan asuransi (8 persen). ”Posisi ULN pemerintah tersebut didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah,” terang Denny.
Terpisah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat sampai dengan kuartal II 2025 sebesar Rp9.138,05 triliun. Menurun dari Rp9.177,48 triliun per Mei 2025. Jumlah tersebut setara dengan 39,86 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
”Satu level yang cukup rendah, cukup moderate dibanding banyak negara,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto.
Dia membandingkan, seperti Malaysia yang sudah mencapai 61,9 persen terhadap PDB. Kemudian Filipina sebesar 62 persen terhadap PDB. Lalu, Thailand dengan 62,8 persen dan India yang menyentuh 84,3 persen dari PDB.
”Jadi, utang kita pada posisi Juni (2025) total outstanding-nya Rp 9.138 triliun. Pinjamannya Rp 1.157 triliun dan SBN (surat berharga negara) Rp 7.980 triliun,” bebernya.
Jika dibedah, pinjaman mengalami sedikit kenaikan dari Rp 1.147 triliun ke Rp 1.157 triliun. Pinjaman yang diperoleh dari luar negeri senilai Rp 1.108,17 triliun, lebih tinggi dari Mei 2025 Rp1.099,25 triliun. Untuk pinjaman dalam negeri sebesar Rp49 triliun, yang juga lebih tinggi Rp48,7 triliun.
Sedangkan utang dalam bentuk SBN justru lebih rendah. Turun dari Rp8.029 triliun ke Rp7.980 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Nominal penerbitan SBN yang berdenominasi rupiah masih mendominasi dengan nilai Rp6.484,12 triliun, turun dari sebelumnya Rp6.524,44 triliun. Sementara untuk berdenominasi valas Rp1.496,75 triliun, lebih rendah dari posisi Mei 2025 Rp1.505,09 triliun.
Suminto mengingatkan utang tersebut akan dibayar dari pajak. Oleh karena itu, Indonesia dalam berhutang mesti sesuai kemampuan. Baik dalam membayar pokok maupun bunganya.
”Saya bisa menerbitkan SUN (surat utang negara) tenor 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, bahkan 40 tahun, ini yang akan bayar anak cucu kita. Melalui apa? Membayar pajak, makanya utang ini sebenarnya future tax. Artinya, kewajiban yang akan dipenuhi di masa depan oleh generasi yang akan datang. Sehingga kita betul-betul melakukan utang secara hati-hati, terukur, dan dalam batas kemampuan membayar kembali di masa depan,” bebernya.
Menurut dia, tambahan nominal utang sejalan dengan kenaikan PDB Indonesia. Artinya, utang masih bisa diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi. Penarikan utang dilakukan berdasarkan asesmen terhadap proyeksi penerimaan negara di tahun-tahun mendatang.
”Utang akan dibiayai oleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan menyebabkan kita mendapatkan penerimaan negara yang lebih tinggi juga, kemampuan membayar kita juga akan lebih tinggi,” teran Suminto. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GUSTIA BENNY