Buka konten ini
BATAM (BP) — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu bulan kurungan kepada terdakwa Junaidi alias Ahui dalam perkara perusakan kawasan hutan mangrove di Sembulang, Batam.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tiwik, Senin (13/10).
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan pidana 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp1 miliar.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Junaidi alias Ahui dengan hukuman penjara 10 bulan dan denda Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama satu bulan,” ujar Hakim Tiwik membacakan amar putusan.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim juga memutuskan untuk mengembalikan 50 karung arang kepada terdakwa. Sementara lahan dan bangunan gudang di kawasan mangrove Sembulang dikembalikan kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk dilakukan pembongkaran.
Usai sidang, baik pihak JPU maupun penasihat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir atas vonis tersebut.
“Kami akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya,” kata Jaksa Arfian usai persidangan.
Kasus ini bermula dari aktivitas pembangunan sejumlah gudang arang oleh PT Anugerah Makmur Persada di kawasan hutan lindung mangrove Sembulang sejak 2019 hingga Januari 2023. Gudang tersebut didirikan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB), tanda daftar gudang, maupun dokumen lingkungan yang sah.
Sebagian bangunan bahkan diketahui menjorok ke laut dan menimbun kawasan pesisir, sehingga merusak vegetasi mangrove di sekitar lokasi. Berdasarkan hasil analisis laboratorium Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ditemukan adanya perubahan signifikan pada sifat fisik dan kimia tanah, termasuk penurunan kadar pH, hilangnya vegetasi mangrove, serta kerusakan permanen pada ekosistem pesisir.
Gudang-gudang tersebut digunakan untuk menyimpan dan mengolah arang yang berasal dari Selatpanjang, Lingga, dan Karimun, sebelum diekspor ke luar negeri. Aktivitas ini melibatkan ratusan pekerja dalam kegiatan bongkar muat setiap harinya.
Kasus perusakan lingkungan ini mencuat setelah tim gabungan Komisi IV DPR RI, KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melakukan kunjungan lapangan ke lokasi pada 2023.
Dalam kesempatan itu, Direktur Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa perusahaan tersebut beroperasi tanpa izin resmi dan telah melakukan pelanggaran serius terhadap kawasan lindung. “Kerusakan lingkungan di kawasan lindung seperti ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah kejahatan terhadap ekosistem,” ujar Rasio.
Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim menilai Junaidi terbukti melanggar Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Namun, hakim juga mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, di antaranya terdakwa bersikap kooperatif dan belum pernah dihukum sebelumnya. (*)
Reporter : Azis Maulana
Editor : RYAN AGUNG