Buka konten ini

Di tengah rasa sakit dan kesepian, Hamadi tak menyangka bahwa sebuah sapaan sederhana dari dua polisi mampu menyalakan kembali semangatnya untuk bangkit.
PAGI di Tarempa selalu punya cara sendiri untuk bercerita. Aroma kopi yang mengepul dari warung pinggir jalan berpadu dengan obrolan ringan warga yang datang silih berganti. Di sanalah, kehidupan kecil berdenyut pelan— hangat, sederhana, dan apa adanya.
Namun, Selasa (14/10) pagi itu, kehangatan warung berubah menjadi kisah yang tak biasa. Sebuah kisah kecil tentang kebaikan yang lahir tanpa rencana. Tentang empati yang muncul di antara dua teguk kopi dan langkah manusia yang perlahan kehilangan tenaga.
Di sudut warung, dua pria berseragam cokelat muda duduk tenang. Mereka adalah Aipda Jack Marulam Siahaan dan Aipda Bernard Hamonangan Siahaan, anggota Polres Kepulauan Anambas. Sejenak, keduanya melepaskan penat, meneguk kopi hitam sambil membicarakan tugas yang belum selesai.
Tiba-tiba pandangan mereka tertumbuk pada sosok yang berjalan tertatih di seberang jalan. Seorang pria berperban di tangan, wajahnya pucat, langkahnya gontai. Namanya Hamadi, warga Desa Tarempa Barat. Ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah mengalami patah tulang akibat musibah yang menimpanya beberapa waktu lalu.
Hidup Hamadi sederhana, bahkan mungkin terlalu sederhana untuk disebut cukup. Siang itu, ia berjalan sendirian menapaki jalan pulang, tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Melihatnya, tanpa berpikir panjang, Aipda Jack berdiri. Ia menghampiri Hamadi dan mengajaknya duduk.
Di meja kayu yang menua oleh waktu, tiga pria itu berbagi cerita. Tak ada jarak antara seragam dan rakyat. Tak ada pangkat yang membatasi. Hanya kemanusiaan yang mengalir begitu saja.
Dari dalam tasnya, Aipda Bernard mengeluarkan sebungkus sembako — beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya. Isinya mungkin tak seberapa, tapi cara mereka menyerahkannya membuat semua orang di warung itu terdiam. Tak ada kamera. Tak ada publikasi. Hanya tangan yang memberi dengan hati yang benar-benar tulus.
“Kami lihat beliau baru keluar dari rumah sakit, jadi kami ingin sedikit membantu. Tidak banyak, tapi semoga bisa meringankan bebannya,” ujar Aipda Jack pelan.
Hamadi menatap dua polisi di hadapannya. Ada air bening yang tiba-tiba menetes di matanya. “Saya tidak menyangka, di warung kopi, saya malah bertemu orang yang peduli seperti ini,” katanya lirih.
Waktu seolah berhenti. Sinar matahari menerobos jendela warung, jatuh di wajah tiga orang itu—menyisakan kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Bagi kami, tugas polisi bukan hanya soal menegakkan aturan, tapi juga soal menyentuh hati manusia,” ujar Jack. “Kadang, duduk bersama dan memberi semangat jauh lebih berharga daripada apa pun,” tambah Bernard.
Warung kopi itu kini menyimpan kenangan kecil tentang sebuah kebaikan yang lahir di tempat paling sederhana. Tentang dua polisi yang memilih berhenti sejenak untuk menyalakan kembali harapan seorang warga.
Di tengah dunia yang sibuk mengejar sorotan, mereka memilih jalan sunyi—menolong tanpa publikasi, memberi tanpa pamrih. Dan di bawah atap seng warung tua itu, kita diingatkan: kebaikan tidak butuh panggung besar, hanya hati yang mau peduli. (***)
Reporter : IHSAN IMADUDDIN
Editor : GALIH ADI SAPUTRO